"Namaku Aksara, benar-benar Aksara." Guratan pada wajahnya kembali menimbulkan rasa penasaran. Apakah dia benar-benar menganggapku berbohong?

"Ah, ya, anggap saja seperti itu." Ia mengayunkan lengannya ke atas, kemudian ia menekuk siku da menyilangkannya ke belakang kepalanya, membuat sandaran dari kedua lengannya.

Anggap saja? Anggap bagaimana? Malah yang tidak wajar itu namamu, kan!?

Lalu, bagaimana caraku memanggilnya?

"Hei, uh, empat dua." Benar-benar tak menyenangkan untuk mengucapkan itu. Aku lebih berharap tenggorokanku kering dan dia tak dapat mendengarku dengan jelas, namun tetap membuatnya sadar bahwa aku memanggilnya. "Aku ingin bertanya sesuatu padamu."

Si empat dua menengok, dia menaikan sebelah alisnya, mempersilakanku untuk bertanya.

"Kenapa kota ini begitu sepi ketika siang hari?"

Sedetik kemudian, dia berkata, "Ooh, kau bukan dari kota ini, ya?"

Bukan hanya kota, sih. Tapi jika tebakanku tepat, maka sebenarnya aku juga berasal dari dunia lain.

"Ya," jawabku singkat, tidak ingin membocorkan bahwa aku adalah seorang alien yang sangat mirip dengannya.

"Mulai dari pagi hingga sore, kami semua bekerja," katanya lagi, membuatku penasaran.

Baiklah, mungkin memang benar jika orang-orang bekerja mulai dari pagi hingga sore hari. Tapi tidak semua orang, kan? Maksudku, bagaimana dengan anak-anak? Lalu, tidakkah ada ibu rumah tangga yang berjalan-jalan di siang hari, berbelanja pada sebuah outlet atau mengajak bayi mereka jalan-jalan di taman? Maksudku, tidak mungkin semua orang bekerja, kan?

"Itu memang peraturan yang telah ditetapkan di kota ini."

"Apa pekerjaanmu?" aku bertanya dengan serius, tapi dia malah terdiam dan tak menjawab. Dia menganggap pertanyaanku adalah pertanyaan yang benar-benar tak perlu ditanyakan. Hingga pada akhirnya ia menyerah karena aku benar-benar menampilkan wajah penasaranku.

"Kurasa sama sepertimu," katanya.

"Kau membuat sebuah proyek besar?"

"Proyek besar apanya? Bukankah kita semua seorang dosen?"

Kita? Apa maksudnya dengan kita?

"Kita memang ditugaskan untuk menjadi seorang dosen, kan?"

Kita? Ditugaskan?

Kemudian dia malah tertawa kecil sambil menepuk pundakku sebanyak dua kali.

"Ah, aku lupa, kau memang senang bercanda."

Bercanda katanya? Tidakkah dia melihat wajahku yang sedang kebingungan ini? Aku benar-benar tak mengerti apa yang dikatakannya. Teknologi kami hampir sama, biarpun di sini lebih canggih. Namun, tidak dengan kehidupannya. Dunia ini benar-benar gila.

Aku segera berdiri dan membawa piring kotor itu ke dapur, karena di ruangan bersantai tak ada meja sama sekali. Aku sendiri lupa bahwa Aksa42 telah membuatkan kopi untukku, membiarkannya dingin di meja makan. Ya, bukan salahnya juga, sih. Tadi aku memintanya untuk menyimpan kopi ini di atas meja makan. Namun, seleraku untuk minum telah hilang. Percakapan kami tadi benar-benar membuat otakku terfokus pada satu pertanyaan.

Dunia apa ini?

Aku kembali ke ruangan bersantai. Namun, aku tak berniat untuk tinggal di sini lebih lama.

"Oh ya, jika aku boleh tahu, kau mengajar di mana?"

Dia menyebutkan sebuah universitas yang kuketahui. Universitas tempatku dulu menempuh pendidikan sarjana. Mengingat kota dengan penataan yang sama dengan kotaku, kurasa aku bisa mengunjungi tempat itu. Tempatnya tak terlalu jauh dari sini, juga sejalan dengan arah menuju labolatorium. Jika aku bisa berjalan dari lokasi labolatorium ke tempat ini, maka aku juga bisa berkunjung ke sana.

"Oh ya, terima kasih atas makanannya. Kurasa aku akan pergi sekarang," kataku, berpamitan dengannya. Ya, biarpun agak tidak sopan sih. Aku benar-benar seperti seorang brengsek yang hanya menumpang makan di rumah orang lain biarpun kenyataannya seperti itu.

"Oke!" katanya lagi, mengacungkan jempolnya padaku.

Kebiasaanku.

Aku kembali mengulangi kejadian sebelumnya. Keluar dari rumah ini. Bedanya, hari sudah malam dan kota ini kembali sepi. Benar-benar sepi seperti saat siang hari.

Apakah mereka hanya beraktivitas di sore menjelang malam hari?

Semua orang terlihat memiliki rutinitas yang sama.

Aku kembali menyusuri jalanan yang gelap, membuatku bergidik ngeri.

Sepi sekali. Tak ada siapapun di luar. Bahkan di antara gedung-gedung pencakar langit. Tak ada taksi, tak ada preman yang mencoba memalak pejalan kaki, tak ada kegiatan prostitusi yang biasanya memenuhi malam hari di kota metropolitan seperti ini.

Benar-benar hening. Bahkan, kurasa aku adalah satu-satunya orang yang sedang berjalan di kota ini. Walaupun gedung-gedung tinggi menyalakan lampunya, tetap saja suasana di sini terasa sangat mencekam.

Apakah yang dikatakan Aksa42 itu benar? Apakah mereka hanya beraktivitas di sore menjelang malam hari? Maksudku, beraktivitas di jalanan. Dia bilang dia adalah dosen. Tidak, bukan dia, malah dia berkata 'kita'. Artinya jamak, kan?

Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada kota ini. Kota ini benar-benar mengerikan, sangat jauh dengan kehidupanku di bumiku yang sebenarnya.

Apakah aku benar-benar menyebrangi dimensi lain? Dimensi yang tak terbayangkan olehku sebelumnya? Dimensi dengan kehidupan aneh yang sangat tidak sesuai denganku?

Aku benar-benar ingin pulang.

===

Aku mendapati universitas tempat Aksa42 mengajar. Bentuk bangunannya sama persis dengan yang ada di duniaku. Aku segera memasuki lingkungan kampus itu. Dan sama seperti keadaan di kota, kampus ini sangat sepi. Baiklah, ini masih masuk akal karena tak ada orang yang kuliah di malam hari.

Aku memasuki wilayah fakultasku, membuatku bersyukur karena wilayah yang ada di dunia ini sama dengan wilayah yang ada di duniaku, jadi aku tak perlu mencari-cari fakultas MIPA di daerah yang lain.

Seingatku, di gedung jurusanku ada sebuah sekre yang sempat kujadikan tempat menginap seandainya tugas-tugas yang diberikan dosenku sangat menumpuk, membuatku memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk tak pulang pergi ke tempat kostku. Dan jika gedung ini saja memiliki desain yang mirip dengan gedung yang ada di ruanganku, maka seharusnya aku dapat menemukan ruangan itu sekitar empat puluh langkah lagi.

Dan aku menemukannya.

Aku mencoba membuka pintunya, berharap agar tidak terkunci. Dan kenyataannya memang ruangan ini tidak terkunci.

Apakah orang-orang di sini tak mengenal teknologi yang namanya kunci?

Aku mencoba menyalakan lampu. Namun, aku tak dapat menemukan saklar yang dapat menyalakan lampu. Oh, baiklah, itu tak terlalu menjadi masalah karena aku memang berniat untuk tidur, bukan main judi hingga pagi menjelang.

Aku membaringkan tubuhku pada lantai yang dingin.

Ini benar-benar dingin. Dan baju tipis sialan ini benar-benar tak membantu, seolah-olah kulitku bersentuhan langsung dengan keramik. Untungnya, rasa kantukku mengalahkan segala pikiranku.

Mataku mulai bersayup-sayup, menandakan rasa kantuk yang luar biasa.

Aku sudah mengalami banyak hal di dunia ini. Walaupun sebelumnya aku yakin bahwa dunia ini bukan mimpi, namun aku masih berharap bahwa ini semua benar-benar mimpi.

Aku harap ketika mataku terbuka nanti, aku kembali pada duniaku. Bangun di atas kasur dalam kamar tidur yang sempit di labolatorium.

Mataku mulai terpejam.

Selamat tidur.

3141 : The Dark Momentum [Selesai]Where stories live. Discover now