[14] Dinner

338K 27.5K 872
                                    


Please jangan dibales, please jangan dibales, please jangan dibales, please jangan dibales, please jangan dibales, please jangan dibales, please jangan dibales,”

Mulut Dara komat kamit seperti sedang melafalkan mantera. Jari-jari tangannya saling bertautan, seperti sedang memohon sesuatu. Matanya terus menatap ponsel yang ia letakkan di atas meja belajarnya.

Kalau saja Bunda tidak menjanjikan akan mengizinkannya pergi ke acara ulang tahun Niki malam minggu nanti, tentu Dara tidak akan mau menyampaikan undangan makan malam pada Malik melalui chat yang baru saja ia kirim.

Suara pintu yang dibuka membuat Dara menoleh, sekaligus menghentikan gerakan mulutnya. Bunda muncul setelah membuka setengah pintu itu.

“Gimana? Malik bisa ikut makan malam di sini, kan?” tanya Bunda dengan sebelah tangan yang masih memegang daun pintu.

“Kayaknya dia nggak bisa ikut, deh, Bun,” Dara menyahut cepat. “Chat Dara nggak dibalas dari tadi,” lanjutnya, yang terkesan sudah sangat lama mengirim pesan pada Malik, padahal baru beberapa detik yang lalu pesan itu terkirim.

“Kalo gitu coba kamu telepon dia.”

“Nggak usahlah, Bun. Palingan dia lagi kelayapan di luar sama teman-temannya,” ucap Dara, bermaksud untuk menghasut Bundanya. Ia kemudian bangkit dan mendekati Bunda. “Yuk, Dara bantu Bunda masak makan malam,” ajaknya sambil mengapit lengan Bunda.

Ting!

Belum sampai selangkah menjauh dari kamar, dentingan singkat ponsel Dara di atas meja membuat keduanya saling tatap.

“Tuh, coba cek hp-mu. Mungkin aja Malik balas chat kamu,” kata Bunda sambil melepaskan tangan Dara.

Dara membuang napas berat berkali-kali. Ia berbalik dengan terpaksa. Dalam hati ia kembali melafalkan mantera berulang kali.

Semoga bukan balasan dari Malik, semoga bukan balasan dari Malik, semoga bukan balasan dari Malik, semoga bukan balasan dari Malik, semoga bukan balasan dari Malik.

Dara meraih ponselnya, lalu membuka sebuah pesan masuk dengan perasaan harap-harap cemas.

Bunda menunggu dengan tidak sabar. “Apa katanya?” tanyanya yang seolah yakin pesan masuk itu benar dari Malik.

Dara tidak bergeming. Ia kesal. Padahal, kalau saja cowok itu terlambat mengirim pesan beberapa detik saja, Dara akan menganggap cowok itu menolak undangan makan malam dari Bunda. Karena memang itu yang diharapkannya. Namun kenyataannya, Malik membalas pesannya tepat di menit yang sama dengan Dara mengirim pesan.

“Malik terima undangan makan malam dari Bunda, kan?”

Dara hampir terlonjak mendengar suara Bunda tepat di telinganya. Ia bahkan tidak menyadari sejak kapan Bunda datang mendekat dengan kepala yang menjulur melirik langsung ke layar ponselnya.

Dara tidak menjawab, karena yakin Bunda sudah membaca sendiri balasan pesan dari Malik yang hanya terdiri dari dua huruf “Ok”.

“Yaudah, ayo kamu bantu Bunda siapin makan malam,” ajak Bunda, kemudian lebih dahulu keluar dari kamar.

“Kenapa dia bales, sih!” kesal Dara. Ia baru saja akan meletakkan kembali ponselnya di atas meja, namun sebuah pesan yang baru saja masuk membuatnya urung. Sebaris pertanyaan yang ia baca saat ini sungguh memancing emosinya.

Malik: Gw perlu bawain apa buat calon mertua?

--<><>--

Bel rumah baru saja berbunyi singkat, menandakan ada tamu yang datang.

My Ice Girl [Sudah Terbit - SEGERA  DISERIALKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang