[66]

4K 204 25
                                    

Enam puluh enam - last but not least.

[Edited]

"Saya terima nikah dan kawinnya Nadine Agatha binti Danu Cokrowinoto dengan mas kawin tersebat eh, anu."

Zian refleks menoyor kepala Atta. Mungkin yang ada di otaknya sekarang adalah rokok. Iya, Atta sedang latihan ijab kabul bersama Zian. Latihan kok, sama orang yang belum nikah juga?

"Zi bagi rokok sebatang dong," Atta menggaruk pipinya yang tidak gatal itu.

Lagi, Zian mendorong jidat Atta. Yang benar saja, beberapa menit lagi ia akan menikah dan malah mau merokok. Belaga gila.

"Lo ngaco deh, Ta. Udah mau ijab kabul, dongo."

Atta terlihat mengusap-usap kedua telapak tangan, ia gugup. Berkali-kali ia mendengus gusar, gemuruh di dadanya ramai sejak tadi. Walaupun prosesi pernikahan akan sederhana, namun tetap ia tak bisa tenang selama belum sah dengan Nadine.

Pernikahan hanya di hadiri keluarga terdekat dari pihak Atta maupun Nadine. Kedua orang tua Atta hadir, beda dengan orangtua Nadine yang berita buruknya masih belum mau pulang, terpaksa hari ini perempuan itu menunjuk om-nya untuk jadi wali nikah. Menyedihkan, ya?

Zian tersenyum kecil, "Nadine cantik banget, lho, Ta."

Lagi-lagi Atta mendengus, sudah seminggu ini ia tidak bertemu dengan Nadine karena tradisi pingitan. Lelaki yang memakai pakaian serba putih itu merindukan kekasihnya.

Kali ini, Atta mengacak rambutnya kasar, ia menghentak-hentakkan kakinya di lantai berwarna putih. "Lo gak usah bikin gue gedeg, udah tau gue kangen banget sama dia."

Zian tertawa lebar, melihat Atta yang seperti itu membuat ia yakin kalau lelaki yang duduk di sebelahnya benar-benar mencintai Nadine.

Setidaknya, ia tidak perlu khawatir dengan perempuan hamil itu lagi.

Bosan, Zian menekan tombol power ponselnya dan membuka aplikasi LINE. Gadisnya, sedang di dalam kamar rias, menemani Nadine yang mungkin sudah selesai di make up.

Karina hari ini cantik luar biasa dengan dress biru laut selutut, wajahnya juga hanya di poles bedak seadanya. Karina sih cantik-cantik aja tanpa make up, batin Zian.

Semua orang sudah berkumpul di ruang tengah keluarga Cokrowinoto yang hari ini di dekor sedemikian rupa, secantik mungkin. Walau tanpa kehadiran kedua orang tuanya, Nadine tetap mendapat kiriman uang. 

Kalau saja perempuan itu bisa berteriak, yang ia inginkan adalah orang tuanya, bukan harta mereka.

Karina duduk anggun di sebelah Zian. Hari ini, Zian mengenakan kemeja biru laut –senada dengan dress gadisnya– yang di balut oleh blazer berwarna hitam, rambutnya ia biarkan berantakan seperti biasa.

Zian mendekatkan tubuhnya kepada Karina, ia berbicara sangat pelan karena saat ini suasana sedang hening. "Nanti kalo kita nikah, Ayin pasti lebih cantik."

Wajah Karina mendadak bersemu merah, ia jadi salah tingkah, tubuhnya bergerak-gerak tak mau diam. Melihat gadis di sebelahnya yang bersikap seperti itu, Zian malah menggoda Karina lagi. "Kenapa? Gak sabar ya, pengen cepet di halalin?"

Omongan Zian barusan membuat Karina melayangkan cubitan di pinggangnya. Lelaki itu langsung menutup mulut, menghindari agar tidak berteriak. Cubitan Karina lumayan uga, ucapnya dalam hati.

--

Lelaki berkemeja biru itu sedang sibuk mengunyah puding coklat yang baru ia ambil dari meja panjang prasmanan. Zian mengeluh lapar sejak tadi pagi dan setelah acara ijab kabul selesai, ia langsung menuju ruang makan dan mengambil makanan yang tersedia. Bahkan sampai sekarang, perutnya belum juga kenyang.

Stronger [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang