Chapter 11 : Awal Mula

2.7K 214 6
                                    

"Dasar cowok edan! Sok kecakepan! Songong!" sumpah serapah yang keluar dari mulut Veve mengiringi perjalanannya sampai di gerbang sekolah.

Langit terlihat mendung. Angin berembus pelan.

Veve berdiri di halte depan sekolah sendirian, karena Sasa sudah pulang duluan.

"Astaga! Mama kok belum jemput sih? Udah mau hujan lagi."

Bunyi klakson mobil mengagetkan Veve.

Ia pun menoleh ke asal suara, sebuah mobil terparkir beberapa meter dari posisinya berdiri.

"Siapa sih! Gak jelas banget!" gerutu Veve dan mencoba untuk tidak memerdulikannya.

Hujan pun mulai turun dengan deras.

"Yah, hujan," ucap Veve lalu melihat ke arah ponselnya.

Ia menelpon mamanya.

"Halo, Ma. Mama dimana? Kok belum sampai?"

"Halo, Sayang. Mama masih di rumah. Mobilnya mogok, ini masih dibenerin. Maaf ya, sekarang kamu ada dimana? Sama siapa?"

"Veve ada di halte, Ma. Sendirian."

"Aduh, Sayang. Maafin mama ya, gara-gara mama, kamu jadi nunggu-"

"Gak apa-apa kok, Ma. Veve kan bisa naik taksi," tukas Veve.

"Maafin Mama ya?"

"Iya, Ma."

Veve memutuskan sambungan telpon dan mengembuskan napas kasar.

Ia pun berdiri untuk mencari taksi. Namun nihil, jalanan sepi, hanya ada satu mobil yang terparkir beberapa meter darinya berdiri. Mobil itu adalah mobil yang membunyikan klakson tadi.

Veve melihat mobil itu berjalan ke arahnya.

"Aaaaaaa!!!" Veve memekik. Mobil tadi mencipratkan air hujan yang menggenang di jalanan dan sukses mengenai Veve.

"Gila apa tuh orang!" Veve melihat seragam yang ia kenakan basah dan kotor.

"Astaga! Kotor semua!"

Bunyi klakson berbunyi lagi. Veve menoleh dan menemukan mobil tadi berhenti.

Perlahan mobil tadi berjalan mundur dan berhenti pas di depan Veve.

Kaca mobil terbuka dan menampilkan sosok pengemudi yang sedang tersenyum miring.

"Lo! Lo itu gimana sih? Kalau gak bisa bawa mobil ya gak usah bawa! Asal lo tau, seragam gue basah dan kotor gara-gara lo! Terus kalau keadaan gue begini, gimana gue mau naik taksi! Yang ada gue dikira gembel tau nggak!" sembur Veve saat melihat siapa pengemudi mobil tersebut. Dia adalah Dio, ya, Geral Ferdio Alexander.

"Gue gak bawa mobil, gue mengendarai mobil! Lo itu gak bisa bahasa indonesia atau gimana? Dan soal penampilan lo yang kayak gembel sekarang, gue setuju banget!" ucap Dio lalu tertawa.

Veve menggeram kesal. "Cowok gila!" hardik Veve lalu duduk di halte.

Dio tak melajukan mobilnya dan memandangi Veve yang sedang memalingkan wajah.

Dio membunyikan klakson agar Veve melihat ke arahnya, namun tidak berhasil. Ia pun membunyikan klakson 3 kali.

Veve dengan kesal menoleh ke arah Dio.

"Lo ngapain sih disini? Pergi sana!" usir Veve.

"Nggak mau, ini bukan jalan lo, jadi gue bebas dong ada di sini?" balas Dio.

Veve memalingkan wajahnya kembali.

"Yuk gue anter pulang. Keadaan lo yang kayak gembel itu menyedihkan banget, apalagi kalau mau cari taksi. Jarang-jarang lo, gue izinin gembel naik mobil gue dan nganterin pulang ke rumahnya."

"Tuh mulut emang seenaknya aja ya kalau ngomong. Gak bisa ya, omongan lo itu dijaga! Seenak jidat aja lo kalau ngomong! Lo mau gue cekokin pakek sambel hah? Gue gak mau lo anter pulang, dan gue juga bukan gembel, jadi, lo gak perlu repot-repot kasih tumpangan dan ngebiarin gue masuk mobil lo!"

Dio tersenyum puas melihat reaksi Veve.

Ia turun dari mobilnya dan menghampiri Veve.

"Ngapain lo kesini?" tanya Veve ketus.

"Gue gak terima penolakan," ucap Dio lalu menarik tangan Veve hingga berdiri.

Veve melepaskan paksa tangan Dio darinya

"Gue gak mau!"

"Gue gak terima penolakan!" tegas Dio lalu mengangkat Veve seperti sebuah karung.

"Weh anjuuu! Turunin gue! Tolong ... gue diculik!" teriak Veve sambil memukul punggung Dio, percuma saja, keadaan di sana sangat sepi.

Tanpa memerdulikan Veve, Dio mendudukkannya di kursi penumpang, sebelah pengemudi. Dio mengunci pintu mobil.

Dio memutari mobil dan duduk di kursi pengemudi.

"Lo gila! Lo gila! Sinting, sarap, edan, idiot!" kesal Veve sambil memukul-mukul Dio yang berada di sampingnya.

"Lo gak bisa diem ya? Kalau lo gak bisa diem, gue cium lo sekarang juga." ucap Dio.

"Bodo amat! Turunin gue!"

Dio memajukan kepalanya membuat Veve memundurkan kepala hingga terbentur jendela mobil.

"Aw!" ringis Veve sembari mengelus-elus kepalanya.

"Gue gak main-main, gue siap cium lo sekarang kalau lo gak diem," ucap Dio.

"Lo apaan-"

Veve menggantung kalimatnya saat Dio menggerakkan kepalanya maju.

"Stop! Oke, gue diem!"

"Gadis pintar," ucap Dio lalu mengelus rambut Veve, namun tangannya ditampik oleh Veve.

Dasar kunyuk sialan!

"Alamat rumah lo dimana?"

Veve menyebutkan alamatnya dan mobil mulai melaju.

🍦🍦🍦

Mereka sampai di depan gerbang rumah Veve. Hujan telah reda.

"Udah sampai, lo gak mau turun? Lo betah ada di mobil gue? Atau lo betah di sampinh gue?" tanya Dio lalu tersenyum miring.

"Pintunya gak bisa dibuka!"

Dio tersenyum miring lagi.

"Lo gak capek apa, dari tadi senyum miring gitu!" ucap Veve.

Dio tak menjawab namun mendekatkan tubuhnya ke tubuh Veve.

Sangat dekat hingga napas Dio menerpa wajah Veve.

Veve menutup matanya, takut kalau Dio mau menciumnya. Namun suara pintu terbuka membuat Veve membuka matanya. Dan melihat Dio yang sedang menahan tawanya.

"Lo ngapain tutup mata gitu?" tanya Dio yang membuat Veve malu. "Lo lupa kalau tadi puntunya gue kunci? Atau lo berharap gue cium?"

Veve tak menjawab, ia langsung keluar dari dalam mobil Dio lalu berlari menuju rumahnya.

Meninggalkan Dio yang sedang tertawa tanpa sepatah kata.

🍦🍦🍦

#22-02-2017
Revisi : 8 Agustus 2017

Ice Cream Prince ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang