Chapter 6 : Mengapa Dia Berubah?

3.1K 262 6
                                    


Veve duduk di bangku taman belakang sekolah, istirahat tengah berlangsung.

Ia mendongakkan kepala, memandang langit yang memancarkan warna keabu-abuan, angin yang berembus seakan membelai wajah Veve dan menerbangkan pelan rambutnya yang terurai.

Ia tersenyum, di langit ia melihat bayangan Rey yang sedang tertawa saat bermain ToD kemarin.

#Flashback on#

Kemarin saat pulang sekolah.

"Nih, masing-masih pegang fotokopi naskah dramanya satu-satu, kalian baca dulu." Pipin memberikan naskah pada teman-teman sekelompoknya

Mereka pun membaca naskah.

"Loh, kok endingnya gini? Ceritanya kok jadi romantis?!" tanya Veve heboh karena terkejut.

"Lah , emang kenapa?" tanya Randy.

"Seharusnya, ketua geng perempuan dan geng laki-laki memutuskan untuk berdamai dan bersatu, bukan malah saling jatuh cinta dan berpacaran." ucap Veve dengan memandang sendu naskah itu.

"Lo kemarin belum ngomong endingnya udah keburu sakit," ucap Pipin

"Yaudahlah, udah terlanjur, toh tema drama kitakan tentang remaja," ucap Maria yang diangguki Nathan.

"Iya, udahlah, yuk latihan."

Veve mengembuskan napas pasrah.

Bisa-bisa gue kebawa baper beneran gara-gara drama ini. Batin Veve

🍦🍦🍦

Hujan turun dengan deras ketika mereka selesai berlatih. Hujan menahan mereka tetap berada di sekolah dan menunggu hujan reda. 10 menit menunggu, hujan tak kunjung reda.

"Guys, bosen nih, nyokap gue belum jemput-jemput, mainan ToD yuk?" ajak Nevya.

"Yuk. Eh, Rey, jangan diem aja, yuk main Truth or dare," ucap Randy pada Rey yang sedari tadi diam.

"Nggak, makasih."

"Gak ada penolakan," ucap Randy lalu menyeret lengan Rey untuk duduk melingkar di lantai kelas dan mulai bermain, permainan berjalan menyenangkan, penuh dengan canda tawa, dan Veve yang sering mencuri-curi pandang ke arah Rey, untuk pertama kalinya, ia melihat Rey tersenyum memperlihatkan giginya, ternyata Rey tidah sedingin dan secuek yang ia kira, Rey teman yang menyenangkan, mungkin ia hanya perlu beradaptasi dengan sekitarnya, kata-kata 'Tak kenal maka tak sayang' mungkin memang benar.

Setelah hujan reda, mereka memutuskan untuk pulang.

Banyak hal yang diketahui Veve tentang Rey karena permainan truth or dare tadi, beberapa teka-teki yang muncul di benak Veve terjawab. Dia berbeda dengan yang lain, bagi Veve, Rey punya daya tarik tersendiri sebagai seorang lelaki.

#Flashback Off#

Veve, mengagumi Rey.

Tapi, ia tidak tahu, apakah ia juga mencintai Rey. Yang ia tahu, ia nyaman bersamanya. Tapi, bukankah cinta datang karena kenyamanan?.

Pandangan Veve beralih ke tempat duduk di sampingnya, karena ia mendengarkan ada gerakan di sana. Matanya membulat sempurna saat menemukan Rey tengah duduk di bangku sebelahnya, ia tengah membaca sebuah novel.

"Emm ... Hai?" Veve mencoba menyapanya, namun hanya angin yang membalasnya, Rey mengacuhkannya.

Astaga, mimpi apa ia semalam, dengan lancangnya ia menyapa Rey, padahal, ia tahu apa jawabannya, sudah pasti hanya diam.

Veve mengembuskan napas lelah, ia sangat ingin berbicara dengan Rey, namun anehnya, walaupun ia diam, Veve tetap merasa nyaman di dekatnya. Ada aura yang menyenangkan di dirinya, aura menenangkan.

Ada suatu harapan dibenak Veve. Ia berharap, suatu hari Prince Ice Cream yang duduk di sebelahnya itu meleleh.

"Tumben di sini?" tanya Rey tiba-tiba, Veve kaget mendengar pertanyaan Rey, kaget bukan karena pertanyaan Rey yang aneh, tapi kaget karena Rey tiba-tiba mengajaknya bicara.

"Emm ... Itu, lagi males ke kantin," ucap Veve tergagap.

"Tumben banget? Biasanya juga ke kantin," tanya Rey lagi.

"Hah?" Veve kembali heran.

Biasanya? Berarti, Rey selama ini memerhatikannya?

"Ngg ... Lagi gak laper aja."

"Nggak laper-nggak laper," ucap Rey menirukan Veve. "Nanti maag lo kambuh," ucap Rey. "Makan sana!"

Veve kembali heran, Rey barusan perhatian padanya, benarkah itu? Rey tidak sakitkan? Mengapa ia tiba-tiba perduli?

"Nih." Rey memberikan sebungkus roti.

Veve terperangah, berbagai pertanyaan mengganggu pikiran Veve. Apa ini? Mengapa Rey berubah?

"Nih." Rey mengulang perkataannya.

"Lo nggak lagi sakitkan, Rey?" Pertanyaan yang muncul di benak Veve tiba-tiba lolos dari mulutnya.

Veve segera menutup mulut, merutuki kebodohannya karena telah keceplosan.

"Eh, maksud gue-" ucapan Veve terpotong karena mendengar suara Rey sedang tertawa.

Entahlah apa yang lucu, entah Rey tertawa karena pertanyaan bodohnya atau karena kebodohan Veve yang keceplosan.

"Kenapa ketawa?" tanya Veve bingung.

"Lo aneh."

Veve mengernyit. "Aneh?"

"Iya, lo aneh, apa hubungannya ngasih roti sama sakit?"

"Ya ... Lo tiba-tiba ngajak ngomong gue, terus ngasih gue roti, nggak seperti lo biasanya," ucap Veve sambil menunduk, memandang kakinya yang dibalut sepatu.

"Emang biasanya gue gimana?" tanya Rey.

Veve mendongakkan kepala hingga matanya bertabrakan dengan mata milik Rey, dan seakan terhipnotis, ia tak bisa menjawab pertanyaan Rey, hanya fokus melihat mata Rey.

Bel masuk berbunyi menyadarkan Veve.

Dalam hati, Veve bersyukur karena tidak perlu menjawab pertanyaan Rey.

"Gue ke kelas dulu," pamit Veve lalu berlari.

Saat berlari menuju kelas, Veve berfikir, masih bingung tentang sikap Rey yang tiba-tiba berubah padanya.


Aneh memang, apakah benar Prince ice cream telah mencair? Apakah itu berarti keinginan Veve terkabul. Veve bingung, haruskah ia bahagia atau sedih jika kepribadian Rey sudah berubah.

🍦🍦🍦

Revisi : 6 Agustus 2017

Ice Cream Prince ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang