Bagian 23[Luka dan Kenangan]

3.5K 108 2
                                    

Terbangun di pagi yang mendung. Suara penyiar cuaca di televisi pun mulai meramal...bahwasanya hari akan hujan deras.

Aluna terbangun di pagi hari yang sudah terlihat suram itu dan yang tak lama lagi akan menangis, tangisannya membuat semua orang yang ada dijalanan berlari seketika atau melebarkan payung.

Aluna sendiri...sedang termenung di depan cermin riasnya. Dengan pikiran yang berulang kali me-review kejadian yang membuat hatinya sangat terluka. Aluna termenung, ia menatap matanya sendiri, seolah-olah menunggu tetesan air mata yang akan keluar dan meluncur di pipinya, sayangnya...luka di hatinya pada malam yang lalu sudah menguras habis air matanya.

Dan rintik-rintik kecil dari langit turun namun kian lama menjelma menjadi rintik deras yang membuat semua manusia berlari gelagapan. Rintik deras itu anehnya menggugah hati Aluna untuk beranjak dari ketermenungannya. Aluna berjalan mendekati jendela kamarnya, menyingkap tirainya, dan memandang keluar. Kelangit hujan...

"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang kutahu...semua tidak akan kembali seperti semula" Hati yang terluka milik Aluna berkata dalam keterdiaman Aluna.

Hati Aluna memang sudah memberi keyakinan, namun hati itu layaknya sebuah rumah. Rumah yang luas, yang cukup untuk kita sendiri, dimana disitu kita menyimpan segala hal pribadi kita, tapi...rumah yang luas itu tentu memiliki seluk-beluk yang hanya kita sendiri yang tahu. Di seluk-beluk itulah terdapat ruang kecil, ruangan khusus tempat menaruh beberapa rahasia kecil namun berharga yang...kita sendiri bisa melupakannya. Seperti itulah hati, ruang kecil itu ada di hati Aluna, ia menyimpan sisa dari kepedihan Aluna. Sisa...yang terungkap di suatu saat nanti.

*****

Rintikkan hujan seperti sengaja mengetuk-ngetuk jendela kantor Demian dan menggodanya untuk melihat keluar. Demian tersadar akan hal itu, ia pun berjalan kearah jendela dan menatap kondisi jalanan. Jalanan terlihat sepi jika hujan turun.

Pikirannya melayang kepada asanya yang telah ia kecewakan.

"lelaki hina dan tolol!"

"Benar! Benar sekali, Kevin...
Tak ada yang lebih hina dan tolol dibandingkan pria sepertiku" Demian meletakkan tangannya di jendela kaca yang besar diruang kantornya, seolah-olah ia bisa merasakan bulir-bulir hujan mengenai tangannya.

Senyum terulas di wajahnya, senyum ketegaran. Tapi ketika bayang-bayang kembali berseliweran dibenaknya...senyum itu meredup dan terganti dengan geraman kekesalan. Tangan Demian terkepal kencang, tangannya ingin sekali menghujam kaca dihadapannya hingga pecah. Namun, Demian segera menghentikannya, ia masih punya pikiran walau hampir keseluruhan pikiran sudah berteriak memaki.

Demian kembali menatap rintikan hujan yang menderas, semakin menderas...semakin ia merasa luka di hatinya kian pedih. Kakinya tak mampu lagi ia pertahankan dalam posisi tegak, ia jatuh perlahan dengan lututnya sebagai penopang bobotnya. Kepalanya lunglai, tak mampu menatap lurus kedepan. Ia hanya terpaku diam dengan kepala tertunduk, senyum tak kan lagi hadir, binar mata sudah meredup, goresan luka di hati telah disirami alkohol. Yah...pedih, bahkan sangat pedih!

"Biarlah jeritanku hanya terdengar olehku. Biarlah tangisanku hanya dilihat olehku. Dan biarlah lukaku hanya aku yang rasakan. Namun...ku hanya ingin kenangan ini bisa memberi mu kehangatan bila ia melintasi benakmu sejenak. Aku mencintaimu, Aluna".

Dalam ruang bercahayakan langit mendung...seorang pria mengurung diri bersama guratan asa yang sudah tercabik-cabik yang bukan karena perbuatannya. Demian...langit bahkan menangis untukmu.

*****

"Semua berjalan sesuai rencana kan?" Pria muda yang sedang duduk berhadapan dengan William terlihat memberikan senyum percaya diri. Senyum itu langsung diiringi gumaman 'ya' dari lawan bicaranya.

"Semuanya...begitu rapi dan tertata. Tidak sia-sia aku mau membiayai pendidikanmu waktu itu. Kau ternyata sangat berguna dibandingkan dengan anakku sendiri" helaan tawa keluar dari William.

"Terimakasih, saya anggap itu suatu pujian. Tapi saya melakukan ini karena balas budi saya kepada anda. Jika anda tidak membantu biaya kuliah saya dulu, mungkin saya hanya semakin direndahkan oleh keluarga saya sendiri".

Senyum terulas di wajah William, senyum kepercayaan diri. "Tentu saja. Keluargamu tidak bisa melihat siapa yang paling berpotensi didunia bisnis dari anak-anaknya, oleh sebab itulah aku mau membiayai perkuliahanmu di luar negeri".

"Tapi..." wajah pria muda itu tak lagi menunjukkan kebanggaan diri, tapi sorot keseriusan. "Haruslah sesuai dengan semua perjanjian kita. Rencana semalam sudah terlaksana, dan setelah itu saya tidak akan mau lagi ikut campur dengan urusan keluarga anda".

William menatap mata pria dihadapannya itu, seolah mencari dusta di matanya, tapi itu tidak ada. Pria muda itu serius dengan perkataannya.

"Baik. Sesuai perjanjian tentunya, tapi apa kau yakin tidak mau membantu saya lagi? Kebetulan saya memiliki sebuah perhotelan, kau bisa memilikinya jika kau mau membantu dan berhasil. Kau berminat?" William memberi penawaran, tapi sepertinya itu tidak membuat prinsip pria muda itu bergeming.

"Maaf. Saya memang menyukai dunia bisnis dan saya tahu betapa sulitnya terjun dalam dunia itu. Tapi saya bukanlah orang yang menikmati bisnis yang sudah dibangun oleh orang lain duluan, saya lebih bangga membangun bisnis sendiri dan menjadikan bisnis itu sukses".

"Baiklah, terserah padamu. Aku hanya menawarkan, tapi jika kau membutuhkan pertolongan pada bisnis kecil mu itu, kau bisa datang padaku" suaranya William terdengar sinis dan ia memberi penekanan pada kata 'kecil'.

Pria muda itu lalu berdiri dari kursinya, "Terimakasih untuk penawarannya, dan terimakasih juga karena sudah mengajak saya sarapan di restoran terkenal ini. Kalau begitu saya permisi dulu" pria itu tersenyum ramah dan kemudian memakai tudung jaket hitamnya.

"Tubuh jangkungmu itu terlihat aneh" nada sinis kembali tersembur dari William.

"Terimakasih, saya anggap itu pujian yang memotivasi saya semakin bertambah tinggi" lelucon pria itu hanya dibalas tatapan datar dari William.

Ia pun melangkah keluar dari restoran yang menyediakan segala hidangan yang berbau kebarat-baratan. Tetapi baru saja membuka pintu keluar, ia dikejutkan dengan hujan deras yang sudah membasahi seluruh jalanan ibukota. Dengan mengumpat sedikit sambil mengeratkan tudung jaketnya, ia berlari melintasi jalanan yang sudah dipenuhi genangan air disana sini. Setiap langkah kakinya selalu menghasilkan cipratan pada sepatu dan jeans yang ia kenakan, makian berulang kali keluar tapi kakinya tetap saja melangkah mencoba menghindari genangan namun malah mengenainya.

*****

Masa-masa yang sedang dijalani memanglah akan selalu berubah menjadi kenangan.
Tapi kenangan sendiri memiliki dua jenis yang berbeda, kenangan indah yang selalu memberi kehangatan jika mengingatnya dan kenangan buruk yang ingin selalu dilupakan.

Tindakanmu sekarang inilah yang akan menentukan kenangan yang nantinya akan kau simpan di perpustakaan hidupmu. Kenangan indah atau kenangan buruk?

Tapi ketahuilah! Indah atau burukpun kenanganmu, itu adalah kepingan-kepingan pelengkap di hidupmu sekarang....

~~~~~~~

Yooo...!!!
Happy New Year! [Telat!!!]
Tahun ini saya yakin...akan menjadi tahun kesibukan plus-plus dalam segala bidang. Fyuh...

Jadi...beginilah ceritanya ya!
Sebenarnya, bagian ini saya bingung mau nulis tentang siapa dan apa? Dan untuk bagian selanjutnya juga!. Hmm...begini kalau ada yang bisa memberikan saran untuk penulisan bagian selanjutnya, bisalah di tulis di komennya ya! Saya cuman minta saran, di bagian selanjutnya nulis tentang siapa dan apa yang akan dibahas aja kok. Nanti jalan ceritanya ya...saya aja yang ngarang. Okeh? Okeh lah!

Lima hari kedepan saya tidak akan ada rencana update, dikarenakan urusan pribadi. Sowry...

Votednya juga ya... tahun baru ini ada baiknya silent reader nongol dikitlah! Heheh...

AKU, KAMU dan Pertunangan(ini) - completedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang