Pengakuan sebenarnya

552 32 2
                                    

Lian baru saja selesai mandi dan berganti pakaian. Memang sekolah Lian sedang libur selama 3 hari dengan alasan try out anak kelas 3. Lian mengambil handphonennya. Sudah 2 hari ia tidak memegang handphonennya itu. sudah dua hari handphone kesayangannya di nonaktifkan. Ketika ia mengaktifkan handphonenya, di situ langsung masuk notif. 100 panggilan tak terjawab, 78 pesan belum di baca, 45 whattshap, dan 85 bbm. Semua itu dari Aldo. Jujur. Perasaan Lian tidak enak. Ia merasa bersalah kepada Aldo . baru saja ia ingin membalas semua notif itu, tiba-tiba ada suara pintu di buka.

Jgreggg

"Dek, ada yang nyari noh di bawah" oh ternyata bangyan

"Sapa?"

"Si Saldo"

Lian berpikir keras, dan dia baru mengerti kalo yang di maksud abangnya adalah Aldo.

"Iya,bentar lagi gue turun ke bawah"

Entah kenapa perasaan Lian tidak enak. Tapi mau tidak mau ia tetap harus menemui Aldo. Ia menuruni tangga menuju ruang tamu. Di lihatnya Aldo yang tengah sibuk membolak balikkan koran.

"Aldo" suara Lian lirih, hampir tidak terdengar, tapi tidak dengan Aldo. Ia masih mendengar suara itu.

"Ikut aku" suara itu terdengar tegas dan dingin.

Tanpa ba bi bu bak robot Lian mengangguk, mengikuti Aldo masuk ke mobilnya. Dalam perjalanan tak ada satu percakapan pun yang keluar dari mulut mereka berdua. Hening. Semua diam. Lian merasa ingin segera keluar dari keadaan yang sekarang ini. Tapi ada dayanya? Ia hanya bisa memandang ke luar jendela. Selang beberapa menit, mobil sport merah itu berhenti di sebuah taman yang sepi. Tanpa berkata apa-apa Aldo turun dari mobil, di ikuti Lian di belakangnya.

Dan di sinilah sekarang Lian dan Aldo. Duduk di bangku putih, di tengah-tengah taman itu. Tidak ada yang ingin memulai percakapan duluan. Semua bungkam. Diam. Seperti mayat hidup. Hingga akhirnya Aldo mau buka mulut juga.

"Kamu kemarin kemana aja?" Nada Aldo terdengar datar

"Egg...aku pergi" jawab Lian gugup

"Kenapa aku telpon, aku bbm, aku wattshap gak bales?" Kali ini suara Aldo tenang tapi mengintimidasi Lian.

"Handphone aku nonaktifin"  jawab Lian lirih

"Kenapa di nonaktifin?" Lagi, Aldo masih dengan nada datarnya. Kali ini lebih parah.

"Egg...." Lian bingung harus jawab apa, ia tidak mungkin juga menjawab bahwa itu peraturan wajib yang harus di patuhi yang di buat Rano waktu mereka pergi dua hari lalu.

Aldo diam. Di tatapnya mata Lian itu. Di raihnya dua tangan lian dan di genggamnya.

"Sekarang kamu jujur sama aku, kamu kemarin pergi sama siapa?" Kali ini suara Aldo lebih lembut, tapi masih saja dingin.

"Eggg.... Sama Rano" suara Lian sangat lirih, bahkan ia sengaja menenggelamkan kepalanya. Ia takut.

Aldo diam. Di dongakkanya kepala Lian supaya menatap matanya.

"Kenapa kamu gak bilang sama aku? Kenapa kamu gak jujur ?" Kini terdengar di setiap kata-kata Aldo terdapat secerca kekecewaan.

"Maafin aku" Mata Lian sudah berkaca kaca. Rasanya air mata itu ingin tumpah saja. Tapi Lian menahannya.

"Kayaknya kita gak usah ngelanjutin hubungan ini aja, raga kamu memang sama aku, tapi pikiran kamu dan hati kamu ada sama dia" Aldo benar-benar kecewa dengan Lian.

"Tapi aku sayang sama kamu do" kini air mata Lian benar-benat mengalir

"Sayang aja gak cukup li, pacaran itu gak sekedar cuma sayang, tapi harus ada rasa percaya dan kesetiaan. "

"Maafin aku do" Lian menangis sesenggukan

Aldo menangkup wajah Lian, menghapus air mata Lian dengan penuh kelembutan.

"Denger aku li, dalam hubungan,  kalo dia benar-benar cinta dia akan memberikan apa saja tanpa meminta sekalipun dia akan ngasih semua dengan senang hati" jelas Aldo

"Tapi, kamu ngasih aku kalung ini tanpa aku minta?" Lian menunjukkan kalung pemberian Aldo yang terpasang manis di leher jenjangnya

"Iya, berati aku memang cinta sama kamu, tapi kamu? Bukan kamu yang ngasih ke aku dari hati kamu, tapi aku yang minta."

"Please do, jangan kaya gini" Lian menangis, ia menggigit bibir basahnya agar isakannya tidak terdengar keras.

"Sebenernya aku juga sayang sama kamu, bahkan cinta" Rano menarik nafas dalam dalam dan menghembuskanya dengan kasar, penuh kekecewaan "tapi aku gak bisa ngasih hati aku ke orang yang hati dan pikirannya buat orang lain. Bukan buat aku, maaf li"

"Tapi...." Ucapan Lian terpotong

"Udah ya, kita udahin ini semua, aku udah gak bisa jadi seseorang yang spesial buat kamu, aku gak mau hidup di bayang-bayang orang yang kamu suka itu. Maaf,"

Lian sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bibirya bungkam. Sulit mengucapkan yang ada di hatinya. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah menangis. Dengan sigap, Aldo langsung menarik Lian dalam pelukannya. Tapi hanya sebentar. Lalu melepaskannya.

"Udah ya, jangan nangis, aku percaya, kamu bakalan lebih baik sama dia. Dari awal aku udah tau kalo kamu ada rasa sama dia. Makasih udah mau jadi bagian dari hidupku, selamat tinggal" Aldo mencium kening Lian, mengusap usap kepala Lian dengan lembut. Aldo bangkit dari duduknya, ia tersenyum dan berlalu begitu saja meninggalkan Lian yang masih menangis dalam diam.Kini hatinya bimbang. Ia sudah melukai hati seseorang. Ia merasa itu semua salah besar, tapi kenapa ia tidak merasakan sakit seperti saat kehilangan Bara? Atau memang benar hatinya tidak sepenuhnya untuk Aldo? Ia saja sangat bingung dengan hatinya itu. Apa benar ia sudah menaruh hati kepada Rano yang dulu ia benci itu? Ah entahlah , kenapa semua itu begitu rumit? Entah kenapa hatinya, pikirannya selalu saja mengarah pada Rano. Orang itu selalu memenuhi pikiran Lian setiap detiknya. Lian masih ada di taman itu hingga senja datang. Ia berharap, senja di taman itu ikut menenggelamkan masalahnya pada hari itu.

***

Haii! Vote and commentnya ya, janga jadi pembaca gelap ya, salam jomblo!

-AFTER RAIN-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang