Akmal menggaruk belakang kepalanya. Wajahnya menunjukkan ekspresi penyesalan.

"Sorry deh Hun, hehehe."

"Emang kamu mikirin apa sih? Sampai ucapan aku nggak kamu dengerin?"

Akmal mengendikkan bahu. "Nothing important, Hun. Cuma masalah random aja."

Tak lama pesanan mereka datang. Akmal pun mengalihkan pembicaraan dengan memaksa Mira untuk segera memakan pesanannya. Menunjukkan dengan sengaja pada gadis yang suka kuliner itu bahwa makanan yang dia pesan sangat enak. Alhasil, Mira pun jadi ikutan tergoda dengan makanan milik Akmal. Karena saat ini Akmal terlihat memakan makananannya dengan sangat nikmat. Mira pun tak ambil pusing dan langsung tergoda untuk memakan miliknya sendiri.

***

Air mata Juni masih menetes hingga sore ini. Setelah Mama mengetahui semuanya, Juni hanya bisa berucap maaf sambil menangis tersedu. Terkadang disela tangisnya, perutnya seolah meronta untuk minta diisi. Namun Juni mengindahkannya. Dia hanya dapat menangis dan terus menangis. Air matanya sepertinya ingin ia habiskan saat ini juga. Berharap untuk ke depannya dia tidak akan menangis lagi.

"Sayang."

Mama yang duduk di sofa seberang akhirnya bersuara setelah mendiamkan Juni kurang lebih delapan jam lamanya. Mama sedari tadi hanya menangis dalam diam dan terisak. Rasanya masih belum percaya ada sosok yang tumbuh dalam rahim putrinya. Demi Tuhan, putrinya belum bersuami. Putrinya masih dalam tanggung jawabnya. Tetapi entah bagaimana bisa sosok yang menjadi darah daging Juni itu dapat hadir dengan tiba-tiba dan secara perlahan tumbuh di rahim Juni.

"Kenapa sayang? Kenapa Mama mendapatkan kenyataan ini? Siapa sayang? Siapa yang melakukannya?!" Dalam pandangan kosong namun air mata masih mengalir membasahi pipi, Mama berucap.

Juni tidak berucap. Isakan kecilnya saja yang terdengar. Matanya sembab dan hidungnya sampai merah. Cairan bening yang mengucur deras menuruni pipi gembilnya layaknya menjadi satu-satunya jawaban untuk rentetan pertanyaan dari Mama. Lidah Juni lebih kelu daripada saat mengakui semuanya pada Ega. Seperti ada banyak godam yang siap-siap menerjangnya.

"M-Maaf, Ma. J-Juni nggak bisa bilang." Dengan terisak, Juni mencoba berucap.

Mama perlahan mengarahkan pandangannya pada Juni. Mata kelam namun tersirat ribuan kesedihan bercampur kekecewaan itu memandang lelah pada Juni. Setelah semua yang dilakukan Juni padanya, menyembunyikan fakta mengejutkan, bahkan Mama juga dirasa tidak berhak tahu siapa lelaki yang telah melakukan perbuatan tersebut pada anaknya. Lelaki yang seharusnya meminta restu padanya terlebih dahulu untuk mempersunting satu-satunya putri tercintanya. Laki-laki yang malah membiarkan benihnya tertanam dan tumbuh dalam badan Juni tanpa membuat ikatan yang sah baik secara hukum maupun agama.

Mama sedikit menegakkan duduknya. Tangannya terulur untuk meraih kedua jemari Juni dan menggenggamnya. Mata sembab Mama menatap Juni yang terisak.

"Nduk, Mama ini adalah orang tuamu. Orang yang membesarkanmu. Orang yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya pada Allah atas kamu sebagai titipan-Nya. Tidakkah sudah cukup bagi kamu untuk terus menutupi semuanya pada Mama? Mama hanya ingin tahu siapa laki-laki itu? Mama hanya ingin dia bertanggung jawab atas perbuatannya dan atas janin itu, Nak." Jelas Mamanya.

Mendengar semua yang dikatakan Mama, hati Juni bergetar dan terasa semakin hancur. Rasanya Juni sangat amat berdosa pada sosok wanita yang telah melahirkannya. Wanita di hadapannya telah mengalami apa yang dialaminya sekarang. Berjuang atas nyawanya untuk dapat membiarkan Juni melihat dunia. Wanita yang rela menerima konsekuensi berupa tanggung jawab atas dirinya kelak di akhirat. Memikirkan itu semua, palung hati Juni rasanya tertohok sangat dalam. Sudikah ia membiarkan beban berat Mamanya semakin bertambah?

Juni tergerak dan langsung mengambil posisi untuk berlutut di depan Mama. Memeluk kedua kaki Mama dan menangis tersedu lagi. Air mata berjatuhan bahkan sampai menetes mengenai baju Mama. Hati Juni seolah tercabik apabila melihat Mama sampai menangis tersedu untuknya. Mama adalah sosok yang kuat selama yang Juni ketahui. Dan memikirkan bagaimana Mama menanggung atas dirinya di akhirat kelak, hati Juni seolah hancur berkeping-keping.

"M-Maaf, Ma. M-Maaf, hiks, hiks... B-Bukan, ugh, m-maksud Juni u-untuk, ugh, itu. J-Juni hanya takut, Ma. Juni takut Mama kembali kecewa dengan Juni. Hiks."

"Apa maksud kamu, sayang? Kenapa kamu berkata begitu?"

Suara Juni seperti tercekat. Juni bukan tidak mau berkata jujur pada Mama tentang siapa laki-laki yang dimaksud. Hanya saja, Juni tidak ingin lihat bagaimana reaksi Mama jika tahu bahwa yang menghamilinya adalah Akmal, kekasih Mira yang juga Mama kenal. Walaupun Mama belum tahu wajah dan rupa dari Akmal sendiri, tetapi melalui berbagai cerita yang selama Juni sampaikan pada Mama sudah cukup membuat Mama tahu siapa Akmal.

"I-Itu, laki-laki itu–"

Ting Tong

Ucapan Juni terpotong ketika ia dan Mama mendengar bunyi bel pintu rumah, tanda bahwa ada tamu yang berkunjung. Mama segera mengusap air mata, begitu pula dengan Juni. Mama mengusap pelan punggung tangan Juni sebelum beranjak untuk menuju ruang tamu dan membukakan pintu untuk melihat siapa yang datang. Sedangkan Juni lebih memilih untuk bangun dan mengambil posisi duduk di atas sofa yang membelakangi dari arah ruang tamu.

"Coba tebak siapa yang dateng?"

Dua buah jari bergerak dengan tiba-tiba dan menutupi pandangan Juni. Perempuan berambut sebahu itu sampai terperanjat kaget. Meskipun dengan keadaan tanpa bisa melihat, Juni sangat tahu suara barusan. Itu adalah suara Mira.

"Mira?"

"Yup! Finally, I meet you, Sweetheart." Ucap Mira sambil menarik tangannya agar Juni dapat leluasa melihat lagi.

Juni sedikit tersenyum dan perlahan dia mulai berbalik untuk menatap Mira yang berada di belakangnya. Senyum yang semula ia paksakan agar wajah sembabnya tersamarkan langsung menghilang ketika dia berbalik sepenuhnya. Juni mencoba untuk menekan rasa kagetnya ketika melihat Mira yang datang dan tersenyum lebar padanya, namun segera panik ketika melihat wajah sembab Juni. Sebenarnya, bukan Mira yang membuat jantungnya hampir berhenti berdetak. Tetapi, sosok yang berdiri di belakang Mira dan sedang mengobrol sekilas dengan Mamalah yang membuatnya terpaku diam. Sosok itu adalah Akmal.

Laki-laki yang namanya baru saja akan ia ucap di depan Mama.

***

JUNIWhere stories live. Discover now