BAB 18

387K 16.7K 236
                                    

Stella tak pernah lagi kembali ke flat itu, sejak pertengkaran dan kematian Ayahnya, Ibu Ben meminta Stella untuk tinggal di rumahnya. Awalnya Stella menolak karena tentu akan merepotkan mereka, tapi dukungan Ben dan Ibunya membuat Stella mengiyakan permintaan tersebut.

"Sungguh, kau tak perlu meminta ku untuk tinggal dirumah mu nyonya Montez"

Carissa Montes menggelengkan kepalanya pelan, "Kau tidak perlu memanggilku seperti itu," katanya sembari memegang kedua pundak Stella, "Jika kau mau, kau bisa memanggil ku Mom" lanjutnya.

Garis bibir Stella yang awalnya naik, kini kembali turun cenderung murung. Lagi-lagi kata yang paling dihindarinya terdengar kembali.

"Apakah aku mengucapkan hal yang salah, Sayang?" raut wajah Carissa menjadi bersalah kepada Stella, namun perlahan berubah menjadi tenang kembali saat Stella memeluknya dan memanggil "Mom". Mereka saling berpelukan, pelukan yang paling dinanti Stella selama hidupnya.

Carissa mengantar Stella ke kamar yang akam ditempatinya, lebih tepatnya kamar tamu yang terletak di samping kamar Ben. Stella duduk di sofa besar dalam kamar sementara matanya menelusuri setiap sudut ruangan. Kamar yang unik, karena letak ranjangnya berada di atas untuk mencapainya harus menaiki tangga. Dibawah ranjang terdapat lemari dinding untuk menyimpan baju-baju serta koleksi sepatu. Tak hanya itu, LCD Televisi juga tertempel tepat di dinding depan lemari dinding, lantai penuh karpet menjadi alas sofa besar berwarna putih tulang, meja rias diujung ruangan mempemanis dekorasi.

"Itu apa?" Stella menunjuk pintu kecil yang ada di sisi ranjangnya.

"Pintu yang menghubungkan kamar ini dengan kamar Ben," Carissa menggeser kusen kayu itu, memberi ruang seseorang untuk merangkak menuju ruangan disebelahnya, "kemarilah".
Stella beranjak dari duduknya mendekati Carissa berada.

Tiba-tiba pintu kamar Ben terbuka, "Oh Jesus!" Carissa segera menutup kedua matanya melihat Ben yang sebelumnya hanya terlilit handuk melingkar di pinggang, lalu menanggalkannya hanya menyisakan celana dalam abu-abu tua.

"Ya Tuhan, Mom. Apa yang kau lakukan?" tanya Ben sembari kembali melingkarkan handuk itu di pinggangnya. Wajahnya mulai memerah karena dua orang wanita telah melihatnya hampir telanjang.

"Aku sedang mengajak Stella melihat kamarnya, kau yang sedang apa?"

Ben mengangkat kedua tangannya dan juga menautkan kedua alisnya.

"Baiklah, mari kita keluar dari sini Stella" Carissa memutar kedua matanya seraya merangkak kembali menuju kamar Stella.
Sedangkan Stella hanya cengingisan melihat kedua ibu dan anak itu menggemaskan.

***

Tidak terhitung lagi berapa kali Jake melempar bola basket ke dalam ring, puluhan bola basket berserakan di sekitar aula. Keringkatnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, ia tergeletak di atas lapangan basket dengan kedua kaki yang lurus berselonjor. Ia mencoba mengatur nafasnya yang tidak beraturan, jika Jake sedang banyak pikiran memang ia selalu melampiaskan bermain bola basket hingga kedua kakinya tak kuat lagi untuk menumpu tubuhnya.

Seseorang datang menghampirinya, memberikan sebuah amplop tebal bernuansa serba coklat dam emas. Ia menerima amplop tersebut, kemudian berjalan menuju tepi lapangan. Di teguknya air mineral dingin dalam botol ungu miliknya, lalu duduk di bangku panjang.

"Tidak baik meminum air es saat kau selesai berolahraga" Bianca datang dari kejauhan, menyodorkan botol air mineral yang masih tersegel. Jake hanya memandangnya singkat, tanpa memperdulikannya.

"Kau akan pergi bersama siapa? bagaimana dengan ku?" tanya Bianca yang sedang menatap amplop coklat dalam genggaman Jake.
Lagi-lagi Jake tidak memperdulikannya, melainkan langsung berjalan menjauhi Bianca.

Jake membanting tubuhnya ke sofa dalam flat, ia mulai membuka amplop itu. Ternyata undangan untuk menghadiri prom night, serta malam perpisahan sekolah. Ia bangkit dari duduknya, berlari tergopoh-gopoh menuju kamar yang bersebelahan dengan kamarnya. Diketuknya pintu tersebut bertubi-tubi dengan senyum yang mengembang memamerkan deretan giginya, "Stella.. kau akan datang bersam..."

Perlahan senyumnya pudar, dia lupa bahwa separuh memori indahnya telah hilang.

Jake menghentikan ketukannya, tangannya menyentuh gagang pintu yang dingin. Serpihan ingatannya kembali mengingat saat-saat ia selalu membuka pintu ini perlahan di malam hari untuk menggoda Stella.

Ia duduk di tepi ranjang berseprei pink muda, telapak tangan Jake menyentuhnya lembut. Kenangan itu tiba-tiba terulang.

Ia membuka pintu dengan hati-hati pukul dua belas malam, Stella sudah tidur nyenyak dibawah selimut yang membalut tubuh mungilnya.

"Baaaaaaa!!!!!" Jake mengagetkan Stella, membuatnya terpaksa membuka mata dengan jantung yang masih berdebar-debar.

"Jake! Ada hantu di kamarku!" Stella berteriak kencang, menyembunyikan wajahnya di bawah selimut.
Jake ikut memasukkan tubuhnya dibawah selimut itu, "Hei, aku disini" ucap Jake dengan lembut.

Jake tersenyum miris mengenang setiap peristiwa menyenangkan yang dilaluinya bersama, Stella.
Ia berjalan mendekati meja belajar Stella, mengambil note kecil berwarna pink yang ia tempelkan di dinding

'Aku sangat mencintaimu, Jake. Jangan pernah tinggalkan aku atau kau akan mati! kau tau!'

Jake menghela nafas berat, ia berada di ujung pintu melihat sekeliling ruangan, "Dia tak lagi disini, tapi seperti masih berada disini" ucap Jake hampir tak dengar sebelum benar-benar menutup pintu tersebut.

***

Stella menatap langit-langit kamar barunya, setengah jam yang lalu ia belum bisa menghapus bayang-bayang Jake dalam pikirannya. Tidak bisa dipungkiri dia memang sedang merindukan sosok Jake. Ia mengingat setiap hal manis antara dirinya dengan Jake.

"Ben.." Stella menggeser pintu kecil yang berhubungan dengan kamar Ben.

"Astaga! Stella, apakah kau dan ibu ku sekarang mencoba membunuh ku dengan selalu membuat ku terkejut?"

Stella tertawa puas melihat ekspresi dari Ben, kemudian ia merangkak mendekati Ben, "Aku sangat kesepian"

"Ah, Stella tunggu sebentar!"

"Ada apa?"

Ben turun dari ranjangnya, mengambil sesuatu di bawah sana, ia memberikan sebuah amplop coklat pada Stella "Undangan prom night"

"Waw! menyenangkan" kata Stella seraya membuka amplop tersebut, "aku tidak akan ikut"

"Kenapa? kau harus ikut"

"Aku tidak memiliki gaun untuk pergi, semua bajuku ada di flat"

Ben mengangkat kartu kredit miliknya, "Lets shopping"





Bersambung..

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
Jangan lupa vote dan tulis komentar kalian:)
Tidak masalah jika kalian menuliskan kritik tentunya dibarengi dengan saran supaya author dapat memperbaiki tulisannya. semakin banyak yang vote dan komentar, semakin sering untuk di update. karena itu adalah penyemangat author hehe:))
Thank you..❤️

STELLA.Where stories live. Discover now