Chapter 6 - Tertinggal (2)

Start from the beginning
                                    

"Terserah saja! Kalian berdua tidak usah bicara lagi denganku!" Jerry meninggalkan kami semua. Dengan masih sedikit kesal, ia duduk di batang pohon kelapa yang tumbuh merebah di tepi pantai.

Stefan dan Maureen duduk lemas di atas pasir. Mereka saling berbisik. Entah apa. Sementara aku dan Charly bertukar pandang. Aku mendekatinya yang berdiri beberapa meter di depanku. Aku menatap mata coklatnya. "Kita perlu bicara." Aku menarik tangannya dan membawanya ke bibir pantai.

"Kau bilang ada perkampungan di pulau ini. Kau tinggal di sana kan?" Aku menginterogasinya.

"Ya, kami tinggal di sana."

"Lalu bagaimana mungkin semua orang di Inggris bilang bahwa pulau ini adalah pulau tak berpenghuni, Charly?"

"Begitu ya? Sepertinya pemerintah merahasiakannya dengan baik."

"Apa maksudmu?"

"Kami sebenarnya adalah warga buangan dari London." Charly tertawa seakan itu semua lucu. "Kau tidak menyangka, kan?"

Aku menyipitkan mata. Ada rasa ingin percaya, tapi aku memilih mencurigai Charly terlebih dahulu. Aku ingin waspada dengannya. Aku menangkap banyak hal aneh yang baru kuketahui darinya. Ini benar-benar membingungkan. Sungguh!

"Kenapa kalian dibuang?"

"Sebuah wabah penyakit. Puluhan tahun lalu wabah penyakit menyerang desa kami. Dan pemerintah mengasingkan kami ke sini, mereka takut penyakit kami menular."

Aku menatap Charly ngeri. Sampai seperti itu tindakan yang diambil pemerintah. Sepertinya bukan masalah biasa.

"Tapi tenang, Patricia. Kami sudah bisa menyembuhkan diri kami sendiri." Ya Tuhan, apa Charly bisa membaca pikiranku?

"Tapi, yahh, tetap saja kami penduduk yang terasing. Kami bahkan tidak boleh ketahuan wisatawan yang datang. Rasanya seperti bersembunyi untuk selamanya. Sebenarnya ada hukuman untuk yang melanggar, hehe, jadi jangan beritahukan orang lain kalau kalian bertemu denganku ya.."

Aku mengangguk. Ada sebuah ingatan tentang artikel di sebuah surat kabar yang pernah kubaca, berjudul Penduduk Lain di Pulau N. Tapi setelah itu pemerintah merilis pernyataan bahwa berita itu adalah kebohongan. Apa ini yang Charly maksud? Sepertinya iya.

"Lalu bagaimana kalian pergi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang kalian tidak bisa dapatkan dari pulau ini?"

"Hmm.." Charly terlihat berpikir. "Kapal Pasar, begitu kami menyebutnya, biasa datang setiap hari Senin."

"Besok? Itu artinya kami bisa kembali besok dengan menumpang kapal itu, Charly!" kataku bersemangat.

"Benar, besok aku akan memberitahu mereka untuk kemari."

Di barat pulau, aku melihat mentari yang semakin rendah. Semburat jingga dan merah mewarnai indahnya pantai di sore hari. Aku menarik lutut ke depan dadaku. Daguku menopang di atasnya. Hawa dingin terasa semakin menusuk ke dalam kulit, dan rasanya ia ingin bersembunyi di sana. Aku terbatuk beberapa kali.

"Kau pasti kedinginan." Charly melepas jaket kulitnya lalu menyelubungiku dengan benda itu.

Aku menoleh ke arahnya. "Oh! Tidak perlu.."

"Tidak apa-apa."

Aku memutuskan menerimanya.

"Hey, Charly.."

Charly mendehem.

"Berapa umurmu?" Aku tidak percaya menanyakan hal bodoh seperti itu.

"Haha, aku tidak menyangka kau akan bertanya tentang umurku.. Menurutmu berapa?"

"25?"

Charly menggeleng sambil tersenyum. "Kau salah besar. Apa aku terlihat semuda itu, ya? Aku 31."

"Apa?!" Aku berseru tidak percaya. Sungguh pria ini pasti sedang membohongiku.

"Bagaimana denganmu?" tanya Charly memecah keherananku.

"Oh..ak..ak..aku, umurku 21. Aku tidak menyangka kau setua itu, hehe. Apa aku harus memanggilmu kakek?"

Kami tertawa dan sesekali bertukar pandang. Matanya adalah bagian favoritku. Coklat keemasan ditimpa cahaya matahari senja. Matanya selalu hampir tidak berkedip saat menatapku. Ia hanya sesekali berkedip jika beberapa helai rambut jatuh menutupi matanya. Aku menebak-nebak apa yang akan ia katakan. Tapi ia hanya diam seperti dapat membaca apa yang kurencanakan. Jadi aku mengalah, dan bertanya lebih dulu.

"Bisakah kami ke sana? Mungkin kami akan lebih aman berada di tempatmu."

Charly membulatkan matanya, yang kutahu itu adalah respon keterkejutan. Aku tahu itu karena aku menatapnya terus semenjak pertanyaan itu terlontar dari bibirku. Pandangan kami lagi-lagi bertumbukkan.

"Hmm.. harus kukatakan ini sedikit aneh, Patricia.."

Aku mengernyitkan dahi. Kemudian aku ingat bahwa pria ini sudah mengetahui namaku sejak pertama kami bertemu. Satu keanehan. Aku tidak menyela kata-katanya. Aku menunggu ia melanjutkan, tapi pria itu malah terus menatapku seperti enggan mengatakan yang sebenarnya.

"Lanjutkan, aku akan mendengarkannya. Lagi pula tidak ada yang bisa aku lakukan saat ini," kataku mencoba santai, memancingnya untuk terus bicara.

"Charly..." Aku memanggilnya lagi. Pria itu masih menunduk seperti tidak menghiraukanku. Rambut hitamnya tergerai di samping wajahnya. Wajah rupawan itu kini hampir tak terlihat. Tapi aku masih bisa melihat wajahnya, ya karena aku entah kenapa selalu mengingat wajahnya.

 Tapi aku masih bisa melihat wajahnya, ya karena aku entah kenapa selalu mengingat wajahnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

*Anggep aja itu udah malem ya hihi*

***bersambung***

jangan lupa vote dan comment yaa...

The Protecting Blood Where stories live. Discover now