Lian tidak membenci hujan (lagi)

Start from the beginning
                                    

"Iya, anggepan gue juga gitu. Tapi gak sekarang" Lian menatap lurus kedepan, pandangannya menerawang begitu jauh. Pikirannya tiba-tiba membawanya ke masalalunya.

"Why?" alis Rano kini sempurna menyatu

"Gak papa"

"Kok lo gak bareng pacar lo? Biasanya juga berangkat bareng gue, terus pulangnya suka bareng Aldo. Yah walaupun gak sering sih"

"Oh itu.. " Lian menggantung kalimatnya "Aldo gak bisa, dia ada rapat buat event futsal"

"Oh" Rano ber oh ria . Rano menarik tangan Lian " ikut gue yuk? "

"Kemana?" Lian menatap Rano meminta penjelasan

"Entar juga lo tau" jawab Rano sambil tersenyum

"Stop!" Lian mengentikan langkahnya. Tangannya mencegah Rano untuk melangkah

"Napa?"

"Lo yakin mau nerobos hujan?" tanya Lian dengan tatapan tidak yakin

"Kenapa enggak?"

"Gue gak mau." jawab Lian tegas

"Why? Lo takut sama hujan?"

"Gak. Ada sesuatu hal yang bikin gue benci sama hujan. Yang bikin gue trauma sama hujan. Apalagi buat main hujan hujanan." Lian melepaskan genggaman tangannnya dari genggaman tangan Rano. Dirinya kembali menatap hujan yang sedari tadi masih turun. Malah semakin deras saja.

"Justru itu. Yang namanya trauma itu harus di ilangin. Seberat apapun sesuatu itu yang ngebuat elo benci hujan, elo harus bisa ngelawannya. Trauma itu kaya rasa takut. Dan rasa takut itu harus elo lawan. Elo harus lebih kuat dari rasa takut itu. Dan rasa takut itu akan hilang ketika elo berani ngelawan dia" jelas Rano

"Tapi ini gak semudah apa yang elo katakan."

"Gak semua yang elo bilang mudah semudah apa yang elo jalanin dan gak semua yang elo bilang sulit itu sesulit apa yang elo jalanin. Tergantung gimana elo nyikapinnya" Rano terdiam sejenak " apa lo berani ngadepin rasa takut elo itu? "

Lian tidak menjawab. Dirinya hanya diam terpaku menatap Rano. Dirinya hanya takut jika ia bersentuhan dengan air hujan itu maka dia akan mengingat semua yang selama ini sudah dia simpan rapi rapi di hatinya. Dan apa yang ia sembunyikan akan muncul lagi. Dia takut kalo luka yang sudah mengering akan basah lagi. Akan muncul bak bunga yang di beri pupuk. Subur dan berkembang.

"Ayolah. C'mon. Sampe kapan elo kek gini? Gak mungkin kan elo bakal seumur hidup lo benci sama hujan? "

Lian hanya menggelengkan kepalanya. Dalam hatinya ia membenarkan perkataan Rano.

"Gini aja. Pegang tangan gue. Pejamin mata elo"

Lian menuruti perkataan Rano.

"Oke. Sekarang ketika tubuh elo bersentuhan dengan tetesan hujan, biarin aja. Biarin dia merontokkan trauma elo. Biarkan dia mengingatkan elo sama sesuatu yang ngebuat elo jadi benci sama hujan. Biarin semua perasaan elo tumpah ruah bersama hujan"

Lian menganggukkan kepala

"Siap?"

"Gue siap"

"Oke, ikutin gue"

Lian mengikuti langkah Rano. Perlahan namun pasti rintik hujan yang deras mulai membasahi seragam yang di kenakan Lian. Meresap ke seragamnya dan membasahi tubuhnya. Benar apa yang di katakan Rano. Seketika itu juga sekelebat memori masalalunya terkuak seketika. Ia seperti di bawa ke masalalunya. Dimana ia sedang main hujan hujanan dengan Bara. Dimana ia dengan gembiranya menari nari di bawah hujan, dimana ia memainkan bola basket bersama Bara. Yah kenyataan masalalunya itu begitu pahit. Dan tanpa Rano sadari Lian menangis dalam mata terpejam. Menangis dalam hujan. Lian mencoba menyatu dalam hujan itu. Hujan yang dia anggap hanya miliknya dan milik Bara saja. Hujan yang selalu menemani hari hari Lian dengan Bara. Dan Bara juga yang membuat dirinya benci dengan hujan. Dirinya sekarang sadar. Dia telah salah membenci hujan. Hujan tidak pernah salah. Kenapa ia harus membencinya? Tidak ada yang salah. Ia sadar itu adalah suaratan takdir untuk dirinya dan juga Bara. Kini Lian dan Rano berputar putar menari nari di atas hujan.

"Sekarang coba buka mata lo" seru Rano setengah berteriak

Lian perlahan membuka mata, dan seulas senyum terukir di bibirnya. Oh baru kali ini Lian bisa tersenyum lagi karena hujan. Itu semua berkat orang yang ada didepannya sekarang. Yang sedang tersenyum manis dan menatapnya penuh keceriaan.

"Seneng gak?" Rano kembali berteriak

"Seneng banget" Lian tersenyum. Ia tertawa lagi di antara hujan.

'Kenapa ia begitu mirip dengan Bara?' batin Lian ia tersenyum samar.

Hujan reda juga. Sekarang jam 5 sore. Lian dan Rano duduk di tengah tengah lapangan basket. Mereka dalam posisi tidur. Tapi mata mereka sibuk menatap awan yang tadinya kelabu perlahan menjadi berwarna sayup sayup jingga. Tak ada kalimat yang keluar dari mereka berdua. Keduanya saling membisu. Hingga Lian yang membuka pembicaraan.

"Thanks ya ran"

"Urwell des"

"Makasih karena elo udah ngebuat semua kembali kaya dulu. Makasih karena elo udah ngebuat gue gak benci sama hujan lagi. Semua udah balik kayak dulu"

'Iya semua udah balik kaya dulu. Kecuali kamu Bar' batin Lian

"Iya sama-sama. Gue seneng juga bisa ngehilangin trauma lo" Rano menegokkan kepalanya ke kanan. Ke arah Lian. "Kalo boleh tau, elo kok bisa benci sama hujan sih?"

"Ceritanya panjang"

"Kalo boleh tau juga, emang gimana kronologisnya?"

"Yah simpel aja sih. Semua itu gara gara orang yang gue suka. Lebih tepatnya sangat gue sayangi, dia pergi ninggalin gue tanpa sebab apapun. Tanpa kejelasan" Lian menghembuskan nafasnya berat " semenjak itu hidup gue kacau. Hidup gue berubah. Gue jadi tomboy, ketus, jutek, dan salah satunya kayak yang lo tau tadi. Gue benci hujan"

"Oh gitu, maaf , gara gara gue elo kepaksa hujan hujanan dan otomatis elo bakal inget sama masalalu elo"

"Gak papa kok. Justru itu semua bisa ngilangin kebencian gue sama hujan. Selama ini gue gak pernah mau cerita sama siapapun. Bahkan sama temen deket gue di SMA ini. Tapi entah kenapa ketika ketemu elo, gue bisa cerita ini semua ke elo. Makasih elo udah mau ngehilangin separuh beban gue" Lian tersenyum manis

"Elah dari tadi makasih mulu deh ya, udah sante aja. Selama elo bahagia gue bahagia. Kalo lo butuh bahu untuk bersandar bilang gue. Gue siap buat jadi sandaran elo. Gue siap des" jawab Rano penuh keyakinan.

Lian hanya tersenyum. Kali ini senyum itu mengisyaratkan bahwa Lian benar benar bahagia dan merasa sebagian beban hidup yang ia pendam selama ini benar benar hilang.

Matahari tenggelam. Kembali keperaduannya. Bersama itu juga, senja hari itu menyaksikan kedua anak manusia yang saling pandang satu sama lain tanpa berucap. Hingga salah satu diantara mereka tertawa. Senja sore itu bersaksi bahwa mulai hari itu Lian tidak membenci hujan lagi. Lian menyukai hujan lagi. Yah Lian suka dengan hujan (lagi).

***

Hai guyss!! Ketemu lagi dengan gue 😉. Cuma ngingetin aja. Jangan lupa vote and coment ya guys! Ayolah c'mon jangan jadi PEMBACA GELAP YA😉 THANKS. Sampai jumpa lagi. Bye! SALAM JOMBLO!

-AFTER RAIN-Where stories live. Discover now