Chapter 6

9K 633 3
                                    


Aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Terutama di bagian kepala. Aku berfikir, apakah aku sudah mati? Yang terakhir kali aku ingat, hanyalah wajah kakakku yang ingin membunuhku dan aku harap itu hanyalah mimpi burukku.

Perlahan-lahan, aku mencoba untuk membuka mataku. Ku lihat ada seorang pria yang sedang tersenyum sambil memandangi wajahku.

"Selamat pagi adikku," ucap seorang pria sambil mengecup keningku.

Tentu saja aku tersentak. Aku langsung bangun dan pergi menuju pintu kamar untuk menjaga jarak darinya. Pria itu menatapku dengan raut wajah kebingungan. Akupun juga begitu, bagaimana bisa sikapnya berubah 180° ?

"Leia, kau kenapa? Ini kak Dylan," ucapnya dengan raut wajah yang mencoba untuk meyakinkanku.

"Hmm, benarkah?" Batinku.

Aku takut jika itu adalah jebakannya lagi dan bagaimana jika tiba-tiba dia menusukku dengan pisau atau sejenisnya? Dalam pikiranku, aku terus menerka apa yang kira-kira terjadi ke depannya.

"Bisakah kau membuktikannya?" Tanyaku dengan nada sedikit meninggi.

"Baiklah, bagaimana kalau roti dan selai di dalam mobil?" Jawabnya sambil meringis. Jawaban konyol macam apa itu.

"Kak Dylan!" Bentakku.

"Leia!" Dia malah ikut-ikutan membentakku juga.

Baiklah, aku rasa dia memang benar-benar kakakku. Menyebalkan.

"Ini kakak sayang, apa kau bermimpi jika aku ingin membunuhmu?" Tanyanya sambil memelukku.

"Kenapa kakak bisa tau?" Aku menatapnya dan meninggikan satu alisku. Kak Dylan bergeming.

"Karena kakak juga bermimpi ingin membunuhmu," jawabnya singkat.

Aku tertegun mendengar ucapan kak Dylan. Mengapa mimpiku dan kakak bisa berhubungan seperti itu?

Pria itu melepaskan pelukannya dan memegang kedua bahuku.

"Dengar, tidak ada yang bisa membunuhmu, kecuali ketakutanmu sendiri Leia," bisiknya.

Jujur saja, aku tidak mengerti. Aku masih tidak percaya kalau itu semua hanya mimpi. Semua itu terasa nyata, bahkan rasa sakitnya masih membekas di tubuhku.

Akhirnya, kami sarapan bersama di ruang makan. Ku lihat ayah tengah membolak balikan pancake di dapurnya.

"Selamat pagi putri ayah," ucapnya sambil tersenyum ketika melihatku duduk di ruang makan.

Lalu, ayahku meletakkan tiga buah pancake di piringku. Kak Dylan pun ikut menuangkan sirup maple di atasnya. Seketika, aku jadi teringat dengan ibuku. Seandainya saja dia belum meninggal, pasti sekarang dia akan menyuapiku. Tapi, dari tadi aku tidak melihat bibi Lamia, apa dia pergi?

"Ayah, bibi Lamia tidak ikut sarapan?" Tanyaku kepada ayah yang sedang makan di depanku. Dia langsung menghentikan  aktifitasnya.

"Bibi Lamia sedang sakit sayang, dia ada di kamarnya. Oh iya, apa kau mau membantu ayah? Tolong bawakan sarapan ini untuknya," ucapnya sambil memberikan satu buah nampan dengan pancake dan segelas orange jus di atasnya.

Aku menghabiskan sarapanku dengan cepat dan setelah mengakhiri sarapanku, aku langsung pergi ke kamar bibi Lamia.

Aku mengetuk pintunya tiga kali, tidak lama setelah itu terdengar suara bibi Lamia dari dalam kamar.

"Masuk," ucapnya.

Aku langsung membuka pintu dan melihat bibi Lamia sedang berbaring di tempat tidur. Mukanya terlihat pucat dan rambutnya sedikit berantakan.

Kamarnya bertemakan Gothic dengan nuansa merah di setiap sisinya dan aku melihat ada lukisan besar menempel di dindingnya.

Kamarnya bertemakan Gothic dengan nuansa merah di setiap sisinya dan aku melihat ada lukisan besar menempel di dindingnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tentu saja, Itu adalah wajah bibi Lamia yang di lukis. Cantik bukan?

Aku berjalan menghampiri bibi Lamia. Dia menyambutku dengan senyumannya. "Terimakasih," ucapnya.

"Mau aku suapi bi?" Tawarku.

"Tentu, jika kamu tidak keberatan Leia," ucapnya sambil menggeser sedikit tubuhnya untuk memberikan ruang untukku.

Tapi, sepertinya aku lupa untuk membawa pisau. Akhirnya, aku meminta izin untuk mengambil pisau yang ada di meja makan.

Tapi, dia malah melarangku dan dia bergerak ke tepi ranjang untuk membuka laci yang ada di samping tempat tidurnya. Kemudian dia mengeluarkan pisau dari dalam sana.

"Pakai ini saja Leia," ucapnya sambil memberikan pisau itu kepadaku.

Ketika aku memegang pisau tersebut, aku merasa ada yang aneh di dalam pikiranku. Seperti ada potongan potongan film yang terlintas di dalam kepalaku. Aku melihat ada seorang wanita sedang mengejar anak laki-laki seusiaku. Dia memeluk anak itu, lalu menusukan pisau berkali kali ke arah perutnya.

Eh, anak itu?
Sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Dia kan? Kalau tidak salah anak itu yang aku temui di kamar mandi. Anak itu meminta tolong kepadaku, dia terus menatapku dengan tatapan penuh harapan sampai akhirnya dia jatuh terkapar dan darah segar keluar dari perutnya. Setelah puas, wanita itu langsung menoleh ke arah aku. Dan wanita itu?!

Tanpa sadar, aku langsung berteriak dan pisau yang aku genggam pun langsung jatuh ke lantai. Air mata mengalir di pipiku. Bibi Lamia pun juga terkejut, dia terus bertanya ada apa, kenapa dan menanyakan apa aku baik-baik saja.

"Kepalaku sakit bi, aku ingin ke kamar," jawabku berbohong. Aku berlari menaiki tangga satu persatu.

Hanya ada satu pertanyaan yang terus berputar di kepalaku saat ini.

"Bibi Lamia, kenapa kau membunuh anak itu?"

To be Continued

Born For This (Now, you know) [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang