Epilog

16.7K 579 67
                                    


New York, Amerika
Juni, 2016

"Ian!"

Luke memekik ketika merasakan sesuatu yang basah, mengalir, menembus jas dan kemejanya. Ia segera melepas balita dalam dekapannya dan mulai mengumpat kasar.

Ian datang beberapa detik setelahnya, melihat kekacauan yang dibuat oleh putra kecilnya dan mulai tertawa.

"Sial! Kalau kau berpikir ini bisa membuatku jera, maka kau memang sialan."

Ian tertawa keras. Ia meraih bayinya dan memeriksa celananya yang basah. "Maaf, Luke. Itu di luar rencanaku. Aku tidak benar-benar piawai memasang popok. Faith yang selalu melakukannya."

Luke menjauh, melepas jas dan dasinya, mulai berceloteh sambil sesekali mengumpat kasar selagi Ian membersihkan urine bayinya dengan kain basah.

"Siapa bilang ide untuk menjadi ayah adalah gagasan yang menarik? Aku lebih suka menghabiskan waktuku untuk bersenang-senang di klub ketimbang merepotkan diri untuk memasang popok bayi. Astaga, rasanya pasti menjengkelkan. Suatu saat nanti aku akan berpikir dua kali untuk memperoleh anak."

Ocehan Luke hanya ditanggapi Ian dengan tawa rendah. Sampai Faith tiba disana dan segera menggantikan posisinya mengganti popok bayi.

"Apa yang terjadi?”

Ian tersenyum jahil pada Faith. "Tampaknya putramu menjalankan tugasnya dengan baik."

Luke menunjuk ke arah Ian. "Jangan berpikir aku ini tuli! Aku bisa dengar itu. Kau bisa menjadi ayah yang payah. Sekarang aku harus kembali untuk mengganti jasku."

Faith ikut tertawa. Ia memandang Ian dan mengedipkan mata ke arahnya. "Suatu saat kau juga akan merasakannya. Tinggal bersama istri dan anakmu dan membersihkan urinenya."

Giliran Luke yang tertawa. "Itu hampir kedengaran mustahil, kakak ipar. Memeriksa jam tangannya, Luke segera berdecak masam. Oh, sial. David akan membunuhku. Aku sudah sering melakukan ini. Aku sudah berjanji tidak akan datang terlambat. Sekarang aku harus pergi, dan kau," Luke menunjuk ke arah Ian dan kemejanya yang basah secara bergiliran. "Kau berutang padaku untuk ini."

"Apa yang kau mau?"

Siasat melintas dalam benak Luke dan senyum jahilnya tersungging. "Beri aku informasi rinci tentang Leah dan aku akan menganggap semuanya impas. Sampai bertemu lagi, kakak ipar!"

Luke berlalu pergi keluar dari ambang pintu, meninggalkan Faith dengan tatapan curiganya yang terarah pada Ian.

"Apa?" tanya Ian kemudian.

"Siapa Leah?"

Ada kesan sinis dalam suara Faith dan fakta bahwa wanita itu merasa cemburu menjadi penghibur tersendiri bagi Ian.

"Leah pekerja baruku. Dia masih sangat muda dan kelihatannya Luke tertarik."

Faith mengangguk tanpa menghilangkan kesan curiga dari raut wajahnya. "Luke tertarik pada semua wanita, bagaimana denganmu?"

Senyum Ian bertambah lebar. "Astaga, querida, kau tidak berpikir kalau aku berusaha menduakan istriku dengan pekerjaku sendiri, bukan?"

"Itu bisa saja terjadi."

Ian mendekat, berusaha menggoda Faith. "Jika aku melakukannya, apa kau akan marah?"

"Bukan hanya itu, aku akan mencekikmu."

"Kalau begitu aku tidak akan mengambil risiko."

"Ian!"

Ian tertawa puas. "Tidak, querida. Aku hanya mencintaimu."

"Mungkin itu sudah tidak berlaku lagi sekarang."

Ian menyipitkan kedua matanya. Tatapannya menjarah tubuh Faith dari atas hingga bawah. "Kau mulai lagi, ya?"

Faith tersenyum, wajahnya merona karena malu. "Luke bilang kau bisa menjadi gila karena wanita."

"Itu benar dan aku memang sudah tergila-gila padamu."

"Baiklah, tuan, Spanyol. Demario Felix yang tampan. Bagaimana kalau kita menyelesaikannya sekarang?"

Ian meraih pinggul Faith, menghunjami leher wanita itu dengan ciuman. Ia berbisik, "jangan pernah menyebut nama itu lagi! Aku bisa menghukummu untuk itu."

"Ya?" jemati Faith terkubur di dalam rambut gelap Ian. "Maafkan aku."

"Itu tidak masalah."

Faith berusaha menjauh dari Ian, tapi Ian menahannya di tempat. "Tidak. Tidak di depan Willie."

Ian tidak mengacuhkan Faith dan terus menghunjami rahang Faith dengan ciuman, sampai Willie merengek dan mengejutkannya, Ian baru melepas Faith. Mata gelapnya menjadi semakin gelap ketika bertemu tatap dengan Faith. Sementara Faith mencoba terseyum sambil menimang bayinya.

"Querida.."

Ian merasa jengah, satu tangannya menepuk keningnya, pelan. Faith tertawa kemudian.

"Kau harus mengemasi semua pakaian kita," kata Ian, mencoba mencari penhalih perhatian. Tapi, Faith justru bertanya-tanya.
"Apa?"

Ian tersenyum. "Tour. Kita akan mengadakan tour singkat."

Wajah Faith menjadi semringah. "Apa kau berencana untuk pergi ke Amsterdam?"

"Salah satunya."

Faith membeliakkan matanya. "Ada yang lain?"

"Mungkin Dubai, Beijing, Bali, Paris, Turki."

Faith tersenyum, mata almond-nya yang membesar menunjukkan antusiasmenya. Hal serupa membuat Ian tersenyum.

"Apa ada lagi daftar pencapaiam terbaikmu yang belum terpenuhi."

"Ya."

"Apa itu?"

"Menghabiskan malam penuh cinta bersama Demario Felix."

"Oh, sialan."

Tawa Faith pecah. Sembari berusaha menenangkan bayinya, Faith membisikan kata yang tak bersuara.

Te amo. No voy a dejar ir."

Ian mengangguk, hampir tertawa setelah mengingat ungkapan itu. Senyumnya masih tampak memesona sejak pertama Faith melihatnya.
Selalu.

___**Sekian**___

Perfect Wedding
Seri 1
No Rose Without a Thorn

Kabar baik.. untuk seri ke-2 Perfect Wedding sudah aku luncurkan dengan judul Rise and Set. Bisa dilihat di profil aku. Sedikit info, di seri ke-2 aku mengangkat kisah Lukas alias Luke dan aku yakin yang satu ini gak kalah menariknya dengan seri pertama yang sudah kalian baca.. terima kasih..

LANDON (seri-1) No Rose Without a ThornKde žijí příběhy. Začni objevovat