Bab 27

10.9K 546 8
                                    


Ian merasa usahanya sia-sia. Sepanjang malam ia berpikir untuk menyusun tesis ilmiahnya, namun tidak satupun kalimat yang benar-benar berhasil ditulis. Pikiran Ian hanya terfokus pada Faith, perasaannya tidak bisa berhenti mengkhawatirkan wanita itu dan hanya Tuhan yang tahu betapa ia merindukan wanita itu.

Malam Ian terjaga dari tidurnya. Ingatan akan Faith mengusik pikirannya, kemudian pagi ketika ia kembali memulai aktivitasnya di klinik, Ian menjadi lebih pasif dan membiarkan bawahannya yang menangani pasien. Ian tidak bisa menangani para pasien ketika pikirannya terbagi di dua tempat.

Malamnya, Ian menghabiskan waktu dengan duduk bersandar di sofa sembari meneteskan alkohol pada lukanya sementara Luke berdiri di hadapannya, mondar-mandir dengan resah dan tidak pernah berhenti berceloteh.

"Aku mempertanyakan kewarasanmu, Kit," ujar Luke. Jika pernyataan itu dihanturkan oleh orang lain, mungkin Ian akan tersinggung, tapi beruntung Ian sudah terbiasa dengan sarkame Luke sehingga Ian tidak begitu mengacuhkannya.

"Bagaimana kau bisa membiarkan kakak ipar pergi begitu saja?" Luke menghela napas sembari memijat keningnya, satu kebiasaan yang Ian tahu selalu dilakukan Luke. "Ian, Ian, Ian.. Buka matamu! Apa kau benar-benar sadar akan apa yang kau lakukan?"

Ian membalut lukanya dengan perban sebelum menatap lurus ke arah Luke. Tatapannya kosong, tidak ada emosi yang melintas disana.

"Kalau kau masih ingin berdiri disana dan menanyakan pertanyaan yang sama, sebaiknya kau pergi saja."

Luke tertawa, tawanya terdengar merendahkan. "Aku akan kembali, saat kakak ipar sudah disini. Dengar, Kit. Aku sudah cukup melihatmu berkeliaran di malam hari seperti orang gila, duduk menghadapi tulisan yang tidak pernah berkembang dan duduk di depan televisi dan melamun seakan kau tengah menunggu seseorang menjatuhkan bom hingga membuat kita semua mati sia-sia. Semua itu sudah cukup. Sekarang pikirkan ini baik-baik, kau membutuhkan kakak ipar. Lihatlah dirimu! Kau kacau."

Ian memejamkan mata, menghela napas sembari menjernihkan pikirannya. Tekadang sikap Luke membuat Ian kacau, namun kali ini berbeda, Ian tidak mampu menyalahkan pria itu karena ia juga menemukan suatu kebenaran dari apa yang dikatakan Luke: bahwa Ian membutuhkan Faith. Hanya saja, Ian tidak mau dikalahkan oleh godaan untuk menemui Faith. Faith sudah membuat keputusan untuk meninggalkannya dan Ian harus menghargai keputusan itu.

"Aku memberinya pilihan dan dia sudah memutuskan untuk meninggalkan rumah ini. Aku tidak bisa mencegahnya."

Kelihatannya bukan hanya Ian dan Faith yang akan menjadi gila, tetapi Luke juga. Wajah Luke mengatakan demikian.

"Astaga, Kit! Bagaimana aku harus mengatakannya padamu? Apa kau benar-benar yakin ini semua yang diinginkannya? Berpisah denganmu?"

Ian tidak yakin, tapi logikanya menjawab secara spontan. "Jika dia tidak menginginkannya, dia bisa tetap tinggal."

"Di tengah pikiran gilamu yang mengusulkan perceraian?" Luke mendengus. "Wanita mana yang akan merasa nyaman tinggal bersama seorang suami yang menawarkan perceraian?"

Retoris itu terasa bagai tamparan keras bagi Ian. Luke benar. Seandainya Ian tidak mengusik Faith dengan iming-iming perceraian, mungkin semuanya akan baik-baik saja, terlepas dari kesepakatan yang mereka buat.

"Kit, kau tidak bisa menghindar selamanya. Faktanya kau membuthkan dia dan kau bisa mencegah semuanya sebelum terlambat."

"Bagaimana jika dia menolakku?"

"Kau tidak perlu menyesal karena itu yang kau inginkan, bukan? Dalam situasi ini, aku tidak mengenalimu sebagai Ian. Ian tidak pernah melepas sesuatu dengan begitu mudah."

LANDON (seri-1) No Rose Without a ThornWhere stories live. Discover now