Bab 22

7.3K 425 3
                                    


Pagi itu adalah hari libur. Ian menghabiskan waktu untuk duduk di ruang utama dan membaca buku selagi menunggu Faith beranjak dari tidurnya. Ian telah membayangkan makan malam yang menyenangkan dan ia terus berharap semoga Faith tidak menolaknya.

Ketika Faith keluar dari ruang pribadinya, perhatian Ian segera teralih, terutama karena penampilan Faith. Wanita itu telah bersiap untuk pergi dengan mengenakan mantel hitam dan tas kecil yang menggantung di seputar bahunya. Faith membiarkan rambut ikalnya tergerai dan wajahnya tampak natural tanpa hiasan.

Begitu Faith mengunci pintu kamarnya, Ian segera bangkit dari sofa kemudian melangkah lebih dekat ke hadapan wanita itu. Faith diam ketika Ian memperhatikannya dari atas hingga ujung kaki kemudian kembali lagi ke atas.

"Kau berencana untuk pergi?"

Tidak ada senyum di wajah Faith, bahkan ketika Ian tersenyum dan ia harus berusaha agar tidak terlihat terpana. Singkat kata, Faith merespons, "aku butuh hiburan. Aku akan pergi ke taman kota."

"Keberatan jika aku bergabung?"

Kedua mata Faith menyipit, tatapannya sinis dan tangannya bersedekap. Tak mau mengambil terlalu banyak waktu, ia menjawab, "selama kau mematuhi aturannya."

"Apapun. Kau bisa menunggu di mobil."

Faith memandang Ian ketika lelaki itu beranjak menuju kamar pribadinya untuk berganti pakaian. Ian tampak bercerah pagi ini dan siapa yang dapat memungkiri ketampanan pria itu. Namun, Faith tidak ingin dirinya terlihat bodoh, jadi ia beranjak menuju SUV mereka.

Dua puluh menit kemudian, mereka berjalan berdampingan mengitari area taman yang jarang pengunjung. Beberapa daun yang sudah kering berguguran dan angin yang sejuk menerbangkan tiap helai rambut Faith.

Faith berusaha menfokuskan dirinya pada lingkungan. Kedua tangannya telah tersembunyi dalam saku mantel dan pandangannya tidak fokus. Baru ketika Ian berdeham Faith segera paham bahwa ia tidak akan sanggup bersikap dingin lebih lama lagi. Lelaki itu adalah godaan yang mengundang dan sekeras apapun usaha Ian untuk menutupi faktanya dari dunia, Faith akan tetap merasakan hasrat besar untuk berada lebih dekat dengan Ian.

"Kau tahu, querida?" mulai Ian, satu jarinya menunjuk ke sebuah tempat. "Aku pernah menghabiskan waktu disana. Aku mengikuti semacam pelatihan khusus untuk kebugaran. Tempat itu memiliki program dan acara yang bagus untuk peningkatan kesehatan penduduk. Mereka mensuplai beberapa pakan dan memberi bimbingan khusus bagi penduduk di New York yang memiliki keluhan. Sayang sekali, beberapa tahun yang lalu tempat itu di tutup."

Tanpa menghentikan langkahnya juga tak mengalihkan pandangannya, Faith menyimak dengan baik.

"Lucu sekali, querida. Aku pernah mencoba membina pasienku di suatu tempat. Kegiatan itu berfungsi untuk menyegarkan otaknya dan kau tahu apa yang terjadi? Pasienku kehabisan napas dalam perjalanan kembali."

Faith masih diam dan tidak menanggapi. Ian melirik wanita itu sejenak kemudian mencoba tak tik lain.

"Querida, apa bunga yang kau suka? Apakah mawar atau lilac? Kau mungkin menyukai jenis lavender.."

Disaat itu juga Faith menghentikan langkahnya. Ian menyusul satu detik kemudian. Menghentikan celotehannya, Ian menunggu Faith berbalik untuk berhadapan langsung dengannya.

Faith menatap ke dalam mata Ian. Ia membuka satu telapak tangannya di wajah lelaki itu dan membawa Ian mendekat. Faith merasakan manisnya bibir Ian ketika ia melumat lelaki itu. Sampai tiba ketika saatnya Ian ikut berperan, Faith membisikan kalimat di tengah kesenangan mereka.

"Kau akan mengatakannya?"

Sontak Ian menjawab, "tidak." Dan seketika itu juga dunia Ian runtuh ketika Faith menarik diri dan mendorongnya menjauh. Ian tidak berharap Faith menghentikannya karena demi apapun, Ian menginginkan wanita itu. Tapi Faith merengut masam dan ketika Ian mencoba mendekat lagi, Faith menolak dengan mendorong tubuhnya lagi dan lagi.

LANDON (seri-1) No Rose Without a ThornWhere stories live. Discover now