Dalam hitungan menit, pintu ruang operasi dibuka, indra-indra Faith mulai terjaga dan pandangannya terarah kesana. Ian beranjak keluar dibuntuti oleh seorang perawat yang berbicara sebentar padanya kemudian pergi ke haluan yang berbeda.

Faith berdiri ketika bertemu tatap dengan Ian yang berada tak jauh disana. Lelaki itu masih mengenakan jas putih, sarung tangan dan masker pasca operasi. Begitu menatap Faith, Ian melepas peralatannya dan mulai beranjak mendekat. Tatapannya serius dan tidak ada senyum memesona yang tampak di wajahnya.

Ian berhenti tepat di hadapan Faith. Ia meraih pundak Faith dan dengan segera menjauhkan tangannya ketika Faith menjauh.
Mencoba mengabaikan sikap itu, Ian bicara, "Faith,"

"Aku harus bicara dengamu," kata Faith sambil menatap Ian.
Ian mengangguk namun beberapa detik setelahnya, seorang perawat kembali menyerukan namanya dan meminta ia untuk menangani pasien lain yang sudah menunggu.

Ian memberi anggukan pada perawat itu dan Faith segera mengerti.

"Mungkin aku bisa menunggu beberapa menit lagi."

Ian memberi anggukan lemah sebelum beranjak pergi menjumpai pasien di ruang rawatnya. Faith kembali duduk, dari sana ia bisa menatap Ian. Lelaki itu memberi senyuman hangat ketika menjumpai pasiennya yang merupakan wanita tua rentan berkulit pucat dengan sebuah kursi roda.

Ian menggulurkan tangannya dan dengan senang, wanita itu menyambut uluran itu. Membiarkan Ian memeriksa nadinya dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan Ian.
Faith terenyuh ketika melihat bagaimana Ian menangani pasiennya dengan sabar dan terlatih. Setiap pergerakannya menunjukkan kecerdasan dan dedikasinya yang tinggi sebagai seorang dokter.

Ian mengeluarkan sebuah senter kecil dari jas putihnya kemudian meminta wanita itu membuka mata lebar sebelum menyinari korneanya dan mengambil kesimpulan dengan cepat kemudian bergerak untuk menyiapkan suntikan dengan dosis obat yang sesuai.

"Hai, Rose!" panggil Ian. Ia segera mendapat perhatian wanita itu sepenuhnya. "Coba kau tatap bahuku dan letakkan tanganmu di lenganku!"

Rose segera menurut dan Ian tidak mengambil waktu banyak untuk menyuntikkan dosis obat pada pergelangannya. Ketika Rose merasa takut, cengkramannya di bahu Ian mengerat dan pekikannya tertahan di tenggorokan begitu jarum suntikan menancap ke dalam dagingnya.

Ian melakukannya dengan cepat kemudian meletakkan alat suntik itu kembali ke tempat semua. Ia beralih pada buku pasien di meja dan mulai menulis resepnya tanpa mengihindari pertanyaan Rose yang dihanturkan secara bergiliran.

"Kau ingat saat kau mengajakku pergi ke taman dan menikamti teh dan biskuit, Tom?"

Ian mengangguk, berusaha membagi fokus pada tulisannya juga pasiennya. "Ya. Aku ingat sekali."

"Ketika itu kau memberi aku hadiah yang sangat indah. Kau mengingatnya?"

"Tentu saja."

"Apa yang kau beri padaku?"

Ian mengangkat pandangannya untuk mentap wanita tua yang duduk disana sambil tersenyum padanya. "Ah, kau mengujiku, sayang."

Rose tertawa. "Tentu saja. Mutiara itu masih kusimpan hingga sekarang."

"Aku percaya itu," kata Ian sembari mengambil alat kedokterannya yang lain dan membuka perban di lengan Rose. Ia menutupnya kembali pada cairan di kapas kemudian memeriksa nadinya sekali lagi.

"Oh, kau yang terbaik Tom."

"Tentu." Meletakkan alat pemeriksaannya, Ian berbalik dan melambaikan tangannya pada seorang pria yang lebih muda yang menunggu tak jauh disana. Pria itu kemudian bergabung dan Ian mengatakan semua yang perlu dikatakannya terkait kondisi Rose, ibunya.

LANDON (seri-1) No Rose Without a ThornOnde histórias criam vida. Descubra agora