Ian tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Faith. Emosinya berkecamuk dan wajahnya tampak merah padam. Ian bisa merasakan urat-uratnya yang tegang dan tangannya terkepal erat. Memikirkan Faith membuatnya gila, namun, ia juga tidak bisa menghindar dari wanita itu. Faith tidak mengerti bahwa Ian tidak mampu mengungkapkan semua krbenarnya tanpa merasa sakit. Fakta itu sudah terkubur begitu dalam dan sekarang Faith meminta untuk menguaknya kembali, sementara mengatakannya adalah hal terakhir yang sanggup Ian lakukan dalam hidupnya.

Sebelum emosinya semakin menjadi-jadi, Ian memutuskan untuk pergi, meninggalkan ruang utama dan beralih ke ruang pribadinya. Entah bagaimana Ian perlu mengistirahatkan otaknya. Setidaknya ia bisa meneguk pil dan tidur dengan nyaman, tanpa harus merasa resah tiap kali memikirkan Faith.

Dalam tidurnya Ian memimpikan Faith menggeleng keras setelah ia menyebut warna putih.

***


Pagi ketika Faith mengetuk pintu kamar Ian, lelaki itu sudah tidak ada di tempat. Awalnya Faith berniat membangunkan Ian dan berpamitan sebelum ia pergi ke taman hortikulturanya, tapi niat itu terurung begitu ia sampai di dalam ruang pribadi Ian.

Ruangan itu tidak lebih besar dan tidak lebih nyaman dari ruangannya. Ranjangnya lebih kecil dan tidak banyak barang antik maupun pajangan yang mengisi ruangan selain sebuah lukisan berukuran besar di salah satu sudut dinding. Lukisan yang memaparkan keindahan itu tampak menakjubkan dan Faith segera jatuh cinta saat pertama memandanginya.

Aroma khas Ian segera menyeruak dalam indra penciumannya. Aroma yang selalu Faith suka yang merupakan perpaduan daun mint dan wangi cendana. Kamar Ian terlihat padat dan rapi. Terdapat sebuah lemari di sudut ruangan dan sebuah lampu tidur di samping ranjang.

Ian belum sempat membenahi setelan jasnya yang diletakkan di atas ranjang dan Faith segera bergegas untuk melipat jas itu, membuka pintu lemari dan meletakkannya disana. Dalam proses itu, secara tidak sengaja Faith menjatuhkan sebuah kotak berukuran sedang dari sana. Kotak itu tampak tua dan berwarna kecokelatan.

Faith menatap kotak itu dan mulai menimbang sebelum merunduk untuk mengambilnya. Rasa penasaran telah mengerahkan tangannya untuk membuka penutup kotak dan melihat beberapa barang yang terdapat di dalamnya. Barang-barang itu berupa medali, tiga foto tua dan sebuah buku telepon.

Faith meneliti satu persatu, ia memulainya dari sebuah medali biru dengan nama sebuah organisasi yang tertera di depannya. Medali berlogo mawar putih itu diitari dengan tulisan: kami siap, setia dan mengabdi pada kebenaran.

Kemudian Faith beralih pada foto tua pertama. Dari suasana yang digambarkan dalam foto tersebut, sudah sangat jelas bahwa yang dipaparkan di dalamnya adalah potret masa remaja Ian. Lelaki itu tersenyum bangga sambil mengenakan medali yang sama di seputar lehernya dan sosok pria yang lebih tinggi, merangkul bahunya. Pria yang berdiri di samping Ian memiliki perawakan yang sama. Darah Spanyol terlukis jelas dalam setiap garis wajahnya dan matanya cekung seperti Ian. Benar-benar mirip dan khas. Pria itu mengenakan setelan kemeja dan celana denim berwarna senada.

Faith mengira bahwa siapapun pria itu, pasti terlibat hubungan darah secara langsung dengan Ian. Ia kemudian membalik foto selanjutnya, foto ketika Ian dalam usia yang sama menggenggam sebuah surat kabar. Berbeda dari yang sebelumnya, foto kedua memampangkan raut wajah Ian yang keji. Tidak ada senyuman dan nanar di matanya memampangkan kebencian.

Ketika Faith membalik satu foto terakhir, potret Ian bersama seluruh anggota organisasi yang rata-rata merupakan remaja pria sebaya, Faith semakin yakin bahwa ada sesuatu yang Ian sembunyikan dibalik semua foto-foto itu. Sesuatu yang membuat Ian membisu dan memilih untuk tidak mengatakannya. Sesuatu yang besar.

LANDON (seri-1) No Rose Without a ThornDonde viven las historias. Descúbrelo ahora