Dua Puluh Lima [TAMAT]

13.6K 463 37
                                    

Air mata kembali jatuh, saat Nayla membuka mata. Setiap pagi, ketika bangun, ia berharap bahwa yang ia lihat bukanlah kegelapan. Kecelakaan yang menimpa dirinya membuatnya kehilangan penglihatan. Lebih dari dua minggu ia mengurung diri di kamar. Ia lebih senang tidur sebab ia yakin, ketika bangun semua yang terjadi hanyalah mimpi. Namun pagi kali ini tetap sama. Ia tak bisa melihat apa-apa.

Dengan mata berlinang air mata, Nayla turun dari tempat tidur. Penuh percaya diri ia berjalan menuju kamar mandi. Namun arah yang ia lewati salah. Ia melangkah ke arah pintu kamar. Nayla tidak putus semangat, ia tetap percaya diri bahwa ia akan sampai di kamar mandi. Nayla terus melangkah dan meraba sekitar dengan tangannya.

Di sisi lain Rafa berdiri dan terus mengamati Nayla. Kehadiran Rafa memang tidak disadari sebab ia datang jauh sebelum Nayla bangun. Ia juga sudah meminta izin kepada orang tua Nayla untuk masuk—membangunkan Nayla. Tetapi, Rafa mengurungkan niatnya saat melihat Nayla lelap dalam tidur.

Nayla berbelok ke kanan dan kembali berjalan. Tepat di depannya ada lemari besar. Dengan cepat Rafa menghampiri dan memegang tangan Nayla. "Empat langkah di depan lo ada lemari."

Nayla merasa sangat kaget lalu menarik tangannya kasar.

"Lo siapa? Kenapa lo bisa ada di kamar gue?" kata Nayla sambil menoleh ke sumber suara.

"Gue Rafa. Maaf kalau gue lancang, tapi gue udah izin sama—"

"Lo tetap ga boleh masuk meskipun lo diberi izin sama mamah!" bentak Nayla lalu sedikit menjauh.

Rafa menatap gadis itu dengan prihatin.

"Nay, lo gak bisa gini terus. Sampai kapan lo mau ngurung diri di kamar?" ucap Rafa lembut, sembari mendekat.

"Keluar sekarang!"

"Gue bakal keluar kalau lo mau ikut sama gue."

"Gue bilang keluar sekarang!"

"Nay,"

"Gue bilang keluar!" Nayla berteriak histeris. Seketika ia terduduk sebab ia merasa malu dengan kondisinya. Tanpa ragu Rafa mendekat—mencoba untuk membantu Nayla. Tapi gadis itu dengan keras menepis tangannya.

Tatapan Nayla tajam, seolah-olah ia bisa melihat Rafa.

"Gue mohon Raf, biarin gue sendiri." tegas Nayla.

Rafa diam sejenak. Dilihatnya Nayla menundukkan kepala. Seketika pundak gadis itu berguncang. Suara tangisnya pun terdengar.

"Nay, kasih gue kesempatan untuk bahagian lo. Sekali aja."

"Apa yang bisa lo lakuin buat gue? Kebahagian yang gue butuhin sekarang itu cuma satu Raf..., gue bahagia kalau gue bisa melihat lagi."

Rafa kembali diam. Sedetik dua detik Nayla merasa Rafa angkat kaki dari kamarnya. Pintu kamar terdengar tertutup. Pria yang sedari tadi memancing emosinya kini pergi tanpa sepatah kata pun.
Kepergian Rafa ternyata tak membuat Nayla kembali tenang. Secara sadar ia merasakan sesak. Nayla menoleh—percaya diri bahwa yang ada di hadapannya adalah pintu kamar. Nayla segera bangkit dan berjalan cepat menuju pintu. Jari lentiknya mulai meraba, mencari-cari gagang pintu. Lama-kelamaan ia kesal sebab tak juga menggenggam apa yang ingin ia genggam. Nayla mengepal keras dan memukul dinding di hadapannya.

"Gue gak bisa lihat apa-apa..." air mata Nayla kembali tumpah. Semua rasa sedihnya ia luapkan ke dinding tak bersalah di hadapannya. Tangannya terus memukul dinding tanpa henti. Bahkan nyeri yang ia rasakan tak membuatnya berhenti. Hingga ibunya datang—Nayla baru bisa tenang.

* * *

Keesokan harinya Rafa datang kembali ke rumah Nayla. Namun kehadirannya ditolak mentah-mentah oleh Gina. Dengan lembut Gina menjelaskan kepada Rafa, bahwa anaknya tidak mau diganggu oleh siapa pun. Rafa pun menegaskan bahwa kedatangannya bukan untuk bertemu Nayla.

Hello Nayla [SELESAI]Where stories live. Discover now