Dua Puluh Satu

5.2K 317 3
                                    

Rafa memasukan kedua tangannya ke dalam saku jaket yang ia kenakan. Kepalanya menunduk. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan pelan. Sementara Diana tak bisa duduk diam. Ia sangat gelisah dengan kondisi Farel. Ia tidak bisa menunggu lama. Ia tidak bisa melihat Farel terus-terusan terbaring lemah. Ia ingin putranya sembuh, secepatnya.

Setelah menunggu cukup lama, dokter yang menangani Farel keluar. Dari wajahnya, Rafa sudah bisa menebak—kabar buruk yang akan dikatakan.

"Kondisinya semakin parah, dia harus di rawat dan menjalani beberapa pengobatan. Dan, akan lebih baik jika segera dilakukan tindakan operasi." jelas dokter.

Diana hanya bisa mengangguk tanpa berkata banyak. Saat ini yang bisa ia lakukan adalah membiarkan Farel melakukan pengobatan. Diana menghela napas berat, lalu masuk ke dalam ruangan tempat Farel diperiksa. Sementara Rafa enggan untuk masuk. Ia tak sanggup melihat keadaan adiknya, untuk itu ia memutuskan untuk pulang ke rumah, dan memikirnya cara untuk mendapatkan donor ginjal.

"Rafa..." panggil seseorang, membuat Rafa menoleh.

"Puna?" Rafa mendekat dengan wanita yang berdiri cukup dekat di depannya.

"Kamu sakit?" tanya Puna sambil menatap mata Rafa yang tidak sejajar dengan matanya.

Rafa tersenyum memandang wanita kecil di hadapannya. Gadis itu tampak cemas, terlihat dari caranya menatap. "Ngga, lo sendiri ngapain di sini? Takutnya, karena kejadian kemarin, lo periksa jantung." kata Rafa mencoba menggoda Puna.

Wajah Puna seketika memerah. Kejadian tadi malam takkan pernah hilang dalam ingatannya. Suatu hal yang tak pernah ia pikirkan. Terjadi begitu saja. Begitu cepat. Membuatnya tak terkendali, saat Rafa kembali mengingat kejadian tadi malam. Suatu hal yang hanya mereka berdua ketahui, dan Tuhan.

"Becanda, ha ha ha... Lo ngapain di sini?" tanya Rafa lagi.

"Aku barusan ketemu sama dokter, membicarakan perihal operasi mata bunda."

"Oh ya, gue belum ketemu sama orang tua lo. Kalau boleh tahu orang tua lo kenapa?"

"Kamu sudah makan siang? Gimana kalau bicaranya sambil kita makan siang."

"Oke." Rafa dan Puna bergegas mencari tempat makan terdekat.

Setelah berkeliling kurang lebih lima belas menit, Rafa dan Puna memutuskan untuk makan di salah satu rumah makan padang. Lauk yang dipilih Puna, juga Rafa pilih. Minuman yang dipesan Puna, juga dipesan oleh Rafa.

"Mengapa pesananmu sama denganku?" tanya Puna begitu keduanya telah mendapatkan meja.

"Hanya ingin. Oh ya, ibu lo sakit apa?"

"Ibu aku buta, sejak lima tahun yang lalu."

"Sorry,"

"Gak pa-pa."

"Terus apa kata dokter? Bunda lo bisa operasi? Pendonornya ada?"

"Bisa, donor mata untuk bunda juga ada. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Tabunganku belum cukup untuk biaya operasi bunda, aku harus lebih banyak bekerja agar bunda bebas dari kegelapan." papar Puna.

"Permasalahan gue sama kaya lo. Adik gue punya penyakit serius, dia membutuhkan donor ginjal. Tapi sampai ia kritis sekarang, keluarga gue belum nemuin donor untuk adik gue."

Puna mendesah, "kita sama-sama berjuang."

* * *

Perkataan Nayla saat di UKS benar-benar merobek hati Popy. Gadis polos yang selalu mengisi mulutnya dengan makanan—kini enggan untuk menyentuh benda tersebut. Hasya berulang kali membawakan makanan untuk Popy. Dari yang Popy sukai, hingga yang belum pernah Popy makan. Tetapi, gadis itu tetap tidak mau menyentuh, melihat pun tidak. Ia merasa harga dirinya di hina.

Hello Nayla [SELESAI]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें