Tujuh Belas

5.2K 304 11
                                    

Akibat kejadian tadi malam, Rafa dan Farel saling diam. Keduanya bagai orang asing. Rafa tidak marah pada adiknya, tetapi perasaannya benar-benar kacau, merespon ucapan orang rumah pun ia enggan. Sesekali kedua orang tua mereka bertanya. Namun, keduanya tidak ada yang mau menjelaskan, bahkan perihal lebam di wajah Farel.

Hari Minggu yang begitu membosankan. Rafa tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ada pilihan lain, Rafa memilih untuk melarikan diri. Menjauh dari orang rumah untuk sementara waktu. Ia kemudia menghubungi teman-temannya, untuk bertemu. Ketika semua sepakat, Rafa langsung mengganti pakaian dan pergi.
Melihat hal itu Farel merasa sedih. Ia sama sekali tidak tahu apa yang telah ia lakukan, sehingga Rafa marah padanya.

* * *

Rafa tiba di tempat biasa ia, Adit, dan Nico menghabiskan waktu. Sebuah warung kecil di dekat rumah Adit menjadi tempat andalan mereka. Rafa bergegas menuju tempat bersantai yang ada di bawah pohon besar di dekat warung. Sejuk angin, tak mampu meredakan panas amarahnya. Rafa ingin sekali bercerita tentang yang ia alami tadi malam. Tetapi ia bingung, harus memulainya dari mana.

"Gimana perkembangan lo sama Nayla? Lancar? Kapan nih jadian..., gue udah gak sabar nunggu traktiran." celetuk Adit sambil membuka bungkus mie instant yang ia beli.

Rafa memilih diam, bahkan menoleh pun tidak. Adit dan Nico saling pandang, keduanya bingung, dengan reaksi Rafa yang seperti patung.

"Raf, pita suara lo gak hilang kan?" tanya Nico.

"Gak ada perkembangan. Lagian gue gak ada niat buat pacaran sama Nayla."

"Yakin?" tanya Nico, memastikan.

"Mana mungkin. Kita tahu banget, Raf. Lo pingin deket sama Nayla. Dan sekarang, setelah lo deket, lo bilang gak niat pacaran sama dia? Gak usah munafik Raf." kata Adit sambil mengocok mie instant yang telah ia remukkan dan ia beri bumbu.

"Gue gak niat pacaran sama orang yang cuma jadiin gue bahan pelampiasan." jawab Rafa dingin. Seketika Adit berhenti mengocok mie instant yang ia pegang. Adit dan Nico kembali saling pandang.

"Maksudnya?" serempak Adit dan Nico.

"Nayla mantan Farel."

"HAH?!" teriak Adit dan Nico.

"Nayla deketin gue, supaya Farel cemburu."

"HAH?!" teriak Adit dan Nico, lagi.

"Gue cuma alat balas dendam. Gue cuma pelampiasan dari rasa kecewa yang Nayla rasa."

"HAH?!" teriak Adit dan Nico untuk yang ketiga kalinya. Rafa yang tatapannya lurus ke depan, seketika beralih menatap kedua temannya.

"Gimana perasaan kalian kalau jadi gue?" tanya Rafa, lirih. Ia masih belum terima dengan semua pengakuan Nayla.

"Kalau gue bodo amat, karena gue jarang banget serius sama cewe." jawab Adit enteng sambil memakan mentah mie instant yang telah ia siapkan sejak tadi.

"Kalau gue, ya pasti sakit." jawab Nico sambil menatap Adit yang tampak sedap melahap makanannya.

"Dikira cowok gak punya perasaan." lirih Rafa.

Adit dan Nico tidak mau berkomentar. Mereka semua bukanlah pria yang ahli dalam urusan percintaan, meski kerap kali merasakan jatuh cinta.

* * *

Jam menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas. Semua murid bergegas memasuki area sekolah. Namun tidak dengan Nayla. Gadis itu menahan langkahnya. Ia melihat sebuah mobil berhenti, dan Farel keluar dari dalam mobil tersebut. Nayla menatap Farel dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ada satu yang mencuri perhatiannya, lebam di wajah Farel. Meski tidak terlalu mencolok, Nayla tahu persis bahwa itu lebam bekas pukulan.
Nayla mulai khawatir, kakinya mulai melangkah untuk mendekati Farel. Namun, suara klakson motor memekakkan telinganya. Rafa dari kejauhan memberi isyarat agar Nayla menepi. Nayla benar-benar kaget, dengan cepat ia menepi. Secara bersamaan Nayla dan Farel menatap Rafa yang melalui mereka.

"Nay..."

Nayla yang sedari tadi memperhatikan Rafa, seketika menoleh ke seseorang yang memanggilnya. Mata Nayla seketika membundar melihat siapa yang berada di dekatnya kini.

"Iya, Rel."

"Istirahat gue mau ngomong sesuatu sama lo." ucap Farel lalu bergegas pergi. Meski perkataan Farel terdengar ketus dan dingin, entah kenapa Nayla merasa senang. Bahkan ia tidak sabar menunggu jam istirahat.

Dari kejauhan, Rafa yang baru saja memarkir motor melihat Farel dan Nayla berbincang. Meski terlihat singkat, tapi perkataan Farel berhasil membuat wajah Nayla tampak bersemangat. Rafa mengepal tangannya kuat. Semangat yang Nayla rasakan tampak berbeda saat berada di dekat dirinya. Rafa kembali sadar, bahwa Nayla hanya berpura-pura agar Farel cemburu. Ya, semua yang Nayla lakukan padanya hanya agar Farel cemburu. Tidak lebih.

Rafa mengalihkan pandangannya. Sesegera ia menuju kelas. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, untuk tidak memikirkan apa yang Nayla pernah katakan padanya.

Rafa melangkah dengan mantap. Pikirannya masih tertuju pada Nayla. Sudah semestinya ia tetap memendam rasa itu. Sudah semestinya tidak berharap lebih. Ternyata, mencintai diam-diam lebih baik. Meski banyak yang bilang, jika mengungkapan dapat membuat lega. Ya, lega jika orang tersebut membalas apa yang kita rasakan. Tetapi, sangat menyakitkan dan malu, serta canggung jika tahu orang tersebut tidak memiliki perasaan yang sama, apa lagi, sama sekali tidak perduli.

"Raf...,"

Rafa menoleh ke sumber suara. Dilihatnya Hasya yang sibuk menguncir rambutnya.

"Kenapa?" tanya Rafa.

"Sebentar." Hasya menuntaskan kunciran rambutnya. Merasa sudah rapih, Hasya langsung merogoh saku seragamnya.

"Ini kunci motor lo." Kata Hasya sambil memberikan kunci motor yang ia temukan di parkiran, tadi.

"Kok bisa ada sama lo?" tanya Rafa, sambil mengambil kunci motornya.

"Tadi gue ngelihat saat lo mau masukin kunci motornya ke dalam saku celana. Tapi bukannya masuk, kuncinya malah jatoh. Gue mau manggil, tapi gue lagi gigit roti, tangan gue juga lagi penuh, jadi ya gitu."

"Oke makasih, ya."

"Oke."

Rafa memutar tubuhnya, kembali melanjutkan langkahnya. Namun, seseorang kembali memanggil namanya. Lagi-lagi ia menoleh ke sumber suara. Nayla dengan senyum mengembang berlari kecil menghampirinya.

"Gue mau minta maaf." ucap Nayla begitu dirinya dekat dengan Rafa. Namun, Rafa sama sekali tidak merasakan bahwa Nayla menyesal dengan perbuatannya.

"Maaf kalau selama ini gue bersikap dingin sama lo. Semua sikap ramah lo gue tolak gitu aja. Soalnya, gue bener-bener kesel karena terus lo usilin, tapi sekarang semua rasa kesel gue hilang." Nayla tersenyum penuh bahagia.
"Gue terima semua sikap baik lo, dan makasih karena sudah mau bantu gue untuk bikin Farel cemburu." sambung Nayla, tak lupa senyum yang menghiasi wajahnya. "Sekarang kita sepakat menjadi teman." Nayla menarik lengan Rafa, lalu menjabatnya. Kemudian Nayla sedikit berjinjit, mendekatkan mulutnya dengan telingan Rafa, "Farel mau ngomong sesuatu sama gue, gue ngerasa dia mulai risih dengan kedekatan kita yang pura-pura." bisik Nayla, lalu melepaskan tangannya dan menjauhkan wajahnya. Senyumnya lagi-lagi mengembang.

Rafa merasa jantungnya ditusuk. Ia hampir kehilangan napas. Nayla sama sekali tidak menghiraukan soal ungkapan perasaannya. Kata maaf yang diucapkan Nayla, bukanlah maaf yang ia harapkan. Rafa menatap Nayla yang masih setia tersenyum. Dengan percaya diri, Rafa menarik kedua sudut bibirnya, membalas senyum Nayla.

"Sama-sama. Gue senang bisa bantu lo, meski gue gak tahu, kapan kita sepakat untuk pura-pura membuat Farel cemburu. Mungkin gue lupa, atau lo yang sengaja jadiin gue-" Rafa menahan ucapannya sebab bel masuk berbunyi. Nayla yang berdiri di hadapannya segera pamit untuk menuju ke kelas, sementara ia masih berdiri di tempat.

"Pelampiasan." sambung Rafa sambil menatap punggung Nayla yang mulai menjauh.

Hello Nayla [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang