Sepuluh

7.7K 416 12
                                    

Rafa kembali ke kelas. Kedatangannya itu membuat Pak Putra memanas. Bagaimana bisa Rafa lupa akan perintah gurunya itu. Ia diminta untuk ke ruang guru, mengambil buku tugas, tapi, insiden yang menimpa Nayla, membuatnya lupa akan tujuan awalnya.
Alhasil Rafa dikeluarkan dari kelas, dan tidak mengikuti pelajaran Fisika sampai bel istirahat berbunyi.

Begitu bel berbunyi, Adit dan Nico langsung menghampiri Rafa yang sudah berada di kantin lebih dulu. Keduanya langsung menyerbu Rafa dengan berbagai pertanyaan.

"Lo tadi kemana? Ngambil buku aja lama banget, mana pas balik, lupa, lagi." kata Nico.

"Gue nolongin Nayla." jawab Rafa singkat.

"Nolongin Nayla!?" serempak Adit dan Nico. Keduanya benar-benar tidak percaya, jika sahabatnya itu melakukan hal tersebut. Benar-benar diluar dugaan. Nico dan Adit tahu betul bagaimana Rafa. Jangankan menolong, bersikap baik saja tidak pernah. Soal kemarin, yang memberi bunga dan meminta maaf saja masih perlu dipaksa.

"Lo serius?" tanya Adit.

Rafa mengangguk, "Iya, kan kalian sendiri yang bilang ke gue, cewe itu diperjuangin bukan disia-siain."

"Wih, mantep. Ini baru temen gue."

"Syukur dah kalau lo udah nyadar. By the way, gue ke sana dulu ya." kata Nico lalu menunjuk salah satu meja.
Rafa dan Adit langsung menatap arah yang Nico tunjuk.

"Popy lagi!?" serentak Rafa dan Adit. Nico hanya mengangguk, kemudian pergi.

Adit dan Rafa saling pandang. Keduanya tidak paham kenapa Nico sering mendekati Popy. Berbeda dengan Nico, ia tampak senang ketika menghampiri Popy yang kini duduk sendirian.

"Temen-temen lo pada kemana?" tanya Nico. Popy berhenti menuang saus di mangkuknya, lalu menatap siapa yang bertanya padanya.

"Lo lagi!?"

Nico tersenyum, lalu duduk di sebelah Popy.
Popy segera bergeser, saat tahu tubuhnya bersentuhan dengan tubuh Nico.

"Pertanyaan gue tadi belum di jawab. Temen-temen lo mana?"

"Mereka di kelas, ngerjain tugas." jawab Popy singkat.

"Lo sendiri gak ngerjain?"

"Gue laper."

Nico tertawa, "jadi makan itu nomor satu ya?"

Popy menatap Nico dengan tajam. "Lo ngapain sih kepo banget sama urusan gue. Gue mau makan atau mau ngerjain tugas itu terserah gue. Kenapa? Pasti didalam pikiran lo itu, cewe gendut selalu mendahului makan? Iya!? Gitu kan maksud lo?" kesal Popy.

"Kenapa lo mikirnya jauh banget. Gue kan cuma bercanda, lagian gendut atau gak tetap aja makan jadi prioritas saat lapar."

Popy hanya diam, malas untuk menanggapi. Ia tak mau hanya karena berdebat dengan Nico, ia gagal untuk menyantap bakso yang sudah siap untuk masuk ke dalam perutnya.

"Tapi, gue bisa gak jadi prioritas lo?"

Baru saja ingin menyuap, sendok yang Popy pegang jatuh. Degup jantungnya tiba-tiba berdetak dengan tidak normal.

Sabar, Pop. Lo harus sabar, ini ujian. Jantung..., tolong berdetak dengan normal, dan hati aku mohon untuk tidak terbawa perasaan. Pop, Nico itu hanya bercanda. Nico emang iseng buat lo gagal untuk makan. Rutuk Popy dalam hati.

"Makasih udah buat gue gagal makan!" Popy menggebrak meja, lalu bangkit. Dengan cepat Nico menahannya. Popy terdiam lalu melihat tangannya yang kini digenggam erat oleh Nico.

"Kalau perkataan gue barusan buat lo sakit hati, gue minta maaf."

Popy menatap mata Nico, dalam. Kemudian menarik tangannya.

"Kalau lo butuh informasi tentang Nayla, tanya aja sama orangnya langsung, atau sama temannya yang lain. Gue gak tahu banyak tentang dia." tegas Popy.

"Gue suka sama lo." papar Nico, membuat Popy terbelalak. Jantungnya tiba-tiba berpacu dengan cepat.

"Awalnya gue mau pdkt sama lo. Tapi kalau dilihat lo bukan tipe cewek yang luluh dengan gombalan. Gue gak mau bertele-tele. Gue cuma mau dekat sama lo. Dan, mungkin, lebih."

"Lo suka sama gue? Ha ha..." Popy merasa tidak percaya. Tentu saja, selama ini tidak ada satupun pria yang menyukai dirinya. Nico, adalah pria yang pertama. Entahlah harus bagaimana Popy menyikapinya. Jantungnya semakin tak terkendali.

"Emangnya lucu, ya?" tanya Nico, karena Popy tak menganggapnya serius.

Popy melirik Nico. Masih tidak percaya. Pria tampan seperti Nico menyukai dirinya.
"Beneran lo suka sama gue?"

Nico menghela nafas panjang.
"Iya, gue suka sama lo."

Popy meneguk ludah. Terasa panas. Seketika Popy salah tingkah. Ia tak tahu harus bagaimana lagi menanggapi perkataan Nico. Tidak mau pingsan karena kehabisan nafas, Popy memilih pergi. Pergi kemanapun, asalkan tak bertemu Nico.

Popy kembali ke kelas dengan tergesa-gesa. Hingga menabrak kedua temannya. Hasya dan Nayla.

"Lo kenapa?" tanya Hasya, melihat Popy ketakutan setengah mati.

"Ada yang suka sama gue." Seru Popy sambil mengatur nafas.

"Gue pikir lo di kejar-kejar ibu kantin, karena gak bayar makanan." Ucap Nayla.

"Iya, lagian ada yang suka aja ampe lari-lari ga jelas gitu." Sambung Hasya.

"Emang yang suka jelek ya ampe lu ketakutan?" tanya Nayla.

"Bukan. Tapi yang suka sama gue cakep abis." Jelas Popy.

"Definisi cakep tiap-tiap orang kan beda." Jawab Hasya.

"Terserah kalian. Yang jelas Nico itu cakep, bagi gue."

"NICO!!!" Serempak Hasya dan Nayla. Keduanya benar-benar kaget.

* * *

Sepulang sekolah Nico menawari Popy tumpangan. Popy yang saat itu masih belum bisa mengontrol jantungnya, langsung menolak tawaran Nico. Meski ia sedikit baper, tetap saja ia takut. Takut kalau Nico hanya mempermainkannya. Meskipun begitu, Popy tak bisa membohongi perasaannya. Ia senang setengah mati. Baginya ini benar-benar kejadian langka. Popy yang sebelumnya tak terlalu memikirkan soal cinta, perlahan-lahan mulai memenuhi otaknya. Semua itu karena Nico. Nico yang secara mendadak menyatakan perasaan padanya.

Sesampainya di rumah, Popy langsung melompat-lompat di atas tempat tidur. Membayangkan kembali kejadian saat di kantin. Saat Nico bilang suka padanya.
Setelah lelah dengan kesenangan semu. Popy merebahkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamar yang hampa.

"Apa bener Nico suka sama gue?" tanya Popy dalam hati.

Hello Nayla [SELESAI]Where stories live. Discover now