secangkir kopi hitam

Start from the beginning
                                    

Lian duduk di sofa hijau tosca itu. Tidak peduli pemilik rumah itu sudah menyuruhnya duduk atau belum.

"Siapa suruh elo kalah pas maen basket" lagi-lagi Rano tersenyum miring

"Shitt! " umpat Lian kesal

"Cepet lo bilang apa mau elo? Kalo gak to the point gue bakalan pergi dari sini" ucap Lian ketus sekali

"Oke girl. Berhubung gue suka kopi, jadi sekarang Buatin gue kopi hitam ala elo"

"What!? Jadi gue bela-belain ninggalin quality time sama temen-temen gue, ngebut-ngebutan di jalan, cuma buat bikinin elo kopi hitam doang?" Lian bengong, mulutnya mengangga selebar kalo kuda nil lagi mengangga.

"Yups" jawab Rano santai

"Astaga! Gila lo!?"

"Siapa suruh kalah" Rano tersenyum tipis. sebenernya dalam hatinya dia bahagia karena bisa punya waktu banyak dengan gadis unik ini. Walaupun dia harus mempersulit hidup gadis ini terlebih dahulu.

"Dimana dapur lo?" Lian bangkit dari sofa

"Oh gampang. Tinggal lurus saja mentok. Pertigaan belok kiri. Nanti di situ ada perempatan yang ada lampu merahnya elo ambil kanan. Lurus aja sampe ketemu perempatan lagi elo belok kiri. dan dapur gue di kiri pojok situ" Rano dengan santainya menjelaskan

"Buset! Tuh jalan ke dapur apa jalan mau ke dunia lain sih, kok ribet amat? Pake perempatan, ada lampu merahnya segala lagi? Yang bego gue apa dia ya? " Lian membatin dalam hati. Dia menggaruk garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.

"Tuan putri kok bengong aja?" Rano membuyarkan lamunan Lian

"Eggak kok, gue kaga bengong" Lian kaget.

Ia bergegas berjalan menuju dapur. Dan benar saja, memang jalan menuju dapur di rumah Rano itu begitu teramat sulit. Kaya benang ruwet deh pokoknya. Sesampainya di dapur, Lian mengagumi dapur Rano sebentar. Dapur itu terawat dan sangat bersih. Begitu terjaga kebersihannya. Lian mengambil toples bubuk kopi hitam dan dua cangkir. Dia menuangkan air panas ke dalamnya. Di aduknya kopi itu dengan segenap hatinya ( lebay kaga?). Dan kopi itu pun siap.

"Ini kopinya" Lian menaruh dua cangkir kopi tadi di atas meja.

"Kok dua?"

"Satu buat gue"

"Oh elo juga suka kopi hitam?" Rano menatap Lian pas di manik matanya

"Emm, gak terlalu sih, cuma kadang-kadang."

"Di kenalin siapa lo soal kopi hitam? "

"Oh sama seseorang" Lian menjawab dengan datar

"Siapa?" Rano mengerutkan keningnya samar

"Nothing" Lian menggeleng gelengkan kepalanya pelan

Rano mengambil secangkir kopi itu dan kemudia menyesapnya. Seketika ia merasakan kenikmatan yang berbeda. Kopi hitam itu terasa berbeda di bawah tangan Lian. Terasa nikmat di bawah tangan Lian. Entah kenapa ia tidak bisa mengatakan betapa enak dan nikmatnya kopi buatan Lian. Berbeda dengan kopi yang selalu ia buat sendiri setiap malamnya. Padahal kopi yang ia buat sendiri dengan yang di buat Lian mempunyai merk kopi yang sama. Ia merasakan di dalan kopi itu di buat dengan sepenuh hati. Cita rasanya berbeda. Sepertinya ia akan ketagihan dengan kopi buatan Lian (yakin? Bukan ketagihan sama orangnya?).

"Gimana? Enak?" Lian tidak menatap Rano, ia masih menyesap kopinya, pandangannya di buang ke sembarang arah.

"Emm, enak juga" Rano mangut-mangut

"Gue boleh tanya kaga?" Kali ini Lian menatap Rano

"Boleh" Rano mangut mangut

"Kenapa sih elo suka kopi hitam?" Lian menampakkan wajah serius

Rano tersenyum tipis

"Yah suka aja" Jawab Rano singkat

Kurang puas dengan jawaban Rano, Lian menatap Rano tajam. Rano yang tau maksud Lian. Kemudian melanjutkan.

"Ada banyak pelajaran yang elo dapet dari si kopi hitam ini"

Lian mengerutkan keningnya sebentar "apa?"

"Kopi hitam ini, walaupun dia hitam dan pahit, tapi dia tidak pernah malu menunjukkan kebenaran dirinya bahwa dia pahit, dan kenyataannya memang begitu. Walaupun kaya gitu, dia tetap jadi diri sendiri. Tidak pernah ingin jadi orang lain"

Lian mangut-mangut.

"Lo tau es krim kan? Es krim itu emang keliatan enak, menyejukkan. Tapi, jika kita terus memandangnya bakalan meleleh, hilang di telan uap panas. Sedangkan kopi hitam ini, memang dia hitam, jelek, pahit dan tidak kelihatan menarik. Tapi kopi hitam ini tetap enak di nimati, walaupun dingin sekalipun dia masih tetap mengandung kafein yang tidak akan hilang meski kopi itu dingin"

"Oh, artinya, kita enggak boleh ngeliat sesuatu dari covernya aja. Kalo kita ngelihat cover alias wajah aja, semua itu bisa menua dan hilang. Beda kalo kita ngeliat sesuatu itu dari hatinya, maka sampe kita tua sekalipun hati baik itu akan tetap ada"

"Cepet juga lo nyerna kata-kata gue" Rano tesenyum

"Iya dong. Gue kan suka nulis kata-kata buat cerita gue." kali ini Lian tersenyum. Manis dan tulus.

"Mulai sekarang, setiap hari elo harus buatin gue kopi pas gue jemput elo tuan putri" Rano mengacak acak rambut Lian

"Iya" jawab Lian dengan senyum simpul

Entah mengapa, Lian merasakan ada yang de javu dari kata-kata Rano tentang kopi hitam tadi. Oh Lian baru ingat kalo kata-kata itu juga pernah di katakan sama Bara saat mereka sedang menikmati secangkir kopi hitam di bawah naungan sinar bulan dan berpayung bintang-bintang. Entah kenapa ia merasa ada rasa nyaman bahwa Rano masuk ke kehidupannya. Lian berharap Rano adalah teman yang baik. Yah Semoga saja.

***

Haloo readersss 😘, salammm!! Tolong vote nya yakkk. Thanks you 😘😍.
Maaf ya , untuk 3 hari ini saya istirahat dulu, penulis baru mau Camping 😍😘

-AFTER RAIN-Where stories live. Discover now