Bagian Empatbelas - London

ابدأ من البداية
                                    

   Keluarg jenius, kuakui itu.

   Aku mendengar perdebatan panjang di balkon flat di samping mendengar gelak tawa Nick yang melihat televisi atau umpatan Destiny gagal mendapatkan bantuan dari kawan-kawannya. Dari balik sofa, kulihat Justin dan Barbara tengah berdebat panjang penuh amarah. Berulang kali Barbara memukul atau mendorong pundak Justin sedangkan Justin mencoba meredam emosinya. Kedua alisku tertaut heran melihat pertengkaran mereka, padahal baru beberapa jam kami sampai di sini.

   Justin’s Point of View

   “Kenapa kau jadi sensitif seperti ini?” seruku kesal.

   Barbara mengerang tertahan, menendang pot tak jauh dari tempatnya, dan mengumpat. Masalahnya hanya sepele, aku tidak memperbolehkannya pergi kemanapun demi keamanan—terutama keamanan dia juga. Meskipun aku tahu rasanya pasti sulit jika dilarang bertemu dengan ibunya. Akan tetapi, semua ini kulakukan agar dia tetap aman di sini lantaran Trevor dan Nicole tengah mengerahkan seluruh anggota perkumpulan untuk mencari kami.

   “Aku tidak membutuhkan ijinmu, kau tahu itu.” Barbara mengacungkan telunjuknya dengan pandangan muak. “Lagipula, kau tak berhak mengatur hidupku.”

   “Tentu saja aku berhak!”

   “Berhak? Sebagai apa, huh? Yang pertama, kau sudah menyeretku masuk ke dalam lelucon terbesar dengan bergabung bersama para anggota organisasi gila, maniak, pembunuh, gila akan tatanan baru dunia. Yang kedua, aku hanyalah orang yang kauseret dalam permasalahanmu. Yang ketiga, minggir, aku mau pergi.”

   Tega sekali dia bicara seperti itu setelah semua hal yang kami lakukan bersama sebagai sahabat? Bahkan dia tidak pernah sekalipun menyalahkanku atas kejadian yang menimpanya, justru menganggap bahwa semua itu adalah keputusannya sendiri.

   Saat Barbara melenggang hendak menjauh, aku mencekal tangannya, lantas menariknya sampai dia meronta.

   “Dengar, kalau kau berbuat nekad…”

   “Apa? Kau membunuhku?” Barbara tertawa sarkastis. “Katakan saja, Justin. Kau mau membunuhku? Asal kau tahu saja, Jason bahkan lebih baik daripada kau!” Setelah itu dia mendorong bahuku, melimbai pergi dengan hentakan langkah gusar. Aku masih terpaku melihatnya dari sini, merasa bahwa apa yang kulakukan mungkin suatu kesalahan besar.

   “Mau kemana kau?” tanya Rachel mendekatinya.

   “Bukan urusanmu.” Barbara mengacuhkan tatapan heran Rachel.

   Aku menghela napas pendek.

   Barbara’s Point of View

   Sialan. Baru kali ini aku merasa kacau. Parah memang. Tolol. Bodoh. Aku memang layak disebut tolol, bodoh, pecundang, egois, bedebahlah. Seluruh waktu kuhabiskan duduk di depan meja panjang bartender, mendengar tawa orang-orang di dalam club ini, sambil sesekali melihat beberapa orang mencoba menggodaku—aku tak membalas mereka dengan pukulan jitu lantaran alkohol sudah membuatku mabuk berat. Sudah berapa lama aku duduk di sini? Kalau ingatanku masih bagus, sepertinya hampir tiga jam aku berada di sini.

   Dengan pandangan bunar, kutengok jam digitalku yang menunjukkan angka 10. Sial, sudah hampir tengah malam ternyata. Kepalaku terasa berat, sehingga kuletakkan di atas meja sembari melihat sekumpulan orang berjalan mendekatiku. Meskipun pandanganku kabur karena efek alkohol yang kuminum—hampir lima botol aku menghabiskannya—aku bisa mengenali wanita berambut pirang yang berjalan diapit sejumlah lelaki bertubuh tegap.

   Menyadari Nicole datang mendekatiku, sebisa mungkin kutegakkan kepalaku, lantas menodongkan pistolku walau dengan gerakan payah. Belum kutekan hammer pistol ini, satu pukulan mengenai kepalaku. Aku tak sadarkan diri seketika.

Red  Circle (ON HOLD)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن