Bagian Delapan - Kata Mutiara Michelangelo

2.3K 159 7
                                    

Wanita berkaca mata hitam itu tampak menunggu kedatangan seseorang di sebuah restoran sepi tak jauh dari pusat kota Paris. Diamatinya sungai Seine yang terlihat tak jauh dari sana. Berulang kali pula dia mengecek arlojinya memastikan berapa lama orang yang ditunggunya terlambat. Lamat-lamat senyum kecil merekah dari bibirnya yang dipoles lipstick merah ketika melihat tamu yang sudah lama ditunggunya akhirnya tiba.

“Elisabeth Etienne yang membelinya.” Tamu laki-laki berjaket hitam tersebut mengulurkan sesuatu untuk wanita itu. “Dan, itu jejak dari Elisabeth.”

Sambil tak mengubah sedikitpun ekspresi wajahnya, dia menerima lembaran kertas itu dan mengamatinya baik-baik. Ujung bibirnya terangkat sedikit.

“Tujuan kita selanjutnya Italia ya?” Dilipatnya kembali kertas tersebut, lantas memasukkannya ke dalam tas yang dia bawa. Wanita tersebut melepas kaca matanya. Terlihat tatapan berterima kasih sekaligus dingin dari kedua matanya yang sewarna kayu manis. “Terima kasih, kau sudah mau membantuku, Nick.”

Rachel’s Point of View

Sebuah rumah kecil yang bertempat jauh dari kepadatan kota Paris sudah tampak di depan kami saat Destiny menghentikan mobilnya. Aku menyipitkan mata mengedarkan pandangan ke seantero halaman luas yang ditanami berbagai macam tanaman. Kacang rambat terlihat oleh mataku, menjulur di pagar besi hingga menuju kanopi bunga di depan teras rumah mungil itu.

Tak ingin menunggu lama lagi, Destiny keluar dari mobilnya diikuti aku yang berjalan mengekor di belakang. Kali ini Destiny tidak memakai jaket kebanggaannya. Dia ingin menjadi seorang remaja biasa yang bepergian dengan stelan jaket denim, celana khakhi, dan bot pendek. Namun seperti biasa pula, dia membawa identitas diri sebagai detektif.

Bel rumah dibunyikan Destiny selama berulang kali. Namun, belum ada jawaban sama sekali dari dalam. Aku mulai tidak sabar menunggu di luar sambil mengerucutkan bibir bosan. Kuketukkan tumitku di atas lantai kayu oak sambil memandangi keindahan dekorasi rumah ini yang ditanami berbagai jenis tumbuhan.

“Siapa?”

Aku mengalihkan pandangan saat pintu dibuka dan menampakkan seorang wanita muda. Destiny sudah memamerkan senyum terbaiknya seraya menunjukkan kartu identitasnya sedangkan aku beringsut mendekat.

“Destiny Cyrus, detektif swasta. Aku ingin mengajukan pertanyaan padamu.”

“Baru saja ada anak lelaki seusiamu yang datang kemari sambil menunjukkan identitas serupa.”

Sama sepertiku, Destiny menampilkan ekspresi bingung. Dia bahkan perlu berdiam, menggerakkan matanya ke bawah untuk berpikir siapa pemuda itu.

“Apakah namanya Nick Holmes?” Destiny menaikkan sebelah alisnya.

“Ya.”

“Tepat.” Destiny mendengus. “Boleh kami masuk?”

“Silakan.”

Kami berdua masuk ke dalam rumah mungil itu. Di dalam terdapat banyak figura diisi foto kucing dan wanita tua duduk di kursi goyangnya. Lukisan-lukisan para filsuf sekaligus pelukis terkenal—termasuk Leonardo Da Vinci dan Pablo Picasso—terpajang di beberapa tempat. Aku yakin ini tempat yang benar. Philosopher and Historian Intelligence. Elisabeth Etienne pasti menyukai dunia filsafat dan seni.

“Aku putri bungsu Elisabeth Etienne. Namaku Luella Etienne,” ujar wanita muda itu, lebih ramah daripada tadi. “Ada keperluan apa kalian datang kemari? Menanyakan soal peninggalan ibuku?”

Destiny menyenggol sikuku sambil memberikan lirikan menuju suatu tempat. Di sana aku melihat foto berkelompok yang sama seperti milik paman John serta Dr. Mandingo yang dipajang di atas perapian. Ukuran fotonya lebih besar, hampir sama lebarnya seperti lukisan-lukisan di rumah ini.

Red  Circle (ON HOLD)Where stories live. Discover now