Bagian Sepuluh - Berkemas

1.8K 188 10
                                    

Wanita itu masih berdiri mematung di depan pintu sebuah rumah besar nan megah. Matanya tetap fokus pada satu titik, yakni pohon Ek yang tampak biasa saja, namun baginya pohon itu menyimpan sejtua kenangan manis. Telinganya bergerak reflek mendengar suara pintu berderit di belakangnya, tanda bahwa seseorang akan mempersilakan dia masuk.

“Miss De La Garza, Tuan sudah menunggu Anda di dalam.”

Wanita itu tersenyum miring, lantas membalikkan badan. Dipandangnya satu pelayan setia keluarganya, sambil tak berkedip sedetikpun memasuki rumah itu. Dia berjalan anggun penuh ketukan, nyaris selaras dengan bunyi hak sepatu botnya. Wanita itu berhenti di sebuah ruangan, ruang santai, di mana terdapat seorang pria tua tengah duduk di atas kursi berselimut tebal.

“Aku membatalkan penerbanganku sementara waktu menuju Italia. Aku menyebrangi samudra dalam waktu dua puluh empat jam hanya untuk memenuhi panggilanmu, Dad. Kenapa?” tanyanya dengan suara tegas dan datar.

Pria tua itu tersenyum adun. Meskipun di benaknya dia sangat menentang perubahan sikap putrinya, dia tak mampu melakukan apa-apa jika tubuhnya saja tidak bisa digerakkan.

“Nak, kau sudah banyak membunuh orang. Kau membunuh seluruh anggota PHI, menyekap Alison, sekarang kau belum puas sebelum mendapatkan Red Circle. Kenapa kau tega melakukan itu?” tanyanya dibarengi batuk.

Wanita tersebut hanya tersenyum miring menanggapi teguran ayahnya. “Aku melakukan semua ini untukmu, Dad. Untuk mendiang ibu. Untuk nama baik keluarga kita. Untuk kelangsungan hidupku.” Wanita itu mengerjapkan matanya sedetik. “Bukankah kau akan bangga, putrimu menjadi orang yang hebat? Dia hampir berhasil menakhlukkan dunia. Dengan rahasia itu aku bisa memonopoli dunia, melakukan konspirasi, mengetahui rahasia Freemasonry, Illuminati, Skull and Bones, dan lainnya. Untuk melakukan kerja sama.”

“Kau bukan putriku. Putriku tidak pernah menyakiti orang lain. Bahkan untuk membunuh semut pun dia tidak berani. Dia taat pada Tuhan dan agamanya. Dia tidak gila kekuasaan. Dia juga tidak buta akan pengendalian dunia.”

Bukannya luluh mendengar petuah ayahnya, wanita itu justru tertawa tanpa suara. Baginya, omongan orangtua hanyalah omong kosong. Dia tidak pernah memasukkan setiap petuah yang diberikan ayahnya.

“Aku tidak akan berhenti.” Wanita itu memakai lagi kacamata hitam yang digenggamnya, lantas melenggang meninggalkan ayahnya dengan langkah gusar. Baru beberapa langkah, dia berhenti mendengar dehem pelan ayahnya.

“Ingatlah, Nak. Selimut kegelapan tidak akan pernah menang. Kau justru akan menghancurkan dirimu sendiri.”

Tanpa menoleh, wanita itu membalas sarkastis. “Bukan Demetria namanya kalau aku tidak berhasil menakhlukkan dunia.” Dan dia kembali berjalan dengan angkuh meninggalkan rumah itu.

Justin’s Point of View

“Kau bodoh! Bodoh! Kau harus secepatnya menyerahkan Rachel pada mereka sebelum kau yang mati. Kau akan mati dengan konyol, Justin!” Jason berteriak membuatku semakin pening. Aku sudah menelan banyak Aspirin dan Xanax, agar pikiranku terkontrol dengan baik. Tapi, percuma saja. Aku terjebak dengan keputusan-keputusan gila yang membanjiri otakku.

“Aku tidak akan menyerahkannya. Aku tidak peduli kalau mereka membunuhku.”

Kudengar erangan Jason. Aku semakin gila, yakinlah. Aku semakin gila. Tak bisa kubayangkan bagaimana reaksi Rachel kalau tahu aku seperti ini. Dia pasti meninggalkanku. Bisakah dia seperti Lexy yang berusaha menyembuhkanku?

Aku menegakkan kepalaku, menatap cermin di depanku, mengamati diriku yang berantakan. “Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu, Justin. Kau pikir dengan adanya dia, kau bisa terbebas dari semuanya? Bebas hukuman? Kau tetap jadi buronan.”

Red  Circle (ON HOLD)Where stories live. Discover now