Bagian Duabelas - Pentagram

1.6K 148 1
                                    

“Kalau kau sudah besar nanti, apa cita-citamu, Demi?”

“Aku ingin jadi ilmuwan seperti Dad.”

“Benarkah? Itu cita-cita yang bagus, Demi. Lantas, apa yang akan kaulakukan apabila cita-cita itu terpenuhi?”

“Uhm. Yang pertama aku ingin menyingkirkan orang sombong di bumi ini.”

“Kau memang anak yang baik, Demi. Bibi sangat menyukai anak yang baik sepertmu. Kelak kalau kau sudah berhasil menjadi ilmuwan, jangan pernah menyalahgunakan kepintaranmu untuk hal yang tidak terpuji.”

“Tentu saja tidak, Bibi. Dad dan Mom sering menasehatiku tentang itu.”

“Nah, yang kedua? Apa yang akan kaulakukan setelah kau jadi ilmuwan?”

“Aku ingin mengatur dunia.”

Rachel’s Point of View

“Rae, kau sudah bergerak?”

“Ya. Aku sudah meninggalkan apartemen.”

“Kemana?”

“Swalayan.”

Aku tengah berjalan keluar dari apartemen, namun tidak menuju swalayan seperi yang kuucapkan. Aku pergi mencarinya; perasaanku mendadak tidak enak, itulah sebabnya aku mengikutinya. Sayang sekali aku harus kehilangan jejaknya. Larinya sangat cepat.

“Bagus. Cari tempat ramai. Kau membawa perlindungan?”

“Heckler.”

Sambil mendesah putus asa, aku berbelok menuju kafe sekedar menenangkan pikiranku dan mengenyahkan perasaan kalut itu.

“Anak pintar.”

“Kau baik-baik saja, kan?”

Dorr!

Aku terperanjat kaget mendengar suara letusan senjata itu sampai tak kudengar Justin bicara lagi. “Justin? Kau baik-baik saja, kan? Halo? Hei, bicaralah! Jangan buat aku panik!”

Tidak ada jawaban kecuali suara gemerisik. Aku menggigit bibir untuk menghalau perasaan cemas itu sambil mengetukkan jemariku di atas meja. Tidak ada apa-apa. Kepanikan semakin membanjiri pikiranku. Aku berdiri berniat meninggalkan kafe dan mencarinya. Namun, langkahku terhenti saat terdengar suara hammer sebuah pistol ditekan di belakangku.

“Rachel Dalton, sudah lama kami mencari keberadaanmu.”

Mataku bergerak ke kanan tanpa memutar tubuhku. Aku tidak ingin mengambil resiko dengan tindakan gegabah. Apalagi ini sebuah kafe. Meskipun sepi, aku tidak ingin menimbulkan keributan.

Ujung pistol itu terasa di belakang kepalaku. Aku menahan napas, tak berkedip sedikit pun. Tidak, Rachel. Lebih baik mengundang keributan daripada mati konyol di sini. Kuturuti pikiranku yang menginginkan perlawanan. Maka, aku berbalik badan, lantas memutar tangan kanan pria berjaket kulit itu sampai membuatnya jatuh terpelanting. Aku menarik kedua tangannya ke belakang ketika dia tertelungkup di atas lantai sambil mengerang tertahan.

Aku merasakan kehadiran orang lain di belakangku sehingga dengan gerakan gesit, aku menggelinding ke samping. Seorang pria lagi melesatkan satu pukulannya salah sasaran, mengenai pria yang baru saja kubanting di atas lantai.

“Brengsek, kenapa kau memukulku?!”

“Maaf, salah sasaran.”

Sementara mereka terlibat perdebatan, aku berlari keluar dari kafe itu. Kucoba menghubungi Justin, namun tak ada jawaban sama sekali. Kecepatan langkahku ketika berlari bahkan seperti menembus angin. Kedua pria itu mengejarku di belakang sambil melesatkan tembakan-tembakan. Aku menggelinding masuk ke bawah mobil, menunggu mereka lewat. Napasku bahkan memburu dan keringat mulai membasahi bajuku.

Red  Circle (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang