Bagian Dua - Antara Buronan, Tersangka, dan Korban

3.4K 252 5
                                    

“Tolong, jangan lakukan ini. Kau adalah orang kepercayaan kami satu-satunya. Jangan khianati kami.”

“Kau kira kau bisa membuatku berhenti? Sekarang di mana anak itu?”

“Kau tak akan bisa menemukannya. Dia memiliki banyak pengawasan dan perlindungan.”

“Bagaimana kalau perlindungannya semakin melemah, huh?”

“Kau tak akan berani menyakitinya. Percayalah, dia sudah kauanggap seperti anakmu sendiri.”

“Yang kubutuhkan hanyalah Red Cicrle.”

“Untuk apa? Selama ini kau masih mencarinya, bahkan membunuh banyak saudaramu. Untuk apa?!”

“Sudah jelas, kan? Kau sudah tahu untuk apa.”

Justin’s Point of View

Sial! Aku harus terjebak dalam pengejaran kelompok polisi New York bersama Barbara setelah kepergok mencuri berlian yang tengah dipasarkan saat ini. Dengan kencang, kakiku melesat bak peluru, melewati gang, melompati pagar tinggi, sementara para polisi masih memberondongku dari berbagai arah. Aku terjebak di antara dua jalan. Jalan pertama yang kuketahui akan terhubung ke sebuah festival sedangkan jalan kedua terhubung dengan jalan raya.

Aku memilih jalan pertama sambil memperhatikan kondisi dan kesempatanku lolos. Dua orang polisi masih terus mengejar sambil melesatkan dua tiga kali tembakan yang tidak berhasil mengenaiku.

“Kemana kau?!” seruku pada earpice untuk berhubungan dengan Barbara yang ikut bersembunyi di suatu tempat.

“Aku sedang menghindari para polisi. Kita bertemu di alun-alun!” Terdengar suara tembakan disertai erangan tertahan di seberang sana. Aku mengkhawatirkan keadaan Barbara.

“Barb!”

Barbara mengerang pelan. “Aku terkena tembakan. Tidak masalah, lanjutkan larimu, aku akan mengurus lenganku sejenak!”

Sialan. Kalau Barbara sampai tertangkap, habis sudah riwayatku. Ini semua gara-gara Michael yang memaksaku melakukan pencurian berlian mahal. Keinginan kuat Michael yang mendesak dan memprovokasi Barbara melakukan pencurian sampai akhirnya mendatangkan mala petaka seperti sekarang ini.

Aku membaur di tengah kerumunan festival. Dengan begini para polisi New York tidak dapat mengendus bauku dan mereka berpikir dua kali untuk melesatkan tembakan. Tidak mungkin melesatkan tembakan di tengah kerumunan. Maka dari itu, aku memilih kabur di tengah kerumunan.

Tololnya, aku terjebak dengan beberapa mobil polisi yang sudah mengepung. Kutarik topiku sampai menutupi wajah, agar para polisi itu tidak sempat mengambil sketsa wajahku. Aku berlari, menikung ke sebuah lorong, dan menerobos lalu lintas sampai satu mobil menyerempetku, membuatku jatuh bergulung-gulung di atas aspal. Belum sampai di sana nasibku. Alih-alih aku berlari kembali, mengecoh para polisi itu dengan mengambil jalan pintas, sampai di kelokan menuju rusun kumuh. Sambil melepas topiku, kutarik rangsel di punggungku, mengambil sebuah jaket, dan memakainya sambil memasang tudung. Lantas kuambil sebuah jalan sempit, menutupi sebagian wajahku menggunakan tudung, berjalan pelan tanpa perlu dicurigai siapapun.

Akhirnya bisa kuhela napas lega setelah berhasil melewati kegilaan yang terjadi beberapa jam ini saat kurebahkan tubuhku di atas sofa, mengatur napas sampai benar-benar teratur.

Barbara muncul di balik pintu, mendekatiku dengan tatapan tak termaafkan. Lengannya terbalut perban, menampakkan warna merah darah menembus kain perban putih itu. Dia sudah mengganti kaus dengan tank top berwarna hitam. Sambil menekan lengannya yang diperban, Barbara duduk di sebelahku. Dihelanya napas pendek.

Red  Circle (ON HOLD)Where stories live. Discover now