Bagian Tujuh - PHI

2.2K 183 8
                                    

Gerald, aku masih memantau Emerald. Dan bahaya sedang berada di dekatnya. Namun baik dia maupun bahaya itu, mereka sama-sama tidak menyadarinya.

 

-Shank

Rachel’s Point of View

Aku belum pernah mendapati kasus seperti ini; bahkan di mata kuliahku tak pernah menghadirkan kasus-kasus seperti ini. Teka-teki gila yang belum pernah kutemui di dunia nyata, sekarang justru terjadi di lingkunganku.

Sudahlah, untuk saat ini kukesampingkan saja teka-teki itu. Akan kunikmati keindahan Paris yang diantar Justin sewaktu menjelajahinya, bahkan dia tak segan-segan bercerita banyak mengenai dirinya. Aku tidak begitu bisa menangkap adanya kebohongan atau kejujuran pada dirinya, namun aku percaya Justin orang yang jujur. Bahkan kepercayaanku terhadap orang asing tak pernah sekuat ini seolah kami ditakdirkan untuk bertemu.

“Kau tidak keberatan kalau kuberitahu bahwa aku tinggal seapartemen dengan sahabatku. Dan, dia perempuan?” Justin mengamatiku dari balik mata hazelnya.

Kucerna baik-baik ucapannya, mengabaikan pendaran keindahan saat dia menatapku. Apalagi nada yang digunakannya begitu manis; pelan, tegas, namun tak jauh dari kata memikat. Bagaimana bisa ada orang asing yang baru bertemu denganku kemarin siang, namun sekarang kami seolah sudah saling mengenal satu sama lain?

“Tidak masalah. Mungkin kita bisa menjadi teman perempuan yang baik,” balasku.

Seakan ada yang salah dengan kalimatku, Justin terkekeh. “Begini, sebaiknya kau harus tahu kalau dia berbeda dari kebanyakan gadis. Maksudku, dia lebih keras kepala, kasar, dan tomboy.”

Sama sepertiku. Bukankah itu tidak masalah? “Percaya atau tidak, kami berdua pasti cocok.”

Justin menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa pelan diikuti oleh tawaku. Mobil yang dikemudikannya melaju lebih kencang menembus gemerlap lampu di sepanjang jalanan kota Paris, menuju apartemenku. Bahkan aku melupakan tujuanku bersama Destiny untuk menemukan identitas orang-orang yang memiliki tanda phi. Aku ingin istirahat dulu. Boleh, kan? Setidaknya istirahat itu untuk menajamkan pikiranku dalam penyelidikan kasus pembunuhan dan teka-teki Red Circle yang tengah kuhadapi.

Meski tak ingin waktu berputar begitu cepat, pada akhirnya mobil Justin berhenti di depan apartemenku. Aku sudah menyuruhnya untuk mengantarku sampai di depan pintu kamar apartemenku agar Destiny bertemu dengannya sehingga sahabatku itu tak mengkhawatirkan pergaulanku.

Seperti yang sudah kuduga, Destiny menyambut kedatangan Justin dengan senyuman lebar favoritnya. Terjadi interaksi yang baik setelah kulihat bahwa Justin juga senang bisa bertemu dengan Destiny; ekspresinya menunjukkan kalau dia bisa diajak bersosialisasi dengan sahabatku itu.

“Hai,” sapa Destiny riang. “Kau pasti Justin McCann.”

“Ya.” Justin mengulaskan senyuman simpul. “Biar kutebak, kau Destiny?”

Destiny mengulurkan tangannya dan disambut Justin ramah. “Destiny Cyrus.”

Sudah kubilang kalau mereka akan menjadi teman yang baik. Lagipula Destiny tipe orang yang suka mencari teman baru dan mudah membaur, sama seperti Justin. Sayangnya, pertemuan mereka tidak memakan waktu lama karena Justin juga harus kembali ke apartemen.

“Aku akan senang kalau bertemu lagi denganmu,” kata Destiny seraya memamerkan telunjuknya di depan Justin.

Menanggapi kalimat Destiny, Justin tersenyum lebar. “Tentu saja.” Dia menatapku sebentar, masih belum menghilangkan senyum itu, sampai akhirnya melimbai pergi. Baru beberapa langkah, dia berhenti dan membalikkan badan. “Kalau aku ingin mengajakmu keluar, kupastikan kau tidak akan menolak.”

Red  Circle (ON HOLD)Where stories live. Discover now