Bagian Empat - Museum Louvre

2.3K 189 5
                                    

“Kau ternyata. Aku sudah menduga kau pelakunya.”

“Hm… rupanya kalian masih menduga-duga. Kukira kalian sudah pasti menyudutkan aku sebagai tersangka.”

“Aku hanya berasumsi dasar bahwa bukan pengkhianat kami yang melakukan ini. Banyak yang menginginkan Red Circle. Tapi baru kusadari kasus pembunuhan yang kaugunakan dengan metode mereka sangat berbeda. Kalian lebih jahat.”

“Aku tidak akan jahat kalau benda itu kalian berikan padaku sejak lama. Mungkin kalau kalian memberikannya padaku, tak akan ada korban berjatuhan sampai sekarang. Kalian akan utuh.”

“Sungguh? Lantas… kami akan memberikannya padamu seperti orang tolol? Tidak. Kau akan menambah korban, melibatkan orang yang tak bersalah.”

“Aku hanya berlaku baik.”

“Baik? Jahat tulen maksudmu?”

“Disiplin, cerdik, tapi sedikit kasar. Sekarang, berikan benda itu.”

“Tidak akan.”

Rachel’s Point of View

 Sudah lama aku berdiri di pinggir jalan seperti orang tolol, mencari taksi yang kosong untuk pulang. Ini ke tujuh kalinya aku melihat jam digitalku. Sudah lewat tengah malam. Gara-gara SUV yang kukemudikan mengalami masalah dan harus masuk bengkel, sekarang aku yang kesusahan sendiri. Hm… bagaimana kalau kutelepon saja Destiny dan minta dia untuk menjemputku? Sepertinya tidak apa. Daripada aku terancam bahaya di sini, lebih baik menghubungi Destiny.

Deringan ke tiga, baru ada yang menjawab teleponku.

“Dee. Ini aku, Rachel.”

Terdengar suara berat di dalam sana sambil sesekali menguap. “Iya aku tahu. Kau kira aku buta dan tidak bisa melihat namamu di display? Ada apa?”

Mendengar nada berat Destiny, aku urung mengatakan niatku minta dijemput. “Kalau kau mengantuk tidak apa. Lanjutkan saja tidurmu.”

Destiny tertawa. “Kau pikir setelah meneleponku dan membuatku terbangun, dengan seenaknya kau minta aku tidur lagi?” Dia mendesah pelan. “Kau harus tahu satu hal, Rae. Kalau aku sudah dibangunkan, aku tidak bisa tidur lagi. Sekarang katakan ada apa.”

Aku menggigit bibir bawahku. “Maaf…”

“Jangan minta maaf. Jawab saja pertanyaanku.”

“Bisakah kau menjemputku? Aku tidak menemukan taksi di sini. Jalanan sudah lumayan sepi.”

“Dimana kau?”

Aku menyebutkan lokasiku berada kini melalui papan yang tertancap di tiang besi tak jauh dariku. Setelah menyebutkan lokasi, Destiny bilang akan segera berganti baju dan memutuskan sambungan. Aku menghembuskan napas pendek sambil menunggu Destiny menjemputku di pinggir jalan.

Justin’s Point of View

Teringat olehku ketika salah satu saingan kami dalam memperebutkan Red Circle masuk ke dalam perkumpulan untuk memberikan sedikit informasi yang ternyata keberadaannya justru mengganggu. Saat dia dengan angkuhnya mengatakan bahwa kami bergantung padanya dan kami diwajibkan untuk menuruti perintahnya. Namun pemimpin kami tidak sebodoh itu menanggapi ucapan tolol wanita licik tersebut.

Pertama kali aku melihatnya berjalan diikuti antek-anteknya. Langkah anggun dengan kaki jenjang di balik dress hitam panjang menjuntai di lantai marmer lusuh. Wajahnya yang apatis, dingin, menampakkan kemunafikan luar biasa, sebuah pengkhianatan terbesar yang dilakukannya untuk organisasi yang pernah diikutinya. Hanya demi hasrat memiliki jawaban dari kunci kode rahasia dunia.

Red  Circle (ON HOLD)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant