10. Hujan

9.6K 833 18
                                    

Anka memandang langit yang sudah gelap gulita, gemuruh suara petir saling bersautan di angkasa. Ah, dia sangat tidak menyukai suasana seperti ini, semoga tidak hujan.

Tapi kenyataannya...

Bressssss...

Hujan turun dengan derasnya.

Oh tidak...

Anka terjebak di tengah hujan sederas demi menjilid tugas yang harus dikumpulkan sore ini juga. Bu Mei, guru Bahasa Indonesia yang memberi tugas membuat kliping berita terkini dalam Bahasa Indonesia pasti sudah was-was menunggu di sekolah. Anka menggigit bibirnya menahan kekesalan.

Bagaimana tidak? Ini sudah menjadi batas waktu terakhir setelah Anka menunda selama 2 minggu, ya dua minggu. Sebentar lagi UTS akan dilaksanakan makanya nilai tugas kliping ini sangat penting.

Kenapa dirinya yang sudah sulit lulus ini semakin dipersulit saja kelulusannya. Anka menggerutu menghentakkan kaki kesal.

Alam saja tidak mendukung gue mendapat nilai bagus, keluhnya dalam hati, tapi percuma. Jadi lebih baik dia berdoa saja agar hujan ini segera reda secepatnya. Ah, dia menghentakan kakinya lagi kesal.

Anka beserta beberapa orang menepi di bengkel Pahat Hati yang letaknya tak jauh dari sekolah, karena Anka memang niatnya tidak terlalu jauh dalam mencari tukang photocopy. Nyatanya Anka tetap tak bisa kembali ke sekolah dalam keadaan hujan begini.

Ponsel gadis itu bergetar di saku, tangan kirinya memeluk plastik yang berisi tugas tercinta penuh perjuangan itu sementara tangan kanannya merogoh ponsel.

"Hallo?"

Belum sempat Anka mendengar suara jawaban di ujung sana, Anka diteriaki seorang dengan suara judes dari arah belakang,

"Jangan teleponan, lagi geluduk!!"

Anka berjengit sambil mengorek telinga yang menjadi pengang karena teriakannya orang itu yang lumayan keras. Anka memasukkan ponsel ke saku dengan tampang bete tanpa ingin tahu siapa orang tadi, beberapa pasang mata sudah menatap Anka dengan kekepoan tingkat tinggi.

Anka membuang muka bete, cahaya petir yang menyilaukan mata membuatnya mundur agak takut. Anka tidak mau tersambar petir lalu mati di tempat dengan keadaan gosong. Saat Anka menggeser tubuhnya mundur, dia menubruk tubuh bongsor seseorang. Bahkan kakinya juga menginjak kaki orang itu, maklum gerakan refleks.

"Maaf," ucapnya spontan mengira sang pemilik tubuh adalah orang tua.

Ternyata Brian.

Brian memiringkan wajah menatap Anka. Hah? Anka menganga, jangan bilang dia yang tadi meneriakinya? So pasti itu dia. Siapa lagi?

"Huh, tumben sopan," kata Brian sinis.

"Gue kira baru saja menabrak bapak-bapak serem." Anka tersenyum kecil menggoda.

"Lo benar-benar nggak takut ya. Mau ke mana nih?" Brian mengamati Anka penuh selidik, "Jangan bilang itu bawa tugas Kliping berita? Baru mengumpulkan? Sepertinya itu tugas 3 minggu yang lalu."

"Mau balik ke sekolah menyerahkan tugas ini, harus secepatnya. Anak IPA kan beda sama IPS, hehe. Lo ngapain di sini?"

"Naro motor di bengkel, nanti pulang bisa ngambil. Oh tugas. Tapi Gizka sudah menyerahkan tugas itu 2 minggu yang lalu," ucap Brian, senyum Anka mendadak lenyap sudah. Cowok itu memang titisan dementor. "Ke sekolah bareng mau nggak? Gue bawa payung." Katanya lagi. Dia membuka tas ranselnya yang besar dan mengorek sesuatu dari dalam.

Heh, cowok ini membawa payung? Oke oke, cowok ini namanya Brian, kalau bukan bernama Brian tentu saja Anka lebih heran.

Cowok ini kan jenius, mungkin pepatah sedia payung sebelum hujan benar-benar diterapkannya. Dia sudah berhasil menemukan payungnya, payungnya sudah terbuka lebar.

EndorphinsWhere stories live. Discover now