Bab 3 - Bradford dan Milan

Start from the beginning
                                    

Seth tak bisa menyembunyikan kekagetan di wajahnya. "Kau mengundang mereka?"

Nolan mengangguk. "Memangnya kenapa?"

"Kalau Mom tahu bagaimana?"

Mereka sama-sama tahu bagaimana perseteruan abadi yang berlangsung di antara ibu mereka dan Mrs. Harrison sejak SMA. Dengan kepanikan ibunya hari ini, hal terakhir yang ibunya inginkan tentunya adalah melihat keluarga itu ada di sini.

"Sudah, biar aku yang urus." Nolan menepuk bahu Seth lalu berjalan menuju keluarga calon tunangannya untuk berbasa-basi. Sambil memperhatikan kakaknya susah payah menjalin pembicaraan dengan Mrs. Milan, Seth dalam hati mengucapkan turut berduka cita untuk matinya kebahagian kakaknya.

Ada satu hal yang harus ia syukuri, paling tidak. Pertunangan ini adalah satu-satunya yang membuat dirinya dan Nolan bersatu dalam kebencian terhadap keluarga itu. Bahkan ketika kedua keluarga ada di atas panggung, Shania masih melemparkan tatapan jijik padanya. Serius?

"Aku tak tahu pertunangan bisa seburuk itu."

Alih-alih mengucapkan selamat, Rae meluncurkan kata-kata itu tepat di depan wajah Nolan. Nolan hanya membalasnya dengan tawa—tawa yang keras dan agak parau. Tawanya tak lain adalah untuk dirinya sendiri—orang yang paling menyedihkan di pesta pertunangannya sendiri. Dengan gaun ungu gelapnya, Rae berbalik duduk tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Seth. Seth yakin pernah melihat gaun itu dicoba oleh Shania, tapi saat itu gaun itu terlihat seperti gaun paling buruk di dunia. Malam ini, gaun itu terlihat seperti gaun tercantik di ruangan itu. Lampu di ruangan itu memantulkan sedikit warna kemerahan dari warna sebenarnya yang ungu gelap—seperti warna anggur Merlot. Tatapan Rae yang penuh misteri membuat gaun itu semakin cocok dikenakannya.

"Kamu dengar nggak sih?"

"Eh? Sori?" Seth tampak kikuk saat tiba-tiba mendapati tatapan jengkel dari gadis itu. Saat ia sadar, di meja itu hanya sisa mereka berdua. Sawyer sudah duduk di meja bar menemani Nolan yang Seth yakin telah menumpahkan setengah beban pikirannya pada sahabatnya itu.

"Toilet di mana? Ah sudahlah. Aku cari sendiri."

Setelah 30 menit, Rae tak kunjung kembali. Hal itu membuat Seth panik, terutama saat Sawyer mendatanginya dan menanyakan di mana adiknya dengan wajah siap menerkam. Mau tak mau Seth berlari masuk ke rumah untuk mencari gadis itu. Ia menyusuri semua lorong di lantai satu tapi tak juga menemukannya. Seth berlari menaiki tangga rumahnya dengan panik, berharap menemukan Rae di salah satu ruangan di lantai dua.

Benar saja, Rae ada di sana.

Ia terdiam di sebuah ruang aula besar yang sudah lama tak terpakai sejak ayahnya membuat duplikasinya di kantornya. Gadis itu berdiri di bawah lampu kristal besar, mendongak memandang foto keluarganya yang tercetak di atas kanvas.

"Rae, jangan bikin orang panik dong!"

Rae tak menjawab, melainkan masih memandang wajah Seth dan Nolan bergantian. Kepalanya sedikit miring, dahinya mengerut. "Kau dan Nolan benar-benar saudara kandung?"

Seth menghela napas panjang, tak habis pikir dengan pertanyaan Rae.

"Habisnya kalian berdua sangat berbeda."

"Itu namanya strategi hidup," Seth menanggapi sambil menarik salah satu kursi di meja panjang itu. "Nolan menjadi pria yang terlalu sempurna, sampai semua orang mengandalkannya. Dia pun dikorbankan untuk semua kepentingan keluarga ini. Kalau aku? Jangankan mengandalkanku. Ayahku bahkan tak peduli aku mau ngapain lagi."

"Bocah egois," sergah Rae dingin .

"Apa kau bilang?" Seth tak menyembunyikan kekesalannya. Gadis ini tak perlu di-sopan-santun-kan.

"Kau lahir di keluarga ini, hadapilah takdirmu! Jangan melarikan diri seperti pengecut."

"Lebih pengecut mana dari orang yang menantang duel tapi tak mau jati dirinya dikenal?"

Mereka terdiam dengan tatapan yang masih tegang selama beberapa saat.

"Kalau kita tak selesaikan ini, kita nggak akan bisa tidur malam ini kan?" tanya Seth memecah keheningan itu sambil membuka jasnya dan kancing kerah kemejanya.

"Mmm hmm." Rae mengangguk mengiyakan.

Seth pergi dan kembali semenit kemudian dengan dua foil, lalu melemparkan salah satunya pada Rae. Rae mengerutkan kening memperhatikan foil di tangannya. "Imitasi?"

"Kau benar-benar berniat mencelakaiku ya?" Seth jengkel bukan main melihat wajah Rae yang tampak tak puas. Kalau Seth memberikan gadis itu foil asli, bisa-bisa mereka keluar dengan banyak luka sayatan.

"Peraturannya?" tanya Rae sambil menggulung asal rambutnya yang sudah di-hairspray dengan rapi.

Seth menggeleng. "Nggak ada. Silakan mulai kapan sa—"

Belum selesai Seth bicara, Rae sudah menendang sebuah kursi hingga terbalik, membuat Seth kaget bukan main.

"Yakin? Aku bisa melakukan apapun lho. A-pa-pun."

"Aku pun begitu."

Seth melompat menyebrangi meja itu dan menjulurkan foil-nya namun Rae cukup cepat untuk menghindar. 5 menit kemudian aula besar itu sudah tak berbentuk lagi. Tirai menjuntai miring di jendela, peralatan makan keramik pecah berhamburan, vas bunga raksasa jatuh dan menumpahan semua isinya, kursi-kursi meluncur ke segala penjuru.

Sejujurnya Seth sudah mulai kewalahan. Belum ada yang pernah melakukannya padanya sebelumnya. Gadis itu...matanya menancap fokus pada apa yang diinginkannya dan tak akan melepaskannya kalau ia belum mendapatkannya—seperti radar pesawat tempur. Tapi tak mungkin ia menunjukkan kelelahannya pada gadis itu. Mau ditaruh di mana wajanya. Maka, Seth pun memutuskan untuk segera mengakhirinya.

Tapi ia meleset.

Ketika Seth mengerahkan semua kecepatannya untuk menyerang gadis itu, Rae melakukan sesuatu yang tak Seth duga. Gadis itu melompat ke atas rak pajangan, seakan-akan sudah menduga Seth akan melakukannya. Rae kemudian melompat turun lagi sambil mengaitkan lengannya pada leher Seth, membuat Seth terbanting dengan keras. Dengan sebuah cengiran, Rae menekan foil-nya ke dada Seth.

"Boo!" bisiknya meledek Seth. Saat ponselnya berdering, gadis itu segera melempar foil itu dan menghambur pergi. "Sudah dulu ya! Sawyer mencariku!"

Seth masih berbaring menatap langit-langit ruangan itu saat Nolan menemukannya. "Ap—apa-apaan ini?!" Nolan kehabisan kata-katanya akibat campuran antara kelelahan dan keterkejutannya. Belum lagi saat adiknya hanya mengerjap mendongak memandanginya seperti orang dungu.

"Bangunkan aku, tolong?"

Dengan enggan Nolan mengulurkan tangannya dan membantu Seth berdiri. "Selamat atas pertunanganmu," Seth tersenyum lebar lalu menepuk bahu Nolan. Nolan mengernyit, merasa ada yang janggal, karena sebelumnya adik laki-lakinya itu bilang akan mengacaukan pesta itu kalau dia bisa.

Ya, Nolan tak tahu kalau Seth baru saja melalui malam terbaik dalam hidupnya. Malam yang selalu ia kenang bahkan sampai bertahun-tahun kemudian.

En Garde!Where stories live. Discover now