BAB 3

562K 27.7K 765
                                    

Sedari tadi, Raquella mencoba untuk memecahkan satu soal matematika menggunakan rumus yang terlah diajarkan. Ia mencoret-coret bukunya, namun tak kunjung mendapatkan hasil.
Karena tak kunjung selesai, akhirnya Raquella menyerah. Ia mengambil buku Vanilla yang terbuka lebar di atas meja dan siap menyalin jawaban. Sementara si pemilik buku itu sedang tertidur pulas. Padahal pelajaran sedang berlangsung.

Saat Raquella mengarahkan pandangannya ke depan kelas untuk memastikan guru tidak memperhatikannya, Raquella melihat guru sedang berbicara dengan seseorang yang pernah dilihat oleh Raquella. Segera ia menyenggol lengan Vanilla untuk membangunkan temannya itu.

"Apaan sih, Ra?" desah Vanilla merasa risih karena diganggu oleh Raquella.

"Itu cowok yang kemarin berantem sama lo kan?" tanya Raquella berbisik ditelinga Vanilla. Otomatis Vanilla langsung mengarahkan pandangannya ke depan kelas. Ia memicingkan mata agar bisa melihat lebih jelas sosok yang dimaksud oleh Raquella.

Vanilla langsung melotot sempurna saat berhasil mengidentifikasi cowok itu. "Perhatian anak-anak," seru guru membuat semua murid menatap depan kelas. "Hari ini Leon akan menjadi teman kelas kalian. Karena kelas sebelah muridnya berlebih, jadi Leon dipindahkan ke kelas ini."

Para siswi langsung saling berbisik. Beberapa diantaranya bahkan terlihat seperti menahan jeritan melihat cowok berambut hitam legam acak-acakan sedang berdiri di depan kelas dengan tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celana dan tas yang menggantung di bahu kirinya.

"Lebay!" Celetuk Vanilla, "Gantengan juga Abang gue."

"Dia berkharisma kalau Abang Lo gunung es berjalan," sahut Raquella.

Vanilla langsung menoleh dengan senyum miring, "Tapi lo suka juga kan sama Abang gue? Buktinya lo pacar--"

"Shut up!"

Vanilla langsung tersenyum lebar melihat wajah Raquella yang memerah menahan malu. Karena tadi sibuk menggoda Raquella, Vanilla jadi tak sadar bahwa sejak beberapa waktu yang lalu, Leon berdiri persis di samping mejanya.

"Hey, cewek galak," sapa Leon membuat Vanilla mendongak. Mulutnya berdecak, "Sok kenal banget lo," balasnya tak bersahabat.

"WOW! Ternyata ingatan lo pendek ya. Cantik sih tapi pikun," ejeknya. Leon menyunggingkan senyum miringnya dan mendekatkan wajahnya tepat di samping telinga vanilla. "Tenang aja, gue gak akan ganggu lo, kok. Asalkan lo mau kasih nomer handphone teman lo itu ke gue," Leon menyodorkan ponselnya.

Vanilla melirik Raquella dari sudut matanya lalu dengan ragu ia mengetikkan nomer Raquella pada ponsel Leon. Dengan senyum lebar Leon berterima kasih lalu pergi menuju bangku kosong yang ada dibarisan belakang.

Ketika Vanilla benar-benar menoleh kearah Raquella, ia melihat temannya itu sedang bertopang dagu seraya mengarahkan pandangan pada meja Leon. "Kenapa lo? Kesambet setan apaan?" Tanya Vanilla bingung.

Cengiran lebar diperlihatkan oleh Raquella, "Ternyata kalau dilihat dari dekat, ganteng juga, ya." Mendengar pernyataan menjijikan itu membuat Vanilla kembali menatap Leon. "Dia? Ganteng? Dilihat dari ujung Monas pakai sedotan Aqua!"

Raquella mengerucutkan bibirnya kesal.  "Mata lo itu memang harus diganti biar lo bisa bedain mana cowok ganteng sama yang biasa aja. Gue gak pernah tuh dengar lo puji seseorang."

"Gak minat gue kasih pujian cuma karena ganteng doang," jawab Vanilla.

Bukan Vanilla namanya jika ia tidak bisa menjawab setiap kalimat yang dilontarkan untuknya.

"Terserah lo deh, Nil."

Vanilla menggelengkan kepala. Karena rasa kantuknya sudah hilang, Vanilla mengambil kembali alat tulisnya, lalu mulai menggambar doodle di bagian belakang buku tulis miliknya.

If You Know Why [RE-PUBLISH]Where stories live. Discover now