Saat itu aku duduk di sebelah Barbara, memandangnya berjalan menghampiri pemimpin kami. Sebelah tangannya di angkat rendah, menandakan agar antek-antek di belakangnya mundur beberapa langkah. Sampai akhirnya dia sendiri yang menghadapi pemimpin kami. Menatap lurus-lurus sambil memamerkan deretan giginya yang rapi. Seringai lebar mengejek terulas begitu saja. Aku tidak tertarik memandang wajahnya yang cantik. Aku lebih tertarik melihat simbol persekutuan yang dikhianatinya berada di pergelangan tangannya.

“Aku datang menawarkan kerja sama,” ujarnya kala itu di balik nada sinisnya.

Dan, pemimpin utama kami menggeleng khitmad. “Siapa kau dengan lancangnya mengajakku ikut bergabung? Tidak ada yang dengan lancangnya menyeretku gabung.”

“Dasar sombong,” keluh wanita itu. “Kalau begitu aku menantangmu mendapatkan Red Circle. Sebaik apa penampilan kalian dalam mendapatkan benda itu.”

Pemimpin kami terkekeh pelan tanpa mengubah ekspresinya. Dia menatap bosku, bos yang bekerja di bawah komandonya. Yang mengatur pergerakanku.

“Bukankah kami memiliki cara yang lebih sederhana?” tanya pemimpin kami pada bosku.

Bosku membalas tatapan itu sambil mencebikkan bibir. “Ya. Kami tidak perlu bantuanmu. Dan, kami terima tantanganmu.”

Wanita asing itu menunjukkan senyuman miring. Lantas berbalik badan melenggang acuh diikut antek-anteknya yang lain. Setelah dia menghilang di balik pintu, pemimpin kami berdehem pelan.

“Aku memerintahkan kalian untuk mencari informasi keberadaan Red Circle dari gadis ini. Dia anak si pembuat Red Circle.” Pemimpin kami menyerahkan selembar foto pada bosku. Lantas melirikku penuh arti.

Melalui lirikan itu aku menyadari bahwa dia sangat mengandalkanku mencari informasi melalui gadis ini. Sampai akhirnya diserahkannya foto itu untukku. Ada dua hal yang terjadi setelah foto itu sampai di tanganku. Barbara berdehem dan aku tersentak.

“Tidak. Jangan libatkan dia,” ujarku.

“Kau mengenalnya, Nak?” Sang pemimpin menatapku sambil tersenyum miring.

Barbara berdehem lagi. “Bagaimana dia tidak mengenal pacarnya sendiri?”

Aku meremas foto itu, melemparnya di atas meja, kemudian berdiri gusar. “Aku tidak akan melibatkannya.”

“Tapi informasi keberadaan Red Circle ada padanya. Kami tidak menemukan lokasi orangtuanya berada, Justin.” Bosku menekankan nadanya sangat tajam. Rambut pirangnya disibak ke belakang. Diraihnya sebatang rokok, lantas menyalakannya sambil tak melepas tatapannya untukku. “Bawa dia pada kami.”

Aku menggeleng cepat. Mana mungkin aku mengumpankan seseorang yang sangat berarti bagiku? “Aku akan keluar dari sini kalau kalian memaksaku.”

Bosku tertawa sinis. Dia menyundutkan rokoknya pada asbak. Kemudian menodongkan sebuah pistol tepat ke arahku. “Berarti kau memilih mati.”

Barbara melirikku. Disenggolnya tubuhku dan bibirnya bergerak memberikan ucapan ‘Turuti saja perintahnya, bodoh’. Aku mengerang kesal, menendang kursi di dalam ruang pertemuan itu, namun akhirnya menyerah pada keputusan.

Saat itulah aku tahu bahwa menjadi seseorang sepertiku memang membutuhkan resiko besar. Aku tak pernah berpikir sedalam itu. Mereka berhasil mengendus keberadaan Alexis. Mana kutahu kalau Alexis ternyata anak penemu Red Circle itu. Aku telah menariknya ke dalam bahaya. Sekarang tak ada yang perlu kusesali mengingat seluruh rekaman tersebut dalam memori otakku.

“Kau baik-baik saja?” Barbara mengagetkanku seraya menyenggol bahuku, membuatku sadar dari lamunan seperti tadi.

Aku menarik napas dalam-dalam. “Hanya teringat sesuatu.”

Red  Circle (ON HOLD)Where stories live. Discover now