Bagian Tiga - Red Circle?

Start bij het begin
                                    

Aku menelengkan kepalaku ke satu sisi sebagai tanda tanya.

“Nak, perlu kauketahui bahwa kebanyakan orang lebih takut pada singa daripada berhasil menjinakkannya.” Dr. Mandingo berkedip sekali. Sebelum aku bertanya apa maksud kalimat itu, Dr. Mandingo berdiri, lantas menunjuk ke sebuah arah. “Naiklah ke lantai dua. Kau bisa pilih sendiri letak kamarmu. Kau perlu istirahat setelah perjalanan lama dari Lakewood ke Pennsylvania. Lagipula kau membutuhkan waktu usai kejadian itu.”

Aku mengerjapkan mataku, memandang pria tua tersebut yang melenggang menjauhiku. Sejenak, kupikirkan kembali ucapannya baru saja. Mengenai sebuah filosofis sederhana, yang membandingkan antara singa dan manusia. Aku belajar banyak hal soal kode, dari ayah dan ibuku ketika mereka masih berkumpul. Namun soal filosofis, sepertinya itu adalah hal tersulit dalam hidupku. Aku bukan filsuf. Aku masuk di jurusan Hukum. Tentu saja aku tidak terlalu mengerti perihal kalimat yang diantar seperti itu.

Atau itu bukanlah kalimat filosofis, melainkan sebuah kode?

Justin’s Point of View

 Untuk yang terakhir kalinya aku mengecek barang-barang sebelum meninggalkan tempat ini. Sepertinya tak ada yang tertinggal. Seluruh perlengkapan bersenjataku seperti biasa, kumasukkan ke dalam kopor besar di samping kopor bajuku. Kulihat sebentar selembar foto yang diberikan bos padaku. Bagaimana bisa aku mencari target apabila yang diberikan hanyalah selembar foto bayi? Oke, itu foto lama. Dan, sekarang usia targetku sudah berkisar sembilan belas tahun. Patokanku adalah tanda lahirnya. Dengan bantuan GPS aku berhasil melacak keberadaannya setelah menemukan data terlengkap targetku itu.

Barbara menengok kamarku di balik pintu. Diamatinya seluruh barang yang telah kupersiapkan.

“Kau yakin akan bergerak sekarang?” tanyanya skeptis.

Sambil mengisi peluru di salah satu pistolku, aku menimpali, “Ya. Bukankah bos sudah menyuruhku bergerak?” Kuletakkan kembali pistol Walther P99 yang menjadi senjata favoritku ke dalam kopor tempat penyimpanan senjata.

“Jadi, kita berdua akan pergi sekarang juga?”

“Kita berdua?” ulangku.

Barbara memutar bola mata kesal. “Kau kira aku akan meninggalkanmu sendirian melakukan pencarian anak itu? Tentu saja aku akan ikut. Ingat kan komitmen kita? Kau pergi, aku pergi.”

Kuhela napas panjang sambil duduk di atas ranjangku. Sebenarnya tak masalah kalau Barbara ikut. Tapi aku tidak mau melibatkannya ke dalam masalah ini. Cukup aku saja yang melakukan misi beresiko seperti sekarang. Sudah lama Barbara kulibatkan, masuk bersama puluhan kasus yang kutimbulkan. Meskipun dia juga setia pada bos, aku tak ingin dia lebih dikecam bahaya. Dia sahabatku. Dari aku berumur dua belas tahun, setelah ibuku mati ditembak ayahku, aku sudah bersama Barbara.

Dengan langkah penuh ketukan, Barbara mendekatiku. “Aku tidak membutuhkan persetujuanmu. Sudah kukemasi barang-barangku. Paspor, uang, semuanya.”

Kulirik dia di balik sorot mataku yang menukik tajam. Aku berdiri berhadapan dengannya. Lantas kutampar dia. Ditatapnya aku seraya menggenggam tangannya kesal. Well, Barbara paling anti kalau sudah kutampar. Dengan gerakan gesit, Barbara berusaha memukulku, tapi aku menangkis tangannya, sampai kuputar tubuhnya dan memiting lengannya. Kudorong dia jatuh di atas ranjang dengan pipi yang menempel di sprei, meringis kesakitan.

“Kalau begini saja kau lengah, aku tidak yakin kau selamat bersamaku.”

Barbara menerjang tubuhku. Kemudian tangannya meraihku, mencengkeram kerah jaketku, dan mendorongku sampai tubuhku terjebak di tembok.

Red  Circle (ON HOLD)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu