Chapter 9 - Opportunity

3.6K 287 1
                                    

Gerald

Sudah hampir dua minggu gue sejak Sonya nolak gue. Hubungan gue sama dia balik kaya dulu lagi. Bahkan dulu lebih baik. Setidaknya biarpun Sonya super judes ke gue, kita masih ngomong.

Sekarang?

Ngomong aja super jarang. Sonya bener-bener menghindari gue. Kalau ada yang perlu diomongin paling cuma masalah kerjaan dan Sonya lebih milih berkomunikasi lewat email daripada ngomong langsung.

We are so close yet we are so far. Sedih banget kan?

Gue cuma bisa mandangin dia dari jauh. Dan rasanya sakiiiiiiittttt banget.

Gue ketemu dia lima hari seminggu. Satu kantor. Satu divisi. Satu ruangan pula!

Mending kalau nggak ketemu, ini harus ketemu gimana gue mau move on coba?

Gue super mellow akhir-akhir ini. Gue nggak mau liat Sonya tapi gue juga pengen liat dia. Pusing kan lo? Apalagi gue.

"Ger, lo dipanggil sama Pak Tristan tuh ke ruangannya," kata Vivi yang bikin gue langsung bangun dari 'tidur siang' gue.

"Dipanggil kenapa?" tanya gue was-was.

"Tau tuh. Semoga lo nggak dipecat ya, Ger," canda Vivi yang bikin gue sebal.

Emang sih gue lagi super galau akhir-akhir ini tapi bukan berarti kerjaan gue nggak beres. Gue selalu profesional dan nggak mau mencampuradukkan masalah pekerjaan dan pribadi.

Justru semakin gue galau, semakin gue gila kerja biar nggak galau.

Tapi tetep aja gue was-was. Terakhir kali gue dipanggil Pak Tristan gue ditegur karena kerjaan gue nggak rapi. Tapi itu tiga bulan yang lalu. Selama ini kerjaan gue selalu beres.

Dan begitu gue sampai di ruangan Pak Tristan, disana juga ada Sonya yang duduk dengan wajah lesu.

Semoga ini bukan pertanda buruk.

Sonya

"Kenapa harus saya, Pak?" tanyaku lemas kepada Pak Tristan.

Sebenarnya aku paling anti memilih-milih tugas. Tugas apapun yang diberikan oleh atasan pasti kukerjakan tanpa banyak bertanya. 

Tapi tidak kali ini.

Pak Tristan minta aku untuk pergi meninjau produk baru yang baru dikeluarkan dan sosialisasi kepada tim di kantor cabang di Bandung.

Sebenarnya tidak terlalu masalah. Lagipula hanya tiga hari termasuk waktu perjalanan. 

Dan selama ini Pak Tristan sudah berbaik hati untuk tidak sering-sering mengirimku dinas karena dia tahu aku punya anak. 

Yang menjadi masalah adalah karena aku harus pergi bersama orang yang sangat aku hindari saat ini.

Gerald.

"Karena kamu project manager nya. Dan kamu yang paling tau tentang produk ini." 

"Tapi kenapa saya tidak pergi dengan Niken atau Denny? Mereka kan juga terlibat banyak dalam proyek ini. Gerald justru tidak tau banyak," tanyaku masih memberi alasan.

"Justru saya ingin kamu pergi dengan Gerald supaya dia belajar. Selama ini dia hanya berurusan dengan masalah di kantor pusat. Kamu sepertinya cukup kewalahan makanya saya suruh Gerald bantu kamu," jelas Pak Tristan dengan nada sabar walaupun wajahnya menunjukkan rasa heran. Selama ini aku tidak pernah mempermasalahkan dengan siapa aku bekerja atau dikirim dinas.

Aku masih berusaha mencari alasan untuk tidak pergi, ataupun kalau pergi, aku tidak pergi dengan Gerald. Siapa saja boleh asal bukan Gerald. 

Belum sempat aku memberikan alasan lagi, Gerald datang. Kemudian Pak Tristan menjelaskan bahwa ia akan ditugaskan ke Bandung bersamaku selama tiga hari.

Aku berdoa dalam hati supaya Gerald menolak.

"Kenapa harus saya, Pak?" tanyanya bingung.

"Ya ampun kalian ini jodoh ya? Jawabannya sama persis!" ujar Pak Tristan sambil tertawa tanpa menyadari suasana tidak bersahabat di antara aku dengan Gerald.

"Maksud saya, saya kan tidak tau apa-apa tentang proyek ini nanti bukannya membantu malah menambah kerjaan buat yang lain," jelas Gerald.

"Iya makanya saya suruh kamu ikut biar tau sekalian bantuin Sonya. Kamu masih punya waktu dua minggu untuk belajar. Minta Sonya kasih file nya ke kamu. Sonya, kamu bantu Gerald ya."

"Tapi, Pak...," ujarku dan Gerald bersamaan.

"Nggak ada tapi-tapi. Sudah sana keluar. Saya mau meeting. Jangan lupa minta sekretaris saya untuk booking mobil kantor jadi di Bandung kalian tidak usah pusing urus transportasi," tegas Pak Tristan dengan nada final yang tidak bisa dibantah lagi.

Gerald

Gue nggak tau harus senang atau sedih setelah keluar dari ruangan Pak Tristan.

Gue kan mau move on dari Sonya, kenapa sih kayanya nggak ada yang dukung?

Dulu mau ngedeketin dia susahnya minta ampun. Usaha biar dikirim dinas bareng nggak pernah kesampean. Sekarang giliran mau ngejauh malah disuruh pergi dinas bareng.

Walaupun gue ngerasa makin canggung sama Sonya, tapi sebenernya gue seneng bisa pergi berdua sama dia. 

Siapa tau kan tiba-tiba Sonya berubah pikiran dan akhirnya menyesal udah nolak gue.

Dan gue langsung menyusun strategi. Plan A gagal, masih ada plan B.

Bandung, here I come!



BrokenWhere stories live. Discover now