Chapter 1 - Madly

12.3K 485 6
                                    

Sonya

Aku melirik jam tanganku  dengan cemas. Setengah jam lagi baru aku bisa pergi makan siang. Dan siang ini terpaksa aku tidak makan siang lagi. Guru TK Glenn meneleponku  10 menit yang lalu dan memintaku menjemput Glenn. Glenn habis memukul temannya lagi. Aku tidak habis pikir apa yang sedang terjadi pada Glenn. Ia bukanlah anak yang suka memukul. Tapi setiap kali aku bertanya apa alasannya memukul temannya, ia tidak pernah memberi alasan yang jelas.

Salah satu artikel yang kubaca dari google berkata bahwa anak seumuran Glenn memang sedang bandel-bandelnya. Ia akan mempraktekkan apapun yang ia lihat. Aku sudah memastikan Glenn tidak pernah menonton acara televisi yang berisi kekerasan. Dan ini membuatku frustrasi karena sudah dua bulan terakhir, Glenn selalu membuat masalah di sekolahnya dan itu mengganggu pekerjaanku. Aku harus menjemput Glenn di sekolah yang berarti aku harus izin pulang cepat. Untungnya, atasanku sangat baik. Ia mengerti betapa sulitnya menjadi single mom.

Di usiaku yang baru 26 tahun, aku sudah mempunyai satu anak berumur empat tahun. Cerita kehidupan pernikahanku yang sebelumnya sangat panjang dan menyakitkan. Aku tidak ingin mengingat-ingat masa lalu lagi.

"Son, udah jam makan siang nih. Makan bareng yuk," ajak Niken, teman satu kantorku. Biasanya kami selalu makan siang bersama.

"Aduh maaf banget Nik. Aku mesti ke sekolah Glenn nih. Dia berantem lagi," ujarku memelas karena akhir-akhir ini aku sibuk dengan urusan kantor dan masalah Glenn sehingga aku selalu berhalangan setiap kali diajak makan siang bareng oleh Niken.

"Ya ampun Glenn berantem lagi?" tanya Niken kaget. Niken sangat sayang pada Glenn. Sebagai sahabatku, Niken cukup sering main ke rumah dan ia selalu membawa makanan untuk Glenn dan meluangkan waktu untuk bermain dengan Glenn. Aku merasa bersyukur bisa mendapat sahabat sebaik Niken. Dia bukan hanya perhatian kepadaku tapi juga kepada Glenn.

"Iya, Nik. Aduh aku nggak ngerti kenapa dia berantem mulu," ujarku sambil mengambil tasku dan bersiap-siap menjemput Glenn.

"Namanya juga masih anak-anak. Yaudah kalo gitu hati-hati. Titip peluk dan cium dari Tante Niken."

"Makasih ya Nik. Semua kerjaanku udah beres kok. Kalo Pak Tristan nanya, cari aja di folder biasa di komputerku." Aku melambaikan tangan dan segera bergegas pergi.

Tapi hari itu, entah kenapa angkot yang biasa kutumpangi jarang sekali lewat. Sekalinya lewat, sudah penuh. Kalau naik taksi, boros. Perjalanan ke sekolah Glenn sebenarnya tidak terlalu jauh tapi macetnya itu aduh sudah pasti ongkos taksi membengkak.

"Mau kemana?" Tanpa perlu melihat ke belakang, aku sudah tahu suara milik siapa itu.

Gerald. Teman kantorku yang sangat menyebalkan sedang duduk di belakang kemudi mobil mewahnya.

"Pergi," jawabku sekenanya. Dari semua tipe laki-laki, aku paling membenci tipe laki-laki seperti Gerald. Tipe penggoda dan bermulut manis.

"Iya, aku juga tau kamu mau pergi. Mau kemana? Mau nebeng nggak?" tanya Gerald lagi, pantang menyerah. Dari pertama kali kenal sampai sekarang sudah hampir dua tahun, Gerald masih saja mau beramah-tamah denganku padahal setiap hari aku sangat jutek padanya.

"Nggak perlu," ujarku memberinya tatapan sedatar mungkin.

"Aku liatin kamu belum dapet angkot dari tadi. Mau sekalian bareng aja nggak?" Dan di tengah teriknya sinar matahari, melihat Gerald tersenyum manis dengan lesung pipinya membuatku semakin kesal.

Dia sudah tahu statusku sebagai janda beranak satu, tapi masih saja menggodaku terus-menerus. Aku tidak pernah menutupi statusku sebagai janda yang sudah punya anak di kantor. Malah dengan sengaja aku memasang fotoku bersama Glenn di meja kantor. Para lelaki yang awalnya mendekatiku bergerak mundur perlahan tapi pasti setelah mengetahui statusku.  Tapi tidak dengan Gerald.

BrokenWhere stories live. Discover now