The Last Race END

391 23 1
                                        

beberapa tahun kemudian.
Lintasan balap malam itu dipenuhi gemuruh ribuan penonton. Sorak sorai, kamera yang berkilat, dan bendera tim berkibar di udara. Nicolas Partigon, si pembalap kebanggaan Eropa, bersiap dengan tatapan dingin di balik helm hitamnya. Balapan ini Grand Prix Eropa menjadi salah satu paling bergengsi sepanjang kariernya.

Di tribun VIP, Elliot duduk dengan gelisah. Tangannya bergetar saat menggenggam foto kecil di dalam saku jasnya foto Nicolas bersama bayi laki-laki berusia satu tahun, Bentry. Elliot selalu membawa foto itu ke manapun, seakan menjadi jimat kecil yang menjaga ketenangan hatinya.

“Aku punya firasat buruk,” Elliot bergumam, matanya terus menatap ke arah lintasan.

Salah satu kru Nicolas menepuk bahunya, mencoba menenangkan. “Tenang saja, Elliot. Nicolas sudah melakukan ini ribuan kali. Dia juara dunia. Dia tahu apa yang dia lakukan.”

Tapi Elliot tidak bisa tenang. Ia selalu merasa, semakin tinggi Nicolas terbang, semakin besar pula risiko jatuhnya.

---

Lap demi lap berjalan mulus. Nicolas memimpin, mobil hitamnya melesat seperti peluru di tengah kerumunan warna-warni mobil lawan. Elliot menatap layar besar, matanya tak berkedip. Jantungnya berdegup cepat.

Hingga akhirnya, di lap terakhir… sesuatu terjadi.

Salah satu ban mobil Nicolas tiba-tiba kehilangan grip ketika ia mencoba mengambil tikungan tajam dengan kecepatan penuh. Dalam hitungan detik, mobilnya kehilangan kendali.

BRUUAAAK!

Suara hantaman logam menghantam pagar pembatas memenuhi arena. Api kecil meletup, percikan menyebar. Penonton berteriak histeris. Layar besar menampilkan mobil Nicolas yang hancur, asap putih mengepul dari mesin.

“NO! NICOLAS!” Elliot berteriak, tubuhnya gemetar.

Ia berlari dari tribun menuju pit stop, menerobos orang-orang yang mencoba menahannya. “LET ME THROUGH! Itu suamiku!” Elliot menangis, suaranya pecah.

Tim medis sudah lebih dulu tiba. Mereka menarik Nicolas keluar dari mobil yang ringsek. Helmnya terlepas, wajahnya pucat, darah mengalir dari pelipis. Tubuhnya terkulai lemah.

“Stay with me, Nick…” Elliot berlutut di samping tandu, menggenggam tangan Nicolas yang dingin. Air matanya jatuh membasahi sarung tangan balap itu. “Don’t you dare leave me… please…”

Tapi Nicolas tak memberi respon.

---

Rumah Sakit London – ICU

Elliot duduk di kursi tunggu, wajahnya kusut karena kurang tidur. Sudah seminggu Nicolas terbaring koma. Selang dan mesin monitor menghubungkan tubuh atlet itu dengan kehidupan. Setiap detik berbunyi beep beep monoton, membuat dada Elliot semakin sesak.

Setiap hari, Elliot datang bersama Bentry. Bayi itu duduk di pangkuan, sering kali meraih tangan ayahnya yang diam, seakan mencoba membangunkannya.

“Papa tidur terus, ya?” Elliot berbisik sambil mencium kepala Bentry. “Bangunin Papa, sayang. Biar dia lihat betapa gantengnya kamu hari ini.”

Elliot lalu menatap Nicolas, air mata kembali jatuh. “Nick… you promised me. Kamu janji mau lihat Bentry tumbuh besar, kan? Kamu janji mau ada di sini. Please, wake up…”

Hari-hari berlalu. Minggu pertama, lalu minggu kedua, hingga minggu keempat. Nicolas tidak pernah membuka mata.

---

Hari itu datang tanpa peringatan.
Pagi yang dingin, Elliot datang membawa Bentry seperti biasa. Namun kali ini, suasana ruang ICU berbeda. Para dokter dan perawat bergerak cepat, suara mesin monitor meraung panjang.

“Flatline! Prepare defibrillator!”

Elliot panik. “No… no, please no!” Ia menjerit, berusaha mendekat, namun tubuhnya ditahan. “Nicolas! Please fight, love! For me… for Bentry! Don’t leave us!”

Dokter mencoba sekali, dua kali. Namun garis monitor tetap lurus.

Akhirnya, salah satu dokter menatap Elliot dengan tatapan penuh duka. “We’re… sorry.”

Dunia Elliot runtuh seketika.

---

Pemakaman Nicolas Partigon.
Langit London mendung, seakan ikut berduka. Ratusan orang datang pembalap, kru tim, sponsor, fans, bahkan media. Namun bagi Elliot, semua itu hanya kabur di matanya.

Ia berdiri di depan peti mati hitam dengan hiasan bendera balap, Bentry dalam gendongannya. Bayi itu sesekali tertawa kecil, belum mengerti bahwa dunia barunya baru saja kehilangan sosok terpenting.

“Nick…” Elliot berbisik lirih, air matanya jatuh membasahi pipi Bentry. “Aku nggak tahu gimana caranya jalan tanpa kamu. Tapi aku janji… aku akan kuat. Buat anak kita. Buat Bentry.”

Ia menyentuh peti mati itu. “Rest easy, love. You’ll always be with us. Always.”

---

Satu Tahun Setelahnya.

Apartemen kecil di pinggiran London kini menjadi rumah bagi Elliot dan Bentry. Dindingnya penuh dengan foto-foto Nicolas saat di podium, saat tersenyum lepas, dan foto terakhir mereka bertiga.

Bentry kini berusia dua tahun. Rambutnya hitam, matanya tajam persis Nicolas. Setiap kali Elliot menatapnya, ia seperti melihat Nicolas hidup kembali.

Malam itu, setelah menidurkan Bentry, Elliot duduk di balkon dengan segelas teh. Ia menatap bintang-bintang, lalu bergumam pelan.

“Nick… he’s just like you. Keras kepala, susah diem, tapi… penuh cahaya.”

Air matanya mengalir, namun kali ini ia tersenyum. “Aku janji akan kasih dia semua cinta yang seharusnya kamu kasih. Tapi aku tahu… kamu tetap di sini, dalam setiap tawa Bentry.”

Angin malam berhembus pelan, seakan menjawab.

Dan Elliot percaya, entah bagaimana, Nicolas tetap menjaga mereka dari atas sana.

ALL DONE AND THANK YOU, THIS IS THE END OF THE STORY.




















































ga ya ini bukan end cerita kok :)  udah end guys ya itu kan ada tulisan end di judulnya, ini tuh cuman kaya what if aja.

Between the Track and the Waves • Williamest [END]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz