17

303 25 0
                                        

Suasana paddock balapan sore itu ramai. Deru mesin mobil balap, teriakan mekanik, aroma bensin bercampur keringat para kru semuanya jadi simfoni khas dunia Nicolas Partigon. Ia duduk di kursi lipat, masih mengenakan racing suit setengah terbuka, membiarkan dada bidangnya sedikit terlihat. Helm tergeletak di samping, keringat menetes di pelipis.

Namun, mata tajam Nicolas sama sekali tak fokus pada persiapan balapan. Ia menatap ke arah lain, ke sudut paddock tempat Elliot berdiri bersama teman-temannya Pergas, Benz, dan Channarong. Elliot tampak tertawa lepas, wajahnya bercahaya meski udara panas. Senyumnya itu sial, membuat Nicolas hampir kehilangan kendali.

Yang membuat Nicolas semakin terbakar adalah kenyataan bahwa Elliot terlalu dekat dengan Benz. Cowok Thailand-Amerika itu berdiri tepat di samping Elliot, bahkan sempat menepuk pundaknya sambil bercanda. Elliot menunduk, tertawa lagi.

Rahang Nicolas mengeras. Tangannya mengepal, sampai Kevin salah satu teman baiknya menyadari perubahan ekspresi itu.

“Bro, jangan bilang lo cemburu,” bisik Kevin sambil menepuk bahu Nicolas.

“I’m not jealous.” Jawaban Nicolas singkat, dingin. Tapi nadanya terlalu tegas untuk sekadar penolakan biasa.

Kevin hanya mendengus, melirik sekilas ke arah Elliot. “Keliatan banget, Nic. Kalau lo nggak hati-hati, lo bisa kalah fokus di race nanti.”

Nicolas mendengus, mencoba mengalihkan pandangan. Tapi entah kenapa, setiap kali Elliot tertawa, dadanya seperti ditusuk. Ada dorongan primitif untuk bangkit, menarik Elliot menjauh, dan berteriak ke semua orang bahwa Elliot miliknya.

---

Elliot sebenarnya menyadari tatapan tajam Nicolas dari jauh. Ia bisa merasakannya seperti listrik yang mengalir di udara. Tapi ia sengaja tak menoleh, mencoba bersikap natural. Bukan karena ia tak peduli, melainkan karena Elliot tahu Nicolas mudah terbakar cemburu.

“Lo serius udah deket sama dia?” tanya Benz sambil menyenggol lengan Elliot, nada suaranya menggoda.

Elliot sedikit tersedak. “Apaan sih, Benz? Gue cuma… ya kenal aja.”

“Kenal doang tapi sering ketemu? Come on, El. Gue udah denger gosip kalau lo sama dia itu-” Benz belum sempat melanjutkan karena Elliot buru-buru menyikutnya.

“Stop, Benz. Nggak lucu.” Suara Elliot terdengar lebih tegas dari biasanya.

Pergas dan Channarong saling melirik, jelas menangkap bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar gosip.

---

Balapan dimulai. Sorak penonton menggema. Nicolas menginjak pedal gas, mobilnya melesat seperti peluru. Semua fokusnya kini hanya pada trek namun di benaknya, bayangan Elliot bersama Benz terus menghantui.

Lap demi lap, Nicolas semakin agresif. Ia menyalip lawan dengan kecepatan gila, ban mobil hampir kehilangan grip di tikungan. Kevin yang menonton dari paddock sampai mengumpat.

“Nic gila banget hari ini… dia nyetir pake emosi,” gumam Kevin khawatir.

Dan benar saja di lap terakhir, Nicolas hampir kehilangan kendali. Mobilnya sempat tergelincir, membuat penonton menahan napas. Untung refleksnya cepat, ia berhasil menstabilkan kembali dan tetap finish pertama.

Suara gemuruh penonton memenuhi arena. Nicolas keluar dari mobil, keringat bercucuran, tapi ekspresinya muram. Ia tidak merayakan kemenangan. Matanya langsung mencari Elliot.

---

Elliot berdiri di pinggir paddock, masih bersama Benz. Saat sorak penonton bergema, Benz otomatis merangkul Elliot, menariknya dalam pelukan singkat sambil berseru, “Nicolas menang lagi! Gila, itu balapan paling keren!”

Pelukan itu singkat, tapi cukup membuat darah Nicolas mendidih.

Ia berjalan cepat, tanpa peduli pada wartawan yang ingin wawancara atau kru yang berusaha menahannya. Pandangannya hanya lurus ke Elliot.

“Elliot.” Suaranya berat, hampir seperti geraman.

Elliot tersentak, melepaskan diri dari pelukan Benz. “N-Nic…”

Tanpa peringatan, Nicolas menarik pergelangan tangan Elliot. Semua orang di sekitarnya menoleh, beberapa teman Elliot bahkan melongo kaget.

“Nic, tunggu! Gue bisa jalan sendiri-” protes Elliot, tapi tarikan Nicolas terlalu kuat.

Ia menyeret Elliot ke area belakang paddock yang sepi, jauh dari kerumunan. Begitu sampai, Nicolas mendorong Elliot ke dinding dengan sedikit kasar, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Elliot.

“What the hell was that?” Nicolas menatap tajam, napasnya berat.

Elliot terdiam, jantungnya berdebar kencang. “Apa maksud lo?”

“Don’t play dumb with me, Elliot. Gue liat sendiri lo dipeluk sama Benz. Are you kidding me?”

“Itu cuma pelukan biasa! Benz temen gue, Nic!” Elliot balas dengan suara meninggi.

Nicolas mendekat lebih jauh, sampai dada bidangnya menempel pada tubuh Elliot. “Biasa? Kalau temen biasa nggak perlu segitunya. Gue hampir nabrak di trek gara-gara lo!”

Elliot menatapnya dengan campuran marah dan bingung. “Jangan salahin gue kalau lo nggak bisa fokus! Itu masalah lo, bukan gue.”

Nicolas mengetukkan keningnya ke dinding tepat di samping kepala Elliot, suaranya semakin rendah. “Masalah gue adalah… gue nggak bisa liat lo sama orang lain. Gue gila setiap kali lo senyum ke cowok lain.”

Kata-kata itu membuat Elliot terdiam. Ada bara api dalam dada Nicolas yang benar-benar nyata, begitu intens sampai Elliot tak bisa menolak getaran perasaannya sendiri.

“Nic…” suara Elliot bergetar, antara ingin melawan dan menyerah.

Nicolas menatap mata Elliot dalam-dalam, rahangnya menegang. “You’re mine, Elliot. Only mine.”

Dan sebelum Elliot sempat membalas, Nicolas sudah menutup bibirnya dengan ciuman penuh amarah. Bukan ciuman lembut tapi kasar, mendesak, seolah Nicolas ingin menandai Elliot di depan seluruh dunia.

Elliot berusaha mendorong di awal, tapi tubuhnya lemah menghadapi intensitas itu. Ia menyerah, membiarkan Nicolas menguasai, membiarkan ciuman itu membakar seluruh sarafnya.

Sampai akhirnya, Elliot menepis dada Nicolas dengan keras, memutus ciuman. Nafas keduanya terengah.

“Lo gila…” bisik Elliot, mata berkaca-kaca.

“Ya. Gue gila… tapi cuma karena lo.” Nicolas menyentuh pipi Elliot dengan jemarinya, kali ini lebih lembut. “Don’t make me lose control, El. Gue nggak akan biarin orang lain punya lo.”

Elliot menggigit bibir, hatinya berperang antara marah dan… rasa hangat aneh yang makin sulit ia tolak.

---

Di kejauhan, Benz yang tadi sempat mengikuti, hanya bisa berdiri membeku. Ia melihat semua adegan itu bagaimana Nicolas mencium Elliot dengan brutal, bagaimana Elliot tak benar-benar menolak.

Benz menunduk, meremas tangannya sendiri. So, it’s true… Elliot’s already his.

---

Sementara itu, Nicolas menatap Elliot yang masih terdiam, wajahnya merah padam. Ia tersenyum tipis, senyum arogan bercampur obsesi.

“Gue kasih lo waktu buat mikir, Elliot. Tapi inget… pilihan lo cuma satu, gue.”

Elliot menunduk, mencoba menyembunyikan perasaan kacau yang berkecamuk di dadanya.

Hujan mulai turun lagi di luar arena. Dan untuk pertama kalinya, Elliot benar-benar merasa dia tak lagi punya jalan untuk lari dari Nicolas Partigon.

Between the Track and the Waves • Williamest [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant