Shadows and Sparks

223 19 0
                                        

London sudah mulai memasuki musim gugur. Angin pagi menusuk tulang ketika Elliot berjalan keluar dari apartemen Nicolas. Ia masih memakai hoodie hitam yang dipinjam dari lelaki itu semalam, rambutnya berantakan, wajahnya sedikit lelah. Tapi ada sesuatu di matanya campuran rasa takut, bingung, sekaligus… bahagia.

Dia berdiri sebentar di depan gedung tinggi itu, menatap ke atas jendela apartemen Nicolas yang kini sudah redup. Hatinya berdebar. Apa aku benar-benar sudah menyerahkan diriku pada dia?

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.

Michael: Kau di mana? Kita harus bicara. Urgent.

Elliot terdiam. Michael teman masa kecilnya, sekaligus orang yang selama ini selalu ada di sisinya akhir-akhir ini sering curiga. Elliot tahu cepat atau lambat rahasianya dengan Nicolas akan terbongkar.

Dengan berat hati, ia mengetik balasan singkat.

Oke, kita ketemu sore ini di café dekat kampus.

---

Siang Hari di Kampus

Elliot duduk di bangku taman kampus, berusaha fokus pada buku catatan, tapi pikirannya terus melayang pada kejadian semalam. Bayangan tatapan mata Nicolas, genggaman tangannya yang erat saat tidur, dan kata-katanya: You’re mine, Elliot.

Deg. Hatinya kembali bergetar.

“Elliot!”

Suara Michael terdengar. Elliot menoleh, melihat lelaki itu berjalan mendekat dengan ekspresi serius. Michael memang beda lebih kalem, lebih rasional. Tidak seperti Nicolas yang penuh badai.

“Kamu kenapa akhir-akhir ini selalu menghilang?” tanya Michael langsung, tanpa basa-basi. “Aku tahu kamu lagi dekat sama seseorang. Siapa dia?”

Elliot tercekat. Ia ingin berbohong, tapi sorot mata Michael menuntut kejujuran.

“Aku… lagi kenal sama seseorang,” jawabnya hati-hati.

Michael menatapnya lama, lalu menghela napas. “Aku harap dia bukan orang yang salah buat kamu.”

Kalimat itu menusuk. Elliot tahu betul kalau Michael pasti akan menentang kalau tahu siapa lelaki itu sebenarnya.

---

Sore itu Nicolas punya jadwal latihan balap. Arena di pinggiran kota dipenuhi suara mesin menggelegar. Elliot datang diam-diam, berdiri di pinggir lintasan sambil menyaksikan Nicolas melaju dengan mobil hitamnya.

Lelaki itu tampak seperti raja di jalannya sendiri. Fokus, penuh energi, dan tak terkalahkan. Elliot tidak bisa menahan senyum kecil. Dia memang gila… tapi dia luar biasa.

Ketika latihan selesai, Nicolas langsung berjalan ke arah Elliot, keringat menetes di wajahnya tapi senyumnya penuh kemenangan. “Kamu datang.”

Elliot mengangguk kecil. “Aku cuma mau lihat kamu latihan.”

Nicolas meraih pinggangnya tiba-tiba, menarik Elliot mendekat meski ada beberapa kru yang memperhatikan. “Aku senang kamu di sini.”

Elliot mendorong pelan dada Nicolas, wajahnya memerah. “Jangan di depan orang banyak!”

Tapi Nicolas justru tertawa kecil. “Biar semua orang tahu kamu milik aku.”

Kalimat itu membuat Elliot benar-benar kehilangan kata.

---

Tiba-tiba seseorang datang menghampiri mereka. Seorang lelaki tinggi, tampan, dengan rambut pirang sedikit panjang. Dari raut wajahnya, jelas ia bukan orang sembarangan.

“Nicolas,” sapa lelaki itu dengan nada dingin. “Sudah lama tidak bertemu.”

Nicolas langsung berubah ekspresi. Dari santai jadi waspada. “Damien…”

Elliot memandang bergantian, bingung. Siapa dia?

Damien menatap Elliot sekilas, lalu kembali pada Nicolas. “Jadi ini alasan kenapa kamu menolak tawaran kerjasama kita? Karena sibuk main-main dengan… anak manis ini?”

Elliot membeku. Lelaki itu mengatakannya dengan nada merendahkan.

Nicolas langsung maju setengah langkah, menatap Damien tajam. “Jaga ucapanmu. Dia bukan urusanmu.”

Damien tersenyum sinis. “Semua yang menyangkut kamu adalah urusanku, Nic. Jangan lupa siapa yang dulu pernah menolongmu waktu kariermu hampir hancur.”

Elliot semakin bingung, tapi Nicolas langsung meraih tangannya, menarik Elliot pergi. “Kita pulang.”

---

Malam di Apartemen Nicolas

Di apartemen, suasana jadi tegang. Elliot akhirnya tidak tahan.

“Nic, siapa Damien itu? Kenapa dia bisa ngomong seenaknya soal aku?”

Nicolas terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Dia… dulu rivalku sekaligus orang yang pernah jadi rekan balap. Kami pernah sangat dekat, tapi dia pengkhianat. Dia mencoba menjatuhkan aku dengan cara kotor. Dan sekarang, dia muncul lagi.”

Elliot menatap Nicolas lama. “Kamu yakin dia nggak akan ganggu aku?”

Nicolas mendekat, menangkup wajah Elliot. “Selama aku di sini, nggak ada yang bisa ganggu kamu. Aku janji.”

Sorot mata itu begitu serius, membuat Elliot ingin percaya. Tapi di sudut hatinya, ada rasa takut yang sulit dihapuskan.

---

Malam semakin larut. Elliot berbaring di ranjang, sementara Nicolas duduk di sampingnya, masih sibuk dengan ponselnya.

“Kamu nggak takut aku pergi, Nic?” tanya Elliot tiba-tiba.

Nicolas menoleh, menatap dalam. “No. Karena aku tahu kamu nggak bisa jauh dariku.”

Elliot menelan ludah. “Kamu terlalu percaya diri.”

Nicolas tersenyum kecil, lalu mendekat hingga wajah mereka hampir bersentuhan. “Atau mungkin… aku hanya tahu kamu lebih baik dari yang kamu kira.”

Detik berikutnya, Nicolas mencium Elliot dengan lembut kali ini, berbeda dari biasanya. Ciuman itu tenang, penuh perasaan. Elliot menutup mata, membiarkan dirinya larut.

Di luar, London tertidur. Tapi di dalam ruangan itu, dua hati sedang terbakar.

---

Setelah keheningan panjang, Elliot akhirnya berbisik pelan, hampir tidak terdengar.

“Nic… kalau suatu hari aku harus memilih, aku nggak tahu apa aku bisa meninggalkan kamu.”

Nicolas tersenyum tipis, memeluknya lebih erat. “Good. Karena aku nggak akan pernah membiarkan itu terjadi.”

Dan di balik pelukan itu, Elliot menyadari dirinya semakin masuk terlalu dalam.

Between the Track and the Waves • Williamest [END]Where stories live. Discover now