Closer Than Expected

318 39 0
                                        

Udara London malam itu terasa dingin menusuk tulang, tapi jalanan kota tetap ramai. Lampu-lampu neon dari bar dan restoran di pusat kota berkilau, menambah kehidupan di tengah malam yang sudah larut. Nicolas duduk di dalam mobil sport hitamnya, jari-jarinya mengetuk setir dengan ritme pelan. Ia menatap layar ponselnya, membaca pesan terakhir yang baru dikirim Elliot.

“Aku selesai latihan renang jam 9. Kalau mau nongkrong sebentar, aku free.”

Nicolas tersenyum tipis. Tanpa pikir panjang, ia membalas cepat.

“Pick you up in 20. Don’t make me wait, swimmer.”

---

Elliot keluar dari kompleks kolam renang indoor, rambutnya masih sedikit basah meski sudah ditutup hoodie. Ia menenteng tas olahraga dan menatap sekeliling. Hatinya berdebar ketika mobil sport hitam itu berhenti tepat di depannya. Jendela mobil turun, menampakkan wajah Nicolas dengan senyum cool yang selalu membuat Elliot gugup.

“Hop in,” ucap Nicolas singkat.

Elliot membuka pintu dan masuk, wangi kulit jok mobil bercampur dengan parfum maskulin khas Nicolas langsung menyergap inderanya. Ia mencoba duduk senormal mungkin, padahal jantungnya berdegup tak karuan.

“Capek?” tanya Nicolas sambil melirik sekilas.

“Lumayan,” jawab Elliot, tersenyum kecil. “Tadi coach lumayan keras… katanya aku harus push limit lebih jauh kalau mau ikut kompetisi internasional.”

“You will make it,” balas Nicolas mantap. “I can see that fire in you.”

Kata-kata itu membuat Elliot terdiam. Ia melirik Nicolas, mendapati pria itu benar-benar serius, bukan sekadar basa-basi. Rasanya hangat, seperti mendapat pengakuan dari seseorang yang ia kagumi.

---

Mereka berhenti di sebuah café 24 jam yang tidak terlalu ramai. Tempat itu punya vibe hangat dengan lampu kuning redup, musik jazz pelan, dan aroma kopi yang menenangkan. Nicolas memilih meja di pojok, agak tersembunyi dari pandangan orang lain.

“So…” Nicolas membuka percakapan setelah mereka memesan minuman. “Tell me. Kenapa kamu suka laut begitu dalam? Aku dengar dari Pergas waktu di restoran, katanya kamu bisa habiskan berjam-jam hanya untuk duduk di tepi pantai.”

Elliot tersenyum, matanya menerawang. “Laut itu… buat aku bukan cuma air asin yang luas. Itu tempat paling jujur. Kalau aku lagi senang, laut terasa ramah. Kalau aku lagi kacau, laut bisa ganas. Tapi apapun mood aku, laut selalu nerima aku apa adanya. Laut itu rumah.”

Nicolas memperhatikannya dengan seksama. Cahaya lampu café memantul di mata Elliot yang berbinar penuh gairah saat membicarakan laut. Nicolas jarang mendengar seseorang bicara dengan passion sebesar itu.

“Beautiful answer,” gumam Nicolas. “No wonder kamu suka berenang. It’s like you’re trying to be one with the ocean.”

Elliot terkekeh, pipinya sedikit memerah. “Aku nggak nyangka seorang racer bisa ngerti filosofi aku tentang laut.”

“Well,” Nicolas mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menatap Elliot lebih dalam. “Maybe karena aku juga punya rumahku sendiri: the racetrack. Suara mesin, bau bensin, kecepatan… semuanya bikin aku merasa hidup. Sama kayak laut buat kamu.”

Elliot terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar mengerti sisi terdalam Nicolas. Bukan hanya pembalap keren yang dilihat orang-orang, tapi seorang pria yang punya “rumah” dan alasan untuk terus melaju.

---

Obrolan mereka mengalir begitu saja. Dari cerita tentang masa kecil Elliot di Thailand, sampai kenangan Nicolas pertama kali menyentuh setir mobil balap ketika berusia 15 tahun. Waktu terasa berjalan cepat.

Saat pelayan meletakkan dua gelas kopi refill di meja, Nicolas memperhatikan jam tangannya. Sudah hampir tengah malam.

“You should rest,” katanya. “Besok kamu ada latihan lagi, right?”

Elliot mengangguk, meski hatinya enggan mengakhiri malam itu. “Yeah. Tapi aku senang kita bisa ngobrol kayak gini.”

“Me too,” balas Nicolas. “I didn’t expect… to feel this comfortable.”

Elliot tersenyum kecil. “Aku juga nggak nyangka pembalap legendaris bisa ternyata asik buat diajak curhat.”

“Legendary, huh?” Nicolas terkekeh. “I’ll take that.”

---

Mereka akhirnya kembali ke mobil. Jalanan mulai sepi, hanya sedikit kendaraan yang melintas. Nicolas menyetir pelan kali ini, berbeda dengan biasanya yang selalu penuh adrenalin.

Di dalam mobil, hening cukup lama. Elliot bersandar, menatap jendela yang dipenuhi pantulan lampu jalan. Nicolas sesekali meliriknya, memperhatikan wajah pria itu yang terlihat lelah tapi damai.

Tanpa sadar, Nicolas bersuara lirih. “You look beautiful like this.”

Elliot langsung menoleh, matanya melebar. “W-what?”

Nicolas tetap fokus menyetir, seolah kalimat tadi hanya slip of the tongue. Tapi senyum tipisnya cukup membuat Elliot tahu bahwa itu bukan kebetulan.

---

Sampai di apartemen Elliot, suasana kembali awkward. Mereka berdiri di depan pintu, seperti malam sebelumnya. Elliot menatap Nicolas, mencoba berkata sesuatu, tapi mulutnya terasa kaku.

“Thanks for tonight,” kata Elliot akhirnya. “Aku… bener-bener appreciate.”

Nicolas menatapnya lama, lalu tiba-tiba mendekat. Tangannya terangkat, hampir menyentuh pipi Elliot, tapi berhenti di udara.

“I shouldn’t,” bisiknya.

Elliot menahan nafas. “Why not?”

Nicolas menunduk sedikit, wajah mereka kini hanya berjarak beberapa inci. “Because once I start, I don’t think I can stop.”

Detik itu, pintu sebelah terbuka lagi—kali ini suara berisik anak muda keluar sambil tertawa keras. Elliot dan Nicolas sama-sama tersentak, mundur cepat. Nicolas hanya menghela nafas pendek, lalu mundur selangkah.

“Good night, Elliot,” katanya singkat, suaranya terdengar berat.

Elliot mengangguk pelan, meski hatinya kecewa. “Good night, Nicolas.”

---

Begitu pintu tertutup, Elliot langsung menjatuhkan diri ke sofa. Ia menutup wajah dengan bantal, tubuhnya panas luar biasa. What the hell was that? pikirnya.

Sementara Nicolas, dalam perjalanan pulang, mencengkeram setir lebih kuat dari biasanya. Ia berusaha fokus, tapi wajah Elliot terus muncul di kepalanya.

“This is dangerous,” gumamnya. Tapi bibirnya justru membentuk senyum kecil.

---

Keesokan harinya, berita heboh muncul di media hiburan online. Paparazzi berhasil memotret Nicolas tengah malam di café, bersama seorang pria misterius berhoodie.

Headline berbunyi: “Nicolas Partigon, Racer London, Spotted with Unknown Man. Secret Relationship?”

Foto itu viral. Grup chat teman Nicolas dan Elliot langsung ramai.

Erwin: “Bro, kamu trending lagi. Tapi kali ini bukan soal race.”

Jey: “That’s Elliot, right? Gue kenal hoodie itu.”

Kevin: “Congrats, paparazzi found your ‘type’.”

Sementara di sisi Elliot

Pergas: “Bro, lu masuk berita! Itu lo sama Nicolas kan?”

Benz: “Lu gila ya ketahuan media? Jangan bikin masalah sebelum kompetisi.”

Channarong: “Hati-hati, Elliot. Nama dia besar banget. Sekali gosip bisa jadi skandal.”

Elliot menatap layar ponselnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Oh God… what now?

Between the Track and the Waves • Williamest [END]Where stories live. Discover now