The Fire and the Chains

187 18 0
                                        


Hujan masih turun deras malam itu, mengetuk jendela apartemen Nicolas seperti ribuan jarum kecil. Elliot duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada kepala ranjang, sementara Nicolas berada di balkon, menyalakan sebatang rokok yang asapnya bercampur dengan udara dingin London.

Keheningan menekan di antara mereka. Setelah peristiwa emosional tadi pertengkaran, tangisan, lalu pelukan panas Elliot merasa hatinya semakin kacau.

“Nic…” suaranya pelan, hampir tenggelam oleh suara hujan. “Aku nggak bisa terus kayak gini.”

Nicolas menoleh dari balik kaca balkon. Asap rokok mengepul di udara, matanya redup tapi tajam. “Maksudmu?”

“Aku nggak bisa terus terjebak antara kamu dan dunia luar. Michael, Damien, bahkan diriku sendiri… aku kehilangan kendali.” Elliot meremas rambutnya. “Aku nggak tahu lagi siapa diriku.”

Nicolas masuk, menutup pintu balkon dengan kasar. Ia berjalan mendekat, langkahnya berat, penuh energi yang menekan. “Kamu Elliot. Kamu milikku. Itu saja.”

Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi juga seperti rantai besi yang membelenggu. Elliot menggeleng, matanya berair. “Kamu nggak bisa terus mengurungku, Nic.”

Nicolas duduk di sampingnya, menunduk, lalu menyentuh dagu Elliot, memaksa matanya bertemu. “Aku bukan mengurung. Aku melindungi. Ada hal-hal yang kamu nggak tahu tentang Damien… tentang keluargaku.”

---

Untuk pertama kalinya, Nicolas membuka sedikit celah. Suaranya lebih rendah, lebih pribadi.

“Damien bukan cuma teman lama. Dia musuhku. Keluarganya dan keluargaku sudah saling bertarung sejak lama. Aku tahu dia akan pakai apa pun, bahkan kamu, untuk menjatuhkanku.”

Elliot tercekat. “Jadi… aku hanya alat dalam perang kalian?”

Nicolas menggeleng cepat, tangannya mencengkeram bahu Elliot. “Bukan. Jangan pernah bilang gitu. Kamu lebih dari itu. Kamu… alasan kenapa aku masih bisa bertahan di dunia ini.”

Air mata Elliot jatuh. Ia ingin percaya, tapi rasa sakit bercampur takut membuat segalanya semakin sulit.

---

Keesokan paginya, ketika Elliot pergi sebentar untuk membeli kopi, ia dikejutkan oleh sosok Michael yang menunggunya di dekat kedai. Michael terlihat berantakan, rambutnya acak-acakan, wajahnya lelah.

“Elliot,” panggilnya cepat. Ia meraih tangan Elliot sebelum pemuda itu sempat lari. “Kita harus bicara. Sekarang.”

“Mike, tolong jangan-”

“Aku serius!” Michael menatapnya dengan mata penuh kecemasan. “Kamu harus keluar dari hubungan ini. Aku lihat sendiri cara dia memandangmu. Itu bukan cinta, Elliot. Itu obsesi. Dia akan menghancurkanmu.”

Elliot terpaku. Kata-kata itu menusuk, karena di satu sisi ia tahu ada kebenaran di sana. Tapi hatinya hatinya tetap menolak.

“Dia… dia bukan cuma obsesi,” jawab Elliot pelan. “Aku tahu ada bagian dari dirinya yang nyata. Yang tulus.”

Michael mengguncang bahunya. “Kamu nggak lihat apa yang aku lihat. Aku nggak mau kehilanganmu, El. Please, dengar aku kali ini.”

Air mata menggenang di mata Elliot. Ia ingin berlari, tapi juga ingin dipeluk. Tubuhnya gemetar di antara dua dunia yang bertabrakan.

---

Tiba-tiba, suara dingin menusuk udara.

“Apa yang kalian lakukan?”

Elliot menoleh dengan panik. Nicolas berdiri tidak jauh, ekspresinya gelap, penuh kemarahan. Atmosfer langsung berubah, orang-orang di sekitar bahkan menoleh takut.

Michael berdiri di depan Elliot, melindunginya. “Aku nggak akan biarkan kamu terus mengendalikan dia.”

Nicolas melangkah maju, wajahnya tegang. “Kamu pikir kamu bisa ambil sesuatu dariku begitu saja?”

“Aku cuma mau selamatkan dia!” Michael berteriak. “Elliot butuh hidup normal, bukan dikurung sama obsesi sakitmu!”

Elliot terperangkap di tengah-tengah. Dadanya sesak, matanya berpindah dari Michael ke Nicolas.

“Berhenti… kalian berdua…” bisiknya, tapi suara itu tenggelam oleh ketegangan di udara.

---

Nicolas mendekat, mendorong Michael dengan bahunya. “Keluar dari hidup kami, Michael. Sebelum aku benar-benar hilang kesabaran.”

Michael tidak mundur. “Kalau kamu sayang sama dia, lepaskan dia. Kalau kamu nggak bisa, berarti itu bukan cinta.”

Kata-kata itu menusuk. Nicolas membeku sepersekian detik, lalu tawanya pecah dingin, getir.

“Kamu pikir cinta itu melepaskan? Tidak. Cinta adalah mempertahankan, dengan segala cara.”

Elliot merasa napasnya semakin berat. Dua definisi cinta bertabrakan di hadapannya: cinta sebagai kebebasan, atau cinta sebagai rantai yang mengikat erat.

---

Sebelum suasana semakin meledak, suara lain terdengar.

“Wah, wah. Drama pagi-pagi begini menarik juga.”

Damien muncul dari balik sudut jalan, tersenyum sinis. Pakaian rapi, sikapnya tenang, tapi sorot matanya menusuk.

“Sepertinya aku datang di waktu yang tepat.”

Nicolas langsung menegang, tubuhnya refleks berdiri melindungi Elliot. “Apa yang kamu mau, Damien?”

Damien mengangkat alis, lalu menatap Elliot dengan penuh minat. “Aku hanya penasaran. Seorang pemuda polos bisa bikin Nicolas Veronica kehilangan kontrol? Menarik.”

Elliot mundur, jantungnya berdetak panik.

Michael menatap Damien curiga. “Dan kamu siapa lagi?”

Damien tersenyum tipis. “Orang yang jauh lebih mengenal sisi gelap Nicolas daripada siapapun. Termasuk kamu, Elliot.”

---

Suasana semakin kacau. Nicolas mengeluarkan amarahnya, Michael berusaha melindungi, Damien memainkan kata-kata. Elliot merasa dunia berputar.

“Kamu nggak tahu apa-apa tentang aku, Damien,” geram Nicolas.

“Oh, aku tahu banyak,” Damien balas dengan tenang. “Aku tahu kamu rapuh. Aku tahu kamu terobsesi. Dan aku tahu kalau pemuda manis ini-” ia menatap Elliot tajam “hanya butuh sedikit dorongan untuk sadar bahwa kamu bukan pahlawannya, tapi penjaranya.”

Kata-kata itu membuat Elliot tersentak. Nicolas mendesis marah, langsung menarik Elliot ke pelukannya.

“Dia milikku. Jangan coba-coba.”

Damien tertawa ringan. “Milikmu? Kita lihat saja, Nic. Semua rantai akan patah kalau ditarik terlalu kencang.”

---

Malam itu, Elliot duduk di kamarnya sendirian. Nicolas pergi menyelesaikan urusan dengan Damien, sementara Michael masih mencoba menghubunginya lewat pesan.

Ia menatap cermin. Wajahnya pucat, matanya sembab.

“Siapa aku sebenarnya?” gumamnya lirih. “Kenapa aku nggak bisa memilih?”

Ia ingat tatapan Michael yang penuh cinta tulus. Ia juga ingat genggaman Nicolas yang penuh api. Dua dunia menariknya ke arah berbeda, membuatnya hampir hancur di tengah.

Air mata jatuh lagi. Elliot menutup wajahnya dengan tangan.

Dan di dalam hatinya, ia tahu apa pun pilihannya nanti, akan selalu ada luka yang tertinggal.

Between the Track and the Waves • Williamest [END]Where stories live. Discover now