Unexpected Warmth

351 49 1
                                        

Mobil sport hitam milik Nicolas melaju mulus menembus jalanan London malam itu. Lampu-lampu kota berpendar indah, membentuk bayangan yang berlarian di wajah Elliot yang duduk di kursi penumpang. Elliot beberapa kali mencuri pandang, memperhatikan profil wajah Nicolas dari samping. Rahang tegas, hidung mancung, bibir tipis yang kadang tersenyum tipis saat memikirkan sesuatu.

God, he’s too perfect, batin Elliot.

Namun setiap kali pandangannya bertemu dengan mata Nicolas yang sesekali meliriknya, Elliot buru-buru menunduk, pura-pura sibuk memperhatikan jalanan.

“Aku bisa dengar detak jantungmu dari sini,” ucap Nicolas tiba-tiba dengan nada menggoda.

Elliot tersentak. “Hah? No way!”

Nicolas terkekeh, suara rendahnya memenuhi kabin mobil. “I’m serious. Kamu kelihatan nervous, Elliot.”

Elliot memutar bola matanya, meskipun wajahnya merah. “Of course I’m nervous. Sitting next to a famous racer who’s staring like that? Siapa yang nggak nervous coba?”

“Maybe I just like looking at you,” balas Nicolas santai.

Kalimat itu membuat Elliot kehilangan kata-kata. Ia menatap keluar jendela, berharap Nicolas tidak melihat wajahnya yang kini benar-benar merah padam.

---

Setelah beberapa menit perjalanan, mereka sampai di apartemen Elliot. Gedung tinggi itu menjulang dengan lampu-lampu hangat di setiap jendela. Nicolas memarkir mobil di depan lobi.

“Thanks for the ride,” ucap Elliot sambil membuka pintu mobil.

Namun sebelum ia sempat keluar, Nicolas menahan lengannya lagi, seperti tadi di depan restoran. Sentuhan hangat itu membuat Elliot menoleh.

“Can I… walk you to your door?” tanya Nicolas, matanya serius kali ini.

Elliot terdiam sebentar, lalu akhirnya mengangguk pelan. “Okay.”

Mereka berjalan berdampingan masuk ke lobi. Resepsionis menyapa Elliot dengan sopan, lalu melirik penasaran pada Nicolas yang wajahnya jelas familiar dari televisi. Elliot hanya tersenyum kecil, menggenggam tali tasnya erat-erat, sementara Nicolas tetap cool seolah tidak peduli diperhatikan.

Di lift, suasana kembali hening. Tapi bukan hening kosong hening itu terasa berat dengan sesuatu yang tidak terucap. Elliot bisa merasakan bahunya nyaris bersentuhan dengan Nicolas. Nafas pria itu terdengar teratur, tapi entah kenapa justru bikin Elliot makin gugup.

“Which floor?” tanya Nicolas, memecah keheningan.

“Twentieth,” jawab Elliot cepat.

Nicolas menekan tombol, lalu kembali menatap Elliot. Tatapan itu membuat Elliot ingin kabur sekaligus ingin tenggelam di dalamnya.

---

Ketika pintu lift terbuka, mereka melangkah keluar. Lorong apartemen sepi, hanya terdengar suara AC yang samar. Elliot menghentikan langkah di depan pintu unitnya, lalu berbalik menghadap Nicolas.

“Thanks again. For tonight,” ucap Elliot, mencoba terdengar tenang.

Nicolas tidak langsung menjawab. Ia menatap Elliot lama, seolah sedang menimbang sesuatu. Lalu, dengan langkah pelan, ia mendekat, membuat Elliot refleks mundur setengah langkah hingga punggungnya menyentuh pintu.

“Elliot…” suara Nicolas rendah, hampir berbisik. “I don’t usually do this. But… you make me want to break my own rules.”

Elliot menelan ludah. Jarak mereka sekarang hanya beberapa inci. Nafas Nicolas terasa hangat di wajahnya.

“Kamu… apa maksudnya?” suara Elliot bergetar.

Nicolas tersenyum tipis, lalu menunduk sedikit, wajahnya makin dekat. “I mean… I want to see you again. More than just tonight.”

Jantung Elliot berdebar kencang. Ia merasa seluruh tubuhnya panas, padahal udara malam cukup dingin. “Nicolas… I-”

Tiba-tiba pintu unit sebelah terbuka, membuat mereka sama-sama tersentak. Seorang pria paruh baya keluar, melirik mereka sekilas dengan ekspresi heran, lalu berjalan pergi.

Elliot buru-buru memutar badan, meraih kunci dan membuka pintunya. “Good night, Nicolas,” ucapnya cepat sebelum masuk ke dalam dan menutup pintu dengan wajah merah padam.

Di luar, Nicolas hanya tersenyum kecil sambil menggeleng pelan. “Good night, swimmer,” gumamnya sebelum berbalik pergi.

---

Malam itu, Elliot merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit sambil memeluk bantal. Senyuman bodoh nggak bisa hilang dari wajahnya.

“He wants to see me again,” bisiknya pada diri sendiri. Hatinya berdebar, campuran antara senang dan takut.

Sementara di sisi lain kota, Nicolas duduk di ruang tamunya dengan segelas wine di tangan. Matanya menatap kosong ke luar jendela, tapi senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya.

Elliot Wave. Nama itu kini terus berputar di kepalanya, lebih kencang daripada suara mesin mobil balapnya.

Dan Nicolas tahu, ini bukan sekadar ketertarikan biasa. Something about Elliot was different.

Between the Track and the Waves • Williamest [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora