Malam itu Elliot tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamar Nicolas dengan pikiran kacau. Tatapan tajam Damien siang tadi terus menghantui. Kata-kata sinisnya, cara dia memandang Elliot seolah dirinya hanyalah mainan murah. Itu menusuk harga dirinya.
Ia berbalik, menatap Nicolas yang sudah terlelap di sampingnya. Wajah lelaki itu begitu damai ketika tidur sama sekali berbeda dengan sikapnya yang penuh api di siang hari. Elliot mengulurkan tangan, menyentuh pipi Nicolas perlahan. Ada perasaan aneh yang tumbuh… campuran cinta, takut, dan rasa tidak siap.
“Nic…” gumamnya pelan. “Apa aku benar-benar bisa menghadapi semua ini?”
---
Keesokan paginya, Nicolas sudah bersiap pergi. Ia memakai jaket kulit hitam, kacamata gelap, auranya seperti pria yang selalu siap menghadapi dunia.
“Kamu jangan keluar hari ini,” katanya tiba-tiba.
Elliot menoleh dari meja makan, bingung. “Kenapa?”
“Aku nggak mau Damien atau orang lain berusaha mendekatimu. Tetap di sini. Aku akan pastikan semuanya aman.”
Nada suaranya terlalu tegas, seolah tidak ada ruang untuk penolakan. Elliot ingin protes, tapi tatapan Nicolas membuatnya hanya bisa diam.
---
Namun diam bukan berarti tenang. Siang harinya, ponsel Elliot bergetar.
Michael: Aku di depan gedungmu. Keluar sekarang. Kita bicara.
Elliot panik. Ia tahu Nicolas pasti tidak akan suka. Tapi ia juga tidak bisa terus-menerus menghindari Michael. Dengan hati-hati, ia turun ke lobi apartemen.
Michael berdiri di sana, tampak gusar. Begitu melihat Elliot, ia langsung menariknya ke sudut.
“Elliot, kamu kenapa akhir-akhir ini seperti orang lain? Kamu dingin, kamu sembunyi-sembunyi. Jangan bilang kamu pacaran sama Nicolas Veronica.”
Elliot membeku. “Dari mana kamu tahu?”
Michael mendecak kesal. “Orang-orang di kampus ngomongin itu. Aku lihat juga kamu sering menghilang bareng dia. Elliot, sadar! Dia bukan orang yang baik buat kamu. Dia berbahaya.”
Kalimat itu menusuk. Elliot tahu Michael tidak salah. Tapi… hatinya berkata lain.
“Aku bisa jaga diriku, Mike,” jawabnya lirih. “Dia… berbeda.”
Michael memegang bahunya erat. “Berbeda gimana? Apa kamu yakin itu cinta? Atau cuma obsesi dia sama kamu?”
Elliot menunduk, tidak sanggup menjawab.
-
Ketika Elliot kembali ke apartemen, Nicolas sudah ada di sana, berdiri dengan tangan menyilang. Wajahnya gelap.
“Kamu keluar.” Itu bukan pertanyaan, tapi tuduhan.
Elliot tercekat. “Nic, aku cuma-”
“Dengan Michael?” suara Nicolas rendah, tapi penuh bara. “Kamu pikir aku nggak tahu?”
“Dia cuma temanku sejak kecil!” Elliot mulai meninggikan suara. “Aku nggak bisa terus-terusan menjauhi semua orang cuma karena kamu nggak suka!”
Suasana hening. Nicolas menatapnya lama, lalu mendekat pelan. Setiap langkah membuat Elliot merasa jantungnya hampir pecah.
“Kamu masih nggak mengerti, Elliot,” bisiknya tepat di depan wajahnya. “Aku bukan minta. Aku menuntut. Aku nggak akan biarkan siapa pun, bahkan Michael, merebut kamu dariku.”
Tangan Nicolas mencengkeram pinggang Elliot kuat-kuat, membuatnya sulit bernapas. Elliot ingin melawan, tapi tubuhnya bergetar, separuh takut, separuh… menyerah.
---
“Kenapa harus aku, Nic?!” teriak Elliot akhirnya, air matanya hampir jatuh. “Kamu bisa dapat siapa saja, kenapa aku? Aku bukan siapa-siapa!”
Nicolas terdiam, lalu tiba-tiba mendorong Elliot ke dinding. Mata hitamnya berkilat penuh amarah dan… luka.
“Karena cuma kamu yang bisa bikin aku merasa hidup!” suaranya pecah, kasar tapi jujur. “Semua orang lain palsu. Hanya kamu yang nyata. Aku nggak peduli kamu mau benci aku atau lari dariku, aku akan tetap tarik kamu kembali.”
Elliot terengah. Jarak mereka terlalu dekat, napas bercampur, emosi bercampur. Dan sebelum ia sempat menjawab, Nicolas menutup mulutnya dengan ciuman yang penuh amarah.
Itu bukan sekadar ciuman itu pernyataan kepemilikan. Panas, menuntut, mendominasi. Elliot berusaha menolak, tapi tubuhnya akhirnya menyerah, membalas dengan air mata yang jatuh di pipinya.
---
Mereka terbaring di ranjang, keheningan menggantung. Elliot masih terisak pelan, sementara Nicolas menatap langit-langit, napasnya berat.
“Nic…” suara Elliot pecah. “Aku takut.”
Nicolas menoleh, lalu menarik Elliot ke pelukannya. “Aku juga takut. Takut kehilangan kamu.”
Pelukan itu begitu erat, seolah Nicolas mencoba menyatukan dua jiwa yang rapuh menjadi satu. Elliot menutup mata, membiarkan dirinya larut, meski hatinya masih penuh keraguan.
Di luar, London diguyur hujan deras. Kilatan petir sesekali menerangi kamar yang gelap.
Elliot meringkuk dalam pelukan Nicolas, merasa dirinya terjebak di antara dua dunia: dunia aman bersama Michael dan dunia berbahaya tapi penuh api bersama Nicolas.
Dan ia tahu cepat atau lambat, ia harus memilih.
VOUS LISEZ
Between the Track and the Waves • Williamest [END]
Roman pour AdolescentsDuh maaf ya kalo acak acak wkwkwk,gara gara lihat foto William itu di X jadi pengen buat ceritanya kaya f1 gitu, berhubungan author juga suka nontonin f1. happy reading. HANYA FIKSI GA NYATA YAAAAAA...... sinopsis dikit: Nicolas Partigon, seorang pe...
![Between the Track and the Waves • Williamest [END]](https://img.wattpad.com/cover/400044515-64-k340518.jpg)