Racing Hearts, Crashing Waves

255 25 0
                                        

Langit London sore itu berwarna abu-abu pekat, mendung menggantung seakan mencerminkan isi hati Elliot. Setelah kejadian beberapa hari lalu perdebatan sengit, tangisan yang pecah di antara mereka, lalu ciuman yang tak bisa mereka ingkari Elliot memilih menjaga jarak. Ia merasa hatinya terlalu rapuh untuk sekadar “main-main” dengan Nicolas.

Namun Nicolas, seperti mobil balap yang tak kenal rem, tak pernah berhenti mengejarnya.

Hari itu, Nicolas berdiri di depan pintu rumah Elliot, basah kuyup karena hujan deras. Tangannya mengetuk keras-keras, tak peduli tetesan air yang mengalir di wajahnya.

“Elliot! Please, open the door!” suaranya bergetar, antara marah dan putus asa.

Dari dalam, Elliot memeluk lututnya di sofa. Ia mendengar teriakan itu, dadanya ikut sesak. Kenapa sih dia harus segigih ini? Kenapa bukan orang lain saja? batinnya.

Akhirnya, dengan langkah berat, Elliot bangkit dan membuka pintu. Begitu pintu terbuka, Nicolas langsung menerobos masuk tanpa izin. “What the hell are you doing, ignoring me like that?” katanya keras.

“Karena aku nggak mau sakit hati lagi!” jawab Elliot, nadanya meninggi.

Suasana ruang tamu langsung tegang. Nicolas menatap Elliot dengan tatapan tajam, namun di balik sorot mata itu ada luka. “Do you really think I came here just to hurt you? Damn it, Elliot… aku bukan orang kayak gitu.”

Elliot menggertakkan gigi, matanya memerah. “Tapi fakta bilang lain, Nic! Lo dateng, bikin gue jatuh, bikin gue berharap… terus apa? Lo masih dikelilingin cewek-cewek model, pesta, dunia lo itu… gue bukan bagian dari itu.”

Kata-kata itu menusuk Nicolas. Ia mendekat, langkah kakinya berat, tapi penuh determinasi. “Listen to me. Gue mungkin terbiasa sama dunia itu, racing, spotlight, girls everywhere. But none of them… none of them makes me feel like you do.”

Elliot terdiam. Suara Nicolas bergetar, tulus.

“Aku cuma orang biasa, Nic. Aku cuma atlet renang yang lebih sering sama air daripada dunia glamor lo,” ucap Elliot lirih.

Nicolas mendekat lebih jauh, jarak mereka hanya sejengkal. Nafasnya masih memburu karena hujan dan amarah. “That’s exactly why I want you. You’re real. You’re not like them. Lo bikin gue inget rasanya jadi manusia, bukan sekadar mesin balap yang harus menang terus.”

Kedua mata mereka bertemu. Waktu seakan berhenti. Hanya ada suara hujan deras di luar, detak jantung yang berpacu, dan perasaan yang tak bisa mereka tolak.

Elliot mencoba menahan diri. “Nic… jangan bikin ini makin susah.”

Namun Nicolas mengangkat tangannya, menyentuh pipi Elliot yang hangat. “I’m already yours, El. Whether you like it or not.”

Elliot menutup matanya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Sentuhan itu membuat hatinya runtuh. “Kenapa lo ngomong gitu sekarang? Setelah semua chaos ini?”

Nicolas menghela napas panjang, lalu menarik Elliot ke dalam pelukan yang hangat, erat, seakan tak mau melepaskan. “Karena kalau gue nggak ngomong sekarang, gue bakal kehilangan lo. Dan itu jauh lebih menakutkan daripada kalah di sirkuit mana pun.”

Elliot terisak di dada Nicolas. Ia benci mengakuinya, tapi pelukan itu adalah rumah yang selama ini ia cari. “You’re so damn stubborn…”

“I know,” jawab Nicolas dengan senyum kecil, lalu mencium rambut Elliot.

---

Malam itu mereka tidak membicarakan detail masa depan, tidak pula merencanakan apa-apa. Mereka hanya duduk berdampingan di sofa, dengan selimut menutupi tubuh, secangkir teh hangat di tangan Elliot, dan Nicolas yang tak berhenti memandanginya.

“Lo tau nggak, El? Gue udah racing di banyak negara, udah pegang puluhan piala. Tapi gue nggak pernah ngerasa segugup ini… duduk di sebelah lo, kayak anak remaja jatuh cinta pertama kali.”

Elliot terkekeh di sela tangisannya. “Lo gila.”

“No,” Nicolas menggeleng, menatap serius. “I’m in love.”

Kata-kata itu membuat Elliot terpaku. Dadanya berdegup kencang, pikirannya kacau, tapi hatinya hangat. Ia menatap Nicolas lama, lalu akhirnya berbisik, “Gue nggak tau harus jawab apa…”

Nicolas mengangkat bahu. “You don’t have to. Just… let me stay. Let me prove it.”

---

Keesokan harinya, kabar soal Nicolas yang absen dari latihan tim balap menyebar. Erwin, sahabatnya, menelpon berkali-kali.

“Bro, what the hell? Sponsor lo marah-marah. Lo ngilang kayak gini-”

Nicolas memotong, “Erwin, chill. Gue lagi sibuk.”

“Sibuk? Dengan siapa? Jangan bilang-”

“Yeah. With him,” jawab Nicolas tegas, lalu memutus telepon.

Elliot mendengarnya dari dapur, tersenyum tipis sambil menggeleng. “Lo bikin semua orang gila, Nic.”

“Selama lo waras di samping gue, I don’t care,” balas Nicolas sambil mendekat, mencuri kecupan cepat di pipi Elliot.

---

Hari-hari berikutnya, hubungan mereka tumbuh diam-diam, seperti api kecil yang tak terlihat tapi makin lama makin panas. Nicolas sering datang tengah malam hanya untuk memastikan Elliot tidur nyenyak. Elliot, meski masih canggung, perlahan mulai membuka hatinya lebih lebar.

Namun badai belum benar-benar reda.

Suatu sore, saat mereka berjalan di tepi Sungai Thames, seorang paparazzi memotret mereka dari jauh. Blitz kamera menyala beberapa kali, membuat Elliot panik.

“Nic! Itu-”

“I know.” Nicolas langsung meraih tangan Elliot, menggenggamnya erat di depan kamera. “Let them see.”

Elliot terkejut. “Lo serius? Karier lo bisa hancur, Nic.”

Nicolas menatapnya tajam, senyumnya penuh keyakinan. “I’d rather lose a race than lose you.”

Kata-kata itu menggema di hati Elliot, menenggelamkan semua keraguan.

Untuk pertama kalinya, Elliot merasa mungkin cinta ini benar-benar layak diperjuangkan, meski dunia menentang.

Between the Track and the Waves • Williamest [END]Where stories live. Discover now