~~ Chapter 16 ~~

932 71 3
                                        

Draco Malfoy menatap meja makan yang kosong dengan ekspresi datar. Cangkir teh miliknya masih mengepul di atas tatakan porselen, aroma earl grey menyelimuti udara pagi di apartemen yang sunyi. Ia tahu di mana Harry berada. Jam ini, tentu saja, Harry sedang mengajar anak-anak di Taman kanak-kanak.

Itu rutinitasnya. Draco memindahkan pandangan ke meja makan, di mana sebuah sticky note kecil berwarna pastel tertempel di dekat piring sarapannya.

Tolong jangan lupa makan, Draco. Dan berhenti begadang-aku tidak mau kau jatuh sakit.

Tulisan tangan Harry yang rapi dan penuh perhatian selalu membuat Draco merasakan sesuatu yang ia benci akui. Perasaan itu mengganggu, seperti lem yang lengket dan sulit dilepaskan. Dia meremas kertas kecil itu, tapi tidak membuangnya. Alih-alih, dia menyelipkannya ke dalam sakunya, seperti biasa.

Draco menghela napas panjang, pandangannya kini beralih ke kalender di dinding. Delapan bulan. Sudah delapan bulan sejak mereka mulai tinggal bersama. Dan Harry-dengan kejujuran bodohnya-mengaku mencintainya.

Hal itu pula yang membuat Draco hidup dalam dilema.

Harry Potter adalah seseorang yang sejak usia 11 tahun ia pandang sebelah mata. Orang yang ia pikir akan selalu jadi sasaran empuk untuk diejek. Tapi sekarang, di usia 24 tahun, Draco harus menghadapi kenyataan bahwa Harry bukan hanya sekadar seseorang di latar belakang hidupnya.

Draco bimbang. Dia tidak pernah berniat jatuh cinta pada Harry. Tapi Harry, dengan perhatian dan ketulusannya yang bodoh, telah membuatnya merasa... dimiliki. Dan yang lebih parah, Draco telah memanfaatkan itu.

Dia mendesah, mengingat malam-malam di mana ia menciumnya tanpa ragu, meminta perhatian Harry seperti anak kecil yang menuntut semua mainan di toko.

Tapi setiap pagi, saat ia membuka mata dan melihat Harry tersenyum hangat sambil menawarkan segala perhatian-nya, perasaan aneh itu muncul lagi.

"Aku seharusnya fokus," gumamnya, setengah berbisik pada dirinya sendiri.

Tugasnya jelas: memastikan bahwa Harry yang diduga memiliki potensi sebagai Obscurial masuk ke Azkaban.

Itu saja.

Tapi entah kenapa, setiap hari bersama Harry membuat rencananya terasa semakin mustahil.

Harry selalu ada. Dengan perhatian kecilnya, dengan senyumnya, dengan perasaannya yang tanpa syarat. Draco tahu ia memanfaatkan itu. Ia mencium Harry ketika merasa dunia terlalu berat, meminta perhatian ketika ia merasa kosong. Dan Harry selalu memberikannya tanpa ragu, tanpa syarat.

Draco mendengus, mencoba mengusir pikiran itu. "Ini hanya karena dia selalu ada. Tidak ada hubungannya dengan perasaan," gumamnya lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Draco berdiri dan berjalan keluar apartemen, pandangannya jatuh ke mobil sport hitamnya yang mengilap. Mobil itu adalah kebanggaannya, lambang kemewahan yang biasa ia pamerkan.

Tapi tiba-tiba ingatan muncul di kepalanya-Harry, beberapa minggu lalu, berbicara dengan mata berbinar tentang Theodore Nott yang pernah menjemputnya dengan motor Ducati Diavel.

"Motor itu keren sekali, Malfoy," Harry pernah berkata sambil tersenyum lebar.

"Aku bahkan merasa angin membelai wajahku saat kami melaju. Kau tahu? Aku selalu ingin mencoba naik motor seperti itu."

Draco mencibir waktu itu, berpura-pura tidak peduli. Tapi sekarang, bayangan Harry di atas motor bersama Theodore membuat dadanya terasa panas. Kecemburuan adalah sesuatu yang tidak pernah ia akui dengan mudah, tapi kali ini ia tidak bisa mengabaikannya.

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryWhere stories live. Discover now