~~ Chapter 01 ~~

1.6K 138 1
                                        

⸻𝗟𝗶𝗺𝗮 𝗧𝗮𝗵𝘂𝗻 𝗕𝗲𝗿𝗹𝗮𝗹𝘂

Apartemen mungil di sudut London itu tampak sunyi, hanya sesekali terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Harry Potter berdiri di depan kulkasnya, menatap sticky notes warna-warni yang hampir menutupi seluruh permukaannya. Tulisan tangannya sendiri terlihat di setiap catatan kecil itu, dari daftar belanja sederhana hingga pengingat untuk minum obat. Beberapa catatan sudah memudar, tinta hitamnya berubah menjadi abu-abu samar.

"Beli susu."
"Minum obat jam 9."
"Rabu—ingat apa yang terjadi di hari ini."

Harry menghela napas panjang, mencoba memahami tulisan yang ia buat sendiri. Namun, pikiran yang dulu tajam kini terasa seperti kabut tebal yang menutup semua pintu logika. "Rabu... apa yang harus kulakukan hari ini?" gumamnya pelan, nada frustrasi terdengar jelas. Tangan kirinya, yang sedikit gemetar, menyentuh sebuah catatan dengan tulisan besar,

"JANJI DOKTER BESOK."

Sejak lima tahun yang lalu, hidup Harry berubah drastis. Diagnosa Alzheimer dini yang disebabkan oleh kerusakan saraf telah menghancurkan harapannya untuk menjalani kehidupan normal. Dulu ia berjuang melawan penyihir tergelap dalam sejarah, tetapi kini ia berjuang melawan musuh yang tak kasat mata: pikirannya sendiri.

Di meja dapur, sebotol obat tergeletak di samping gelas air. Harry mengambil satu pil kecil itu dengan tangan gemetar dan menelannya dengan susah payah. Kepalanya berdenyut pelan, rasa sakit itu datang seperti tamu yang tak pernah diundang. Ia duduk di kursi kayu tua, menunduk sambil memijat pelipisnya.

"Kepala sialan ini... kapan akan berhenti?" desahnya, suaranya serak.

Hari-harinya selalu dimulai dengan perjuangan melawan rasa sakit di kepala dan ingatan yang perlahan memudar. Sticky notes adalah penyelamatnya. Setiap kali ia melupakan sesuatu, ia akan menulisnya di atas kertas kecil itu. Kadang, catatan-catatan itu terasa seperti tambatan terakhir pada dirinya sendiri, bukti bahwa ia masih mencoba, masih bertahan.

Di ruang tamu, sebuah papan tulis besar berdiri di dinding, penuh dengan coretan-coretan dan gambar lingkaran. Harry sering berdiri di depannya, mencoba menyusun jadwal mingguan atau sekadar mencatat kenangan yang terlintas di pikirannya.

Lingkaran-lingkaran di papan itu, yang ia gambar dengan spidol hitam, adalah simbol ingatan yang ingin ia pertahankan. Namun, setiap kali ia menatapnya, ia merasa seperti sedang melihat labirin yang tak pernah bisa ia selesaikan.

Suatu sore, Harry duduk di sofa tua di ruang tamunya. Di tangannya ada sebuah buku catatan dengan sampul cokelat lusuh. Ia mencoba menulis sesuatu—apa saja yang bisa ia ingat. Jemarinya bergerak pelan, setiap huruf terasa seperti perjuangan.

"Hermione. Sahabatku. Pintar, suka membaca. Rambut keriting."

Ia berhenti sejenak, menatap kata-kata itu dengan alis berkerut.

"Apa lagi tentang Hermione?" bisiknya pelan. Otaknya berusaha menggali lebih dalam, tetapi yang muncul hanyalah bayangan samar seorang gadis dengan tumpukan buku.

Dengan frustrasi, ia melemparkan pena ke meja. "Kenapa aku tidak bisa mengingat wajahnya?" gumamnya, suaranya bergetar.

"Hermione... Ron... Hogwarts..." Harry menutup matanya, mencoba memaksa pikirannya untuk bekerja. Namun, rasa sakit di kepalanya semakin parah.

Ia bangkit dari sofa, berjalan ke arah kulkas. Tangannya meraih salah satu sticky note, yang berbunyi,

"Tulis tentang teman-temanmu." Catatan itu seperti ejekan kecil bagi dirinya sendiri. Ia kembali duduk di meja, mencoba menulis sesuatu tentang Ron.

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryWhere stories live. Discover now