~~ Chapter 05 ~~

1.2K 98 7
                                        

Hari itu hujan rintik membasahi jendela rumah mungil milik Harry Potter. Ia duduk di meja kerjanya, sebuah buku usang terbuka di depannya. Catatan harian. Buku itu penuh dengan tulisan tangan masa lalu-tulisannya sendiri. Setiap halaman menceritakan tentang Draco Malfoy. Tentang segala hal yang ia sukai dari pria itu, tentang kenangan samar yang masih terasa hangat di hatinya.

Tapi kini, Draco yang tinggal bersamanya adalah pria asing yang sama sekali berbeda. Arogan, sarkastik, dan entah bagaimana, tampaknya punya misi pribadi untuk membuat hidupnya tidak tenang.

Harry menutup buku itu perlahan, lalu menatap foto lama yang tertempel di sana. Wajah Draco muda tersenyum tipis-senyuman yang jarang sekali ia lihat di Hogwarts. Rambut pirangnya rapi, matanya tajam, namun ada kelembutan yang kini tidak lagi terlihat. Harry memandangi foto itu dengan raut bingung, lalu perlahan mengalihkan pandangan ke arah ruang tamu, tempat Draco yang sekarang duduk dengan santai, mengenakan piyama sutra hijau yang ia bawa dari rumah.

Draco menoleh tiba-tiba, memergoki tatapan Harry. Ia menyipitkan mata, lalu bangkit dan berjalan mendekat.

"Kenapa menatapku seperti itu? Kau mulai jatuh cinta lagi, ya?" tanyanya, sarkastis seperti biasa, dengan sentuhan senyum mengejek.

Harry tertegun, wajahnya merah padam. Ia menggeleng cepat, lalu memalingkan pandangan.

"Aku hanya bingung," jawab Harry pelan.

"Masih sulit mempercayai kau benar-benar tinggal di rumahku."

Draco mendengus. Ia menyandarkan tubuhnya ke tepi meja, menatap Harry dengan alis terangkat.

"Tentu saja aku di sini. Aku Draco Malfoy. Aku bisa membuat siapa pun merasa seperti tamu di rumah mereka sendiri. Kau hanya beruntung aku belum mengubah dekorasinya menjadi lebih... mewah."

Harry hanya menatapnya, kemudian menghela napas. Sejak Draco tinggal bersamanya, rumah kecilnya yang biasanya tenang berubah menjadi tempat penuh komentar sinis dan keluhan. Draco selalu mengatur ini itu, dari cara Harry membuat teh hingga bagaimana ia menyetrika pakaian.

Tapi Harry tidak pernah benar-benar membalas, hanya mengangguk atau tersenyum kecil, seperti sudah terbiasa menghadapi anak-anak di kelas TK-nya.

Namun, malam itu, sesuatu di dalam dirinya tidak tenang. Ia mengingat kembali tulisan di buku hariannya-tentang bagaimana ia mulai kehilangan ingatan sejak kelulusan Hogwarts, tentang diagnosa Alzheimer dini yang ia derita. Tertulis di sana bahwa itu adalah akibat luka dari Voldemort, meski Harry sendiri tidak yakin. Ia juga tidak tahu mengapa dirinya sangat takut Draco mengetahui hal itu.

Saat malam semakin larut, Harry mulai memberanikan diri memperhatikan Draco lebih sering. Ia menyadari sesuatu yang aneh. Ada saat-saat ketika Draco tampak lebih lembut, terutama saat ia tidak menyadari sedang diamati. Tapi begitu sadar, Draco kembali memasang wajah arogan dan memamerkan dirinya dengan gaya khas Malfoy.

Draco duduk di sofa usang di ruang tamu dengan kaki terangkat ke meja kopi. Kemeja putihnya terbuka di bagian atas, dan celana panjang hitamnya, meskipun sederhana, tetap terlihat mahal. Dia memegang secangkir teh yang Harry buatkan, mengaduk-aduknya tanpa niat meminumnya. Buku catatan Harry yang berisi cerita tentang Draco tergeletak di atas meja, terbuka di halaman tengah.

"Kau benar-benar tidak punya selera dekorasi, Potter," kata Draco tanpa menatap Harry. "Jika aku tinggal di sini lebih lama, mungkin aku harus memanggil desainer interior."

Harry menghela napas, mengabaikan komentar itu. Ia sibuk menyiapkan berkas pelajaran untuk anak-anak TK yang akan dia ajar esok pagi. Ruang makan kecilnya telah berubah menjadi kantor darurat, dengan buku, kertas, dan pulpen berserakan di mana-mana. Draco, seperti biasa, hanya duduk dan mengeluarkan komentar-komentar pedas.

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryWhere stories live. Discover now