Setelah makan, Draco masih menemani Harry berkeliling di Kediamannya. Lorong-lorong Malfoy Manor yang panjang dan dingin terasa semakin sepi saat Draco membawa Harry melewati sudut-sudut megah rumahnya.
Lampu-lampu di dinding memancarkan cahaya lembut, tetapi keindahannya tak bisa mengusir rasa gelisah yang terus tumbuh di dada Draco. Harry, yang baru beberapa saat lalu berjalan dengan semangat, kini terlihat pucat. Keringat mengalir di pelipisnya, dan tubuhnya limbung.
"Potter, kau baik-baik saja?" tanya Draco dengan nada mendesak, berhenti di tengah lorong.
Harry mencoba tersenyum lemah, tapi lututnya hampir tidak mampu menopang tubuhnya.
"Aku... hanya sedikit pusing, tidak perlu-"
Namun, sebelum Harry bisa menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya mulai jatuh. Draco dengan reflek menangkapnya, tangan panjangnya melingkari pinggang Harry dan menopangnya dengan mudah.
"Sialan, Potter! Kau hampir pingsan," gerutu Draco, tapi nada suaranya penuh dengan kepanikan.
Tanpa membuang waktu, ia mengangkat tubuh Harry ke dalam pelukannya.
"Aku tidak peduli kau protes atau tidak. Kita ke kamarku," gumamnya.
Meski mencoba terdengar tenang, detak jantungnya memukul keras di dada. Ia berjalan cepat, melewati pintu-pintu besar dan koridor tanpa memperhatikan apa pun di sekitarnya, hingga tiba di depan pintu kayu besar yang tampak berbeda dari ruangan lain.
Pintu itu berwarna hitam pekat dengan ukiran ular melingkar di tengahnya. Draco menendang pintu hingga terbuka, menampilkan ruang yang hampir seperti dunia lain dibandingkan bagian manor lainnya.
Kamar Draco terasa hangat, bertolak belakang dengan atmosfer dingin di luar. Lantai kayu gelap tertutup karpet tebal berwarna hijau zamrud dengan pola sulur keperakan. Tirai berat di jendela menjuntai hingga menyentuh lantai, membatasi cahaya matahari yang masuk.
Di sudut ruangan, terdapat tempat tidur besar dengan kanopi hitam, dihiasi bantal-bantal dan selimut sutra yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal. Meja kayu mahoni berisi tumpukan buku-buku tebal dan pena bulu tersusun rapi di sudut lain.
Draco meletakkan Harry perlahan di tepi tempat tidur, merapikan posisi tubuhnya sebelum berjongkok di depannya.
"Kau benar-benar menyusahkan, Potter," ujarnya, mencoba terdengar sarkastis, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
"Kau yakin tidak apa-apa? Aku bisa memanggil ibu atau bahkan penyembuh-"
Harry mengangkat tangannya, menghentikan Draco dengan senyum lemah.
"Tidak perlu. Aku baik-baik saja, sungguh. Hanya sedikit kelelahan."
Draco tidak terlihat yakin. Ia memiringkan kepalanya, menatap Harry dengan ekspresi bingung, tetapi tetap menjaga jarak.
"Potter, kau terlihat seperti akan runtuh kapan saja. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan kenapa... kau kehilangan ingatan? Apakah itu sungguh-akibat perang?"
Pertanyaan itu membuat Harry tersentak. Ia menggigit bibirnya, mencoba mempertahankan ekspresi tenang, meski matanya berkedip gugup. Ia tahu Draco bisa melihat ketidakkonsistenan dalam jawabannya.
"Aku... tidak tahu," jawab Harry akhirnya, suara pelan dan sedikit gemetar.
"Aku hanya... sepertinya ada potongan-potongan ingatan yang hilang, dan aku tidak tahu kenapa. Itu sudah lama terjadi."
Draco memiringkan kepalanya, alisnya menyatu. "Kau tidak tahu? Potter, ini bukan sesuatu yang bisa terjadi begitu saja. Apa kau yakin tidak ada sesuatu yang lebih serius?"
YOU ARE READING
If Tomorrow Was Yesterday | Drarry
Fanfiction𝑺𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒊, 𝒌𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 𝒅𝒊 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒕𝒖𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒍𝒖𝒑𝒂 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒅𝒊𝒓𝒊𝒎𝒖. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑯𝒂𝒓𝒓𝒚 𝑷𝒐𝒕𝒕𝒆𝒓. ⸻Draco Malfoy 𝑫𝒖𝒍𝒖, 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈�...
