Pagi itu, Harry berdiri di depan kalender kecil yang tergantung di dinding dapur mungilnya, menatap tanggal yang sudah dia lingkari. Ini hari yang cukup penting: tur museum bersama anak-anak taman kanak-kanak tempatnya bekerja. Ia tersenyum kecil membayangkan antusiasme anak-anak, tapi senyum itu memudar ketika ia mendengar suara televisi dari ruang tamu.
Harry melangkah pelan, melewati dapur dengan kaus rumah longgar yang kebesaran, celana santai bergaris, dan sandal lusuh. Begitu masuk ke ruang tamu, dia mendapati pemandangan yang sudah terlalu akrab: Draco Malfoy berbaring malas di sofa.
Kemeja putih formalnya kusut dengan kancing atas terbuka, memperlihatkan sebagian dadanya yang bidang. Rambut pirang biasanya licin dan rapi kini mencuat ke segala arah, dan dasi yang entah sejak kapan dilepas melilit pergelangan tangannya.
Di sekitarnya berserakan tumpukan berkas kementerian dan foto-foto Harry yang diambil tanpa sepengetahuannya.
Di meja kopi di depannya, tumpukan berkas berserakan, ditemani beberapa foto candid Harry Potter dalam berbagai pose-saat mengajar di taman kanak-kanak, memasak, bahkan tidur terkulai di sofa.
Sementara itu, layar televisi memutar drama Muggle berjudul "When We Meet Again", episode penuh tangis dengan latar musik melankolis.
Di ambang pintu dapur, Harry berdiri dengan celana pendek santai bermotif polkadot dan kaus kebesaran yang terlalu panjang, hampir menyerupai gaun. Rambut hitamnya sedikit berantakan, dan wajahnya menunjukkan ekspresi campuran antara bingung dan geli.
Ia memandangi Draco yang tergeletak dengan santai, terlihat sepenuhnya tenggelam dalam acara dramanya.
Harry berjalan mendekat, berhenti di depan meja, menatap foto-foto itu sebelum akhirnya membuka suara.
"Malfoy..." ia menyebut nama itu dengan nada datar, menunjuk tumpukan foto.
"Kenapa semua ini begitu detail? Kau seperti paparazzi."
Draco mendengus pelan tanpa menoleh, menjawab sambil menekan tombol volume untuk meninggikan suara TV.
"Itu tugas, Potter. Bukan urusanmu." Nada suaranya penuh sindiran seperti biasa, tapi matanya tetap terpaku pada layar televisi.
Harry memutar matanya, berjalan mendekat, dan tanpa ragu menepuk pantat Draco yang masih tengkurap di sofa.
"Tidak sopan mengabaikan orang yang berbicara," katanya dengan serius.
Draco terlonjak kaget, langsung duduk tegak dengan mata melotot.
"HARRY POTTER!" serunya, wajahnya memerah karena keterkejutan dan-mungkin-sedikit tersinggung.
Harry hanya tertawa kecil, melipat tangannya di dada. "Apa? Aku hanya membalas sikapmu yang tidak sopan."
"Beraninya kau-" Draco berhenti bicara ketika Harry dengan gerakan cepat merebut remote dari tangannya. Dengan langkah gesit, Harry menjauh ke tengah ruangan sambil tertawa kecil, membuat Draco semakin kesal.
"Aku serius, Malfoy" kata Harry, sekarang dengan nada lebih pelan. Ia mematikan televisi dan menatap Draco yang masih duduk di sofa dengan ekspresi kesal.
"Kenapa kau sampai memotretku? Aku tidak suka fotoku tersebar di mana-mana."
Draco, yang sekarang terlihat seperti anak kecil yang mainannya direnggut, mendengus sambil menyisir rambut pirangnya dengan tangan. "Itu untuk... penelitian. Kau tahu, untuk... eh, laporan keamanan."
"Penelitian?" Harry menaikkan sebelah alisnya, menatapnya dengan tatapan skeptis. "Kau ini Auror atau paparazzi?"
Draco bergeming sejenak, lalu menjawab dengan sarkasme, "Keduanya, jika itu bisa membuatmu berhenti bertanya."
VOCÊ ESTÁ LENDO
If Tomorrow Was Yesterday | Drarry
Fanfic𝑺𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒉𝒂𝒓𝒊, 𝒌𝒂𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 𝒅𝒊 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒕𝒖𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒍𝒖𝒑𝒂 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒅𝒊𝒓𝒊𝒎𝒖. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒏𝒕𝒂𝒔 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑯𝒂𝒓𝒓𝒚 𝑷𝒐𝒕𝒕𝒆𝒓. ⸻Draco Malfoy 𝑫𝒖𝒍𝒖, 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈�...
