~~ Chapter 07 ~~

1K 101 13
                                        

Kesepian di Antara Hari-Hari Bersama Draco

Malam itu, langit gelap menggantung dengan taburan bintang yang redup. Harry duduk di ruang tamu dengan segelas teh yang hampir dingin di tangannya, mengenakan sweater abu-abu kusut yang terlihat kebesaran, memberikan kesan rapuh. Draco berdiri di dekat pintu dengan jas hitam mahal yang pas membungkus tubuhnya, dasi yang longgar, dan rambut pirang disisir rapi. Kemejanya sedikit terbuka, memperlihatkan leher jenjangnya.

"Aku bosan" ujar Draco sambil menyisir rambutnya dengan jari, nada suaranya datar, tanpa memberi alasan lebih lanjut.

Harry mengangkat kepalanya dari buku yang sedang ia baca. "Bosan? Kamu mau pergi ke mana?" tanyanya, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik suaranya yang lembut.

"Minum" jawab Draco singkat.

Harry memiringkan kepala, menatapnya lebih lekat. "Dengan siapa?"

Draco mendengus, sebuah senyum sarkas menghiasi wajahnya. "Siapa saja yang menarik" katanya tanpa banyak berpikir, lalu menambahkan,

"Jangan terlalu penasaran, Potter. Itu tidak baik untuk kesehatanmu."

Harry mengangguk kecil, menelan perasaan cemburu yang mulai membakar dadanya. Ia berdiri, berjalan mendekati Draco.

"Sebentar, biar kubetulkan dasimu" ucapnya dengan lembut.

Draco mendecakan lidahnya tampak tidak nyaman, tetapi membiarkan Harry melakukannya. Jemari Harry yang lincah merapikan dasi dan kerahnya, menghaluskan lipatan kecil pada jasnya. Saat semuanya terlihat sempurna, Harry menatap wajah Draco dengan senyuman kecil.

"Kau terlihat tampan" katanya jujur, lalu menambahkan dengan polos, "Tapi aku tidak menerima tamu lain selain kau di rumah ini."

Draco tertegun sejenak, lalu tertawa, nadanya rendah namun penuh makna. "Oh, jadi kau cemburu, Potter?" tanyanya sambil mengangkat alis.

Wajah Harry memerah. Ia menunduk, menggeleng pelan. "Aku hanya bercanda" gumamnya, tetapi suaranya terdengar lemah.

Draco tidak menjawab lagi. Ia meraih kunci mobilnya, melangkah pergi dengan keanggunan khasnya. Deru mobil sportnya meraung, meninggalkan Harry yang masih berdiri di depan pintu, menatap kosong ke jalan yang mulai sepi.

Setiap kali Draco pamit, percakapannya hampir selalu sama.

"Jangan tunggu aku. Aku mungkin akan pulang larut."

"Kenapa harus pergi malam-malam begini?" tanya Harry suatu kali, mencoba menahan suara bergetarnya.

"Karena, Potter," jawab Draco dengan nada datar, "hidupku tidak hanya berkisar di dapur kecilmu dan anak-anak TK itu."

Semenjak itu Harry tidak pernah bertanya lagi. Ia hanya mengangguk, mengantarnya hingga pintu, dan menunggu suara mobil Draco menghilang di kejauhan sebelum membiarkan dirinya menangis pelan.

Selama empat bulan kebersamaan mereka, pola itu terus berulang. Setiap beberapa malam, Draco akan berkata bosan dan memutuskan pergi minum. Harry selalu mendapati dirinya sendirian di rumah besar yang terasa semakin dingin dan kosong.

Malam-malam itu, ia akan menyiapkan makan malam seperti biasa, dua porsi yang ditempatkan di meja makan yang panjang. Ia duduk di satu ujung meja, menatap piring kosong di seberangnya, berharap Draco pulang tepat waktu. Tapi yang sering terjadi, ia hanya makan sendiri, suaranya bergema di ruangan yang terlalu besar.

Setelah selesai, Harry akan mencuci piring, menyusun semuanya dengan rapi, lalu berusaha mengalihkan pikiran dengan membaca buku, tetapi pikirannya selalu melayang pada Draco. Ia membayangkan pria itu di klub, dikelilingi wanita-wanita cantik yang tertawa dan menyentuhnya dengan cara yang seharusnya tidak boleh dilakukan.

If Tomorrow Was Yesterday | DrarryWhere stories live. Discover now